Bab 4. Permintaan Tak Masuk Akal

1240 Kata
Dengan menahan sakit pada kedua lututnya, Dinara mencoba berdiri dan mengabaikan tatapan penuh penghinaan yang dilayangkan oleh Bonita. Mengharap bantuan Narendra pun tidak mungkin Dinara lakukan, karena seperti peribahasa 'Bagaikan punguk merindukan bulan'. Hal yang sangat mustahil. Bahkan Narendra hanya bergeming saat melihatnya terjatuh akibat ulah dari sang kekasih. Membuat Dinara semakin merasa terhina. "Aduh kasihan, pasti sakit. Makanya lain kali jalan itu hati-hati, dong," ucap Bonita dengan nada menyindir. Kali ini Dinara memilih untuk mengabaikan sepasang kekasih gila itu, perpaduan rasa sakit dan malu membuatnya lupa akan rasa lapar yang sempat mendera. Walaupun tak menoleh ke belakang, Dinara masih merasakan tatapan tajam yang mengarah kepadanya yang mungkin saja berasal dari Narendra atau Bonita. . Dinara berusaha untuk mengabaikan perasaan tak nyaman itu dan tetap melangkah maju. Dia tidak boleh terlihat lemah di hadapan kedua orang yang ingin melihatnya sengsara itu. "Kenapa aku harus bertemu kembali dengan pria itu? Sial sekali nasibku," gumam Dinara dengan suara pelan. Dengan langkah tertatih-tatih, Dinara menuju ke koperasi karyawan. Dia akan membeli plester untuk menutupi luka di kedua lututnya akibat membentur lantai dengan sangat kuat. Dan juga ... beberapa makanan ringan untuk mengganjal perutnya. Tepat Dinara selesai memakan makanannya, waktu sudah menunjukkan angka 13:00 pada smartwacth-nya. Masih menahan rasa sakit pada kedua lututnya, wanita itu memaksakan langkah menuju ruangan CEO, ruangan yang mungkin mulai besok akan menjadi tempat kerjanya bersama dengan Narendra. "Selamat siang, Pak," ucap Dinara kepada William. William menengadah untuk melihat Dinara dan mengenyit saat menyadari jika ada yang salah dengan sekretaris sang putra. Setelah mengamati dengan cermat, William menyadari jika pada kedua lutut Dinara telah tertempel plester luka. Tak dapat menahan rasa penasarannya akhirnya membuat pria itu melemparkan tanya kepada perempuan muda yang ada di hadapannya. "Kamu kenapa jalannya pincang seperti itu?" Dinara hanya dapat meringis saat mendengarnya, tak mungkin juga dia mengatakan kepada sang bos besar jika kekasih sang putra sengaja menjegal langkahnya sehingga membuatnya terjatuh. "Saya tak sengaja tersandung karpet saat mau keluar dari kamar mandi, Pak. Saya terburu-buru karena lapar," ucap Dinara dengan dusta. Kembali William mengernyit sebagai pertanda Jika dia tidak mempercayai alasan yang dikemukakan oleh Dinara. Akan tetapi wanita itu berusaha untuk tenang dan tetap menatap mata sang bos besar dengan penuh keyakinan. William akhirnya menghela napas kasar saat menyadari jika tidak bisa membuat Dinara untuk berkata jujur. Menurut penuturan dari Irfan, atasan Dinara yang sebelumnya wanita itu terkenal dengan sikap perfeksionis dan hati-hatinya sehingga tidak mungkin akan melakukan hal yang ceroboh seperti ini. "Kalau begitu lain kali kamu harus lebih berhati-hati karena kalau bukan kamu siapa lagi yang akan menjaga dirimu." Dinara merasa terharu karena William mengucapkannya dengan nada kebapaan yang membuat dia merindukan sang ayah yang sudah meninggal. Hampir saja wanita itu meneteskan air mata jika tidak mengingat kalau dia masih berada di kantor dan berhadapan dengan sang bos besar. "Kalau begitu saya izinkan kamu untuk pulang sekarang, hitung-hitung istirahat untuk mempersiapkan diri menjadi sekretaris Narendra besok. Saya berharap banyak kamu bisa membantunya menduduki jabatan CEO ini." Perkataan William membuat Dinara mencelos dalam hatinya kala mengingat permintaan gila dari Narendra yang menginginkannya sebagai penghangat ranjang pria itu. Suka tidak suka Dinara harus menyetujui tawaran dari pria itu supaya Anwar maupun Anthony tidak dapat menemukannya. Dia sudah berlari sejauh ini jadi mana mungkin Dinara sudi untuk kembali kepada sang paman yang memiliki kebiasaan berjudi dan mabuk. "Terima kasih atas pengertiannya, Pak. Saya permisi dulu," ucap Dinara sebelum pamit undur diri dari hadapan William. Dinara menghembuskan napas lega saat menghempaskan tubuhnya ke atas kasur, setelah memaksakan diri untuk mengemudi motornya ke rumah petakan yang dia sewa selama 4 tahun ini. Namun dia tidak dapat memejamkan mata karena teringat akan Narendra dan permainan panas yang pernah mereka lakukan. Membayangkan dirinya akan kembali merasakan sentuhan dari pria itu membuat tubuhnya meremang Helaan napas berulang kali keluar dari bibir Dinara. Dia sadar jika Narendra hanya menganggapnya sebatas penghangat ranjang atau kasarnya sebagai gundik dari pria itu. Tapi sekali lagi dia menekankan pada dirinya jika tidak memiliki pilihan lain. "Memangnya apa yang bisa kamu lakukan Nara? Mereka itu orang besar dan kamu hanyalah orang kecil, jadi tidak mungkin akan menang melawan semua ketidakadilan ini," gumam Dinara dengan lirih. Akhirnya Dinara memutuskan untuk meminum dua butir obat tidur karena tidak mau terlalu banyak berpikir yang akan membuat kecemasannya semakin besar. Sekitar 15 menit kemudian efek dari obat tidur itu mulai dirasakan Dinara dan wanita itu akhirnya terlelap dari sore sampai besok subuhnya, sampai-sampai dia melewatkan makan malam. "Dinara, mulai hari ini kamu harus kuat dan sabar," gumamnya menyemangati diri sendiri. Perut yang lapar memaksa Dinara untuk menyiapkan sarapan meski waktu masih menunjukkan pukul 04:20. Tak terasa mentari kembali datang menyambut kesibukan dari setiap manusia, begitu juga dengan Dinara yang sudah bersiap dengan pakaian kerjanya yang berupa kemeja berwarna hijau sage dan celana panjang bahan berwarna hitam. Meski tahu jika mulai hari ini kehidupannya akan semakin sulit, tapi Dinara tetap memaksakan senyumnya karena hanya itu yang dapat dilakukannya saat ini. Suasana kantor masih terlihat sepi saat Dinara tiba dan itu membuatnya lega karena dapat sarapan untuk mempersiapkan energinya dalam menghadapi Narendra. William sudah ada di dalam ruangannya tepat jam 08.00 pagi. Begitu juga dengan Narendra yang menatapnya penuh arti. Setelah berbincang sebentar dengan keduanya William meninggalkan kantor ini untuk melanjutkan pekerjaannya di rumah. Pinggang William yang mudah encok dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir ini mengharuskan pria itu untuk lebih banyak berbaring daripada duduk. "Putri Tidur." Panggilan itu membuat Dinara terkesiap, apalagi Narendra menatapnya dengan tajam seakan ingin segera menerkamnya. "Sekarang bukannya kita harus membicarakan apa yang seharusnya kita lakukan saat selesai menghabiskan malam yang panas membara," ucap Narendra dengan nada berat. "Tapi saya merasa tidak ada yang perlu kita bicarakan, Pak," sahut Dinara yang berusaha untuk tenang. "Jadi begitu rupanya menurut kamu." Dengan sinis Narendra membalas ucapan Dinara, pria itu menghampiri Dinara yang diam dalam posisi duduknya. Posisi itu mengingatkan Narendra akan pose sensual wanita itu yang mampu memancing gairahnya 4 tahun yang lalu. Sembari mengelus pipi Dinara, Narendra berkata kepada wanita itu, "Padahal saya harus menghadapi kemarahan pria tua bangka yang membeli kamu dari pemabuk dan penjudi itu. Jadi apa keputusan kamu, Putri Tidur?" "Saya ... saya aa-akan menerima tawaran Bapak," ucap Dinara dengan terbata-bata. "Nice choice, Putri Tidur," sahut Narendra yang kini melingkari bibir Dinara dengan jari telunjuknya. "Tapi bagaimana dengan ibu Bonita?" tanya Dinara setelah mengumpulkan keberaniannya. "Dia tidak perlu tahu," jawaban Narendra yang santai itu membuat Dinara sakit hati. "Mengapa Bapak tega melakukan ini kepada saya? Seharusnya Bapak membiarkan saja saya dijamah oleh pria tua itu," tanya Dinara dengan lirih, air mata bahkan sudah menggenang di netra coklat itu. "Kalau begitu kenapa kamu menunjukkan raut wajah menyedihkan seperti itu di depan saya waktu itu?" Narendra bertanya balik dengan sinis. "Kenapa semua ini jadi salah saya sementara Bapak sendiri yang mengulurkan tangan untuk membantu saya," ucap Dinara dengan air mata yang mengalir semakin deras. "Anggap saja kamu memang ditakdirkan untuk menjadi pelayanku di atas ranjang," hina Narendra yang membuat Dinara tak lagi dapat menjawab. Apa bedanya dirinya dengan w************n yang menjajakan tubuhnya untuk mendapatkan sejumlah uang? Kepalanya bahkan tertunduk layaknya kesatria yang kalah berperang di medan pertempuran. Kembali dalam keadaan hidup namun membawa rasa malu dan penyesalan di dalam diri. "Sepertinya kamu sudah mengerti apa yang saya katakan," kata Narendra dengan senyum kemenangan. Dinara hanya dapat menatap nanar Narendra yang terlihat puas karena sudah menjatuhkan harga dirinya sebagai seorang wanita. Andai saja Dinara tahu imbalan yang diminta Narendra sebesar ini, dia tidak akan menerimanya. Andai saja!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN