Bab 3. Bertemu Kembali

1275 Kata
Pada subuh hari Dinara terbangun dengan rasa sakit di sekujur tubuhnya, bahkan inti tubuhnya seakan terkoyak membuat Dinara menyadari jika telah kehilangan mahkotanya yang selama ini telah dia jaga. Mencoba untuk bangun dari tidurnya tak mampu Dinara lakukan karena tubuhnya tak dapat digerakkan. Samar-samar Dinara mengingat pergumulan panas yang dia lakukan semalam dengan pria yang baru saja dia temui. Dinara menertawakan kebodohannya yang telah menyerahkan dirinya dengan sukarela pada seorang pria yang baru saja dia temui. "Setidaknya aku melakukannya pertama kali dengan pria muda yang jauh lebih tampan dan gagah daripada pria tua bangka itu," ucap Dinara dalam hatinya. Saat menoleh ke samping kiri Dinara terbius saat melihat wajah tampan yang telah mengagahinya semalam. "Apa yang kamu pikirkan, Dinara. Kamu harus kabur secepatnya dari kota ini." Maki Dinara di dalam hati tak lama sesudahnya. Kali ini Dinara mengabaikan rasa sakit pada tubuhnya dan melangkah menuju pintu, dengan langkah tertatih akhirnya dia dapat keluar dari apartemen Narendra dan juga dari kota ini secepatnya. Dia sudah tak mau peduli lagi dengan nasib Anwar, yang ada dalam pikirannya adalah menyelamatkan dirinya sendiri mulai saat ini. *** Empat tahun sudah berlalu sejak kejadian itu, tampak seorang wanita tengah serius menatap laptopnya. Jemari wanita itu terlihat begitu lincah menari pada papan keyboard, sampai-sampai tak menyadari jika ada sepasang mata yang sedang mengamatinya. "Dinara." Panggilan itu membuat wanita itu menoleh dan melihat sang atasan yang duduk di mejanya sedang menatapnya dengan serius. "Matikan laptop kamu dan ikut saya ke ruang bos besar." Titah sang atasan. Tak lama kemudian keduanya tiba di ruangan CEO, Dinara yang belum pernah memasuki ruangan itu hanya dapat terdiam sembari memindai sekeliling ruangan. "Pak William, saya datang bersama Dinara," ucap pria yang bersama Dinara. Untuk sesaat Dinara merasa dejavu dengan keadaan ini, mengingatkannya akan Anwar yang telah menjualnya kepada seorang lelaki hidung belang. Tapi dia segera menepis kenangan buruk itu dan menfokuskan diri menyimak pembicaraan kedua pria itu. "Kamu mau jadi sekretaris putra saya yang akan menggantikan saya pensiun sebentar lagi?" Dinara terbelalak saat mendengarnya, tak percaya dengan apa yang dia dengar. "Tapi saya tidak punya banyak pengalaman untuk menjadi sekretaris seorang CEO," jawab Dinara yang mencoba menolak posisi itu. "Saya percaya jika kamu mampu melakukannya, Dinara," ucap William dengan nada yang tak ingin terbantahkan. "Lagi pula saya akan meminta bagian HRD untuk memberikan gaji yang sesuai dengan sekretaris CEO," imbuh William. Sejenak Dinara terdiam berpikir jika ini adalah tawaran yang menguntungkan, dia butuh uang untuk melunasi semua hutang orang tuanya kepada Anwar, jika suatu saat mereka bertemu. "Jadi bagaimana, Dinara. Apa kamu mau menerima tawaran saya untuk menjadi sekretaris putra saya?" Sekali lagi William bertanya kesediaan Dinara dan tanpa pikir panjang wanita itu menyanggupinya. William menghela napas lega setelahnya dan berterima kasih kepada pria yang sebelumnya menjadi atasan Dinara karena mengizinkan wanita itu untuk menjadi sekretaris sang putra. "Sebentar lagi putra saya akan datang ke mari dan akan menempati ruangan ini secepatnya, saya mohon kamu bisa membantunya untuk beradaptasi di perusahaan ini," pinta William dengan nada tegas. "Terima kasih atas kepercayaan yang Bapak berikan kepada saya, saya akan berusaha sebaik-baiknya ...." Namun belum selesai Dinara berbicara, terdengar pintu dibuka dan derap langkah tegas menghampiri meja sang CEO. "Narendra, sudah Papa bilang berkali-kali untuk mengetuk pintu sebelum masuk," teguran William membuat Dinara menoleh kepada pria yang baru saja masuk dan terkejut setelahnya. Pria itu adalah pria yang telah mengambil kesuciannya 4 tahun yang lalu dan tak disangka Dinara akan menjadi sekretaris dari pria itu. Siapapun tolong Dinara untuk melarikan diri dari tempat ini. Dia tak yakin jika pekerjaan ini akan berjalan lancar. "Jangan terlalu dibesar-besarkan, Pah. Lagian aku ini baru mendarat di Indonesia dan Papa langsung memintaku ke kantor, memangnya Papa pikir nggak capek," sahut Narendra dengan ketus. "Bilang saja kamu mau bertemu dengan Bonita secepatnya," celetuk William tak lama kemudian. Narendra menyunggingkan senyuman sinis tak lama kemudian membuat William hanya mendengus kesal. "Kalau begitu Papa nggak akan lama-lama, ini adalah sekretaris kamu namanya Dinara Atmadja," ucap William sembari menunjuk ke arah Dinara yang semakin memucat di tempatnya berdiri. Narendra menoleh dan langsung mengenali Dinara sebagai si Putri Tidur yang menghilang pada pagi hari setelah mereka berdua mereguk manisnya surga dunia sepanjang malam. "Nice choice, Pah. Aku menyukainya," sahut Narendra yang langsung mengunci tatapan mata wanita itu. "Syukurlah jika kamu tidak protes," kata William. "Dinara, saya senang bertemu denganmu." Dinara merinding saat mendengarnya ditambah dengan tatapan Narendra yang menatapnya lapar. "Saya juga, Pak," sahut Dinara singkat. "Kalau begitu apa aku bisa mulai bekerja sekarang juga?" tanya Narendra yang menyimpan maksud kepada Dinara. "Kalau begitu kamu duduk di sofa saja, biar Dinara mengambil barang-barangnya di ruangan Pak Irfan," jawab William yang mempersilahkan direktur utama itu dan Dinara untuk meninggalkan ruangannya. "Dinara kamu lebih baik makan siang dulu karena sudah hampir jam 12 juga, saya tunggu jam 1," ucap William. "Kalau gitu aku juga mau makan siang, Pah," kata Narendra yang memilih mengikuti Dinara sampai ke lobi kantor. Narendra menunggu kesempatan sampai keadaan sekitar mereka sepi sebelum membuka pembicaraan dengan wanita itu. "Hei, Putri Tidur. Kita ketemu lagi dan kali ini aku nggak akan melepaskan kamu begitu saja," ucap Narendra sembari menggenggam tangan Dinara. "Lepaskan saya, Pak," pinta Dinara dengan memelas. "Kalau saya tidak mau?" tanya Narendra dengan nada arogan. "Saya akan berteriak dan mengatakan jika Bapak mau melecehkan saya." Narendra hanya tertawa saat mendengar ancaman konyol Dinara. "Apa kamu lupa jika kita telah berbagi saliva dan cairan tubuh 4 tahun yang lalu," ucap Narendra dengan nada tajam. "Dan lagi kamu berhutang sama saya Dinara atau ... kamu lebih suka saya menyerahkan kamu kepada Om kamu atau pria tua itu." Dinara semakin memucat saat mendengar perkataan Narendra. "Terus apa yang Bapak inginkan dari saya?" tanya Dinara dengan lirih. "Bagaimana kalau saya ingin meminta kamu untuk menghangatkan ranjang saya sama seperti 4 tahun yang lalu?" "Dan menjadikan saya sebagai selingkuhan, sementara Bapak sudah memiliki seorang istri?" tanya Dinara dengan mata menyalang tak menyangka jika dia akan terjebak dengan pria jahat seperti Narendra. "Bonita belum menjadi istri saya dan sekarang pilihan ada di tangan kamu Dinara, mau menjadi penghangat ranjang saya atau kembali kepada pria pemabuk dan penjudi itu," jawab Narendra dengan santai. "Jika kamu bersedia maka saya akan melindungi kamu dari orang-orang itu, jadi pikirkan baik-baik," tukas Narendra. "Bapak tidak memberikan pilihan yang menguntungkan bagi saya," sergah Dinara tak lama kemudian. "Anggap saja itu sebagai imbalan bagi saya karena menyelamatkan kamu dari jamahan pria tua bangka itu," ucap Narendra. Baru saja Dinara akan kembali menyahuti Narendra terdengar suara wanita yang menggelegar. "Rendra, kenapa lama sekali? Nggak tahu kalau aku sudah bosan menunggu." Narendra sontak melepaskan cekalan tangannya pada Dinara dan tersenyum pada wanita seksi yang berjalan ke arahnya. "Sorry Sayang, tadi aku membicarakan hal yang penting dengan sekretarisku," ujar Narendra. "Huh, kenapa tidak besok saja kamu bicaranya," celetuk Bonita dengan nada sinis. Dinara hanya dapat meneguk salivanya dengan susah payah saat melihat tatapan penuh permusuhan yang Bonita layangkan kepadanya. Bonita menggeram kesal saat melihat Dinara yang memiliki kecantikan alami yang tidak dia sadari. Wanita itu merasa Dinara adalah ancaman yang mengerikan baginya. "Padahal pria ini memiliki kekasih yang lebih seksi daripada aku, tapi kenapa dia masih menginginkan aku untuk memuaskannya di atas ranjang?" tanya Dinara di dalam hati. "Tapi yang aku bicarakan sangat penting, Sayang dan sekarang pembicaraan kami sudah selesai untuk saat ini," ucap Narendra. "Kalau begitu saya permisi dulu, Pak, Bu." Dinara yang merasa keadaan sudah tak menguntungkan baginya langsung berniat untuk undur diri, namun kakinya dijegal oleh Bonita sehingga dia terjatuh. "Aduh, koq bisa jatuh? Jalannya kurang hati-hati, sih?" ucap Bonita dengan nada mengejek. Dinara hanya dapat menahan rasa sakit pada lutut dan hatinya saat mendapatkan penghinaan dari Bonita sementara Narendra menatapnya dengan tanpa ekspresi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN