Segudang Luka, Tidak Akan Membuatmu Bernanah!

1671 Kata
Mata tidak bisa menipu. Kalila bisa melihat apakah seseorang itu tersenyum dengan tulus atau hanya berpura-pura, dari sinar mata lawannya. Hanya saja, ia seperti berdiri dengan tebakan belaka. Tak ada bukti nyata yang bisa digunakan untuk memperlihatkan koreng di dalam hati laki-laki yang berdiri seperti musuh di dalam selimut tersebut. Meskipun awalnya Kalila percaya bahwa ada yang tidak beres, sebelum Rania ditemukan dalam keadaan yang tidak baik-baik saja. Namun pikirannya tidak tersampaikan karena tak memiliki cukup kuat informasi, sehingga ia gagal menelanjangii Elo di hadapan semua orang. Tak dapat dipungkiri. Rasa curiga itu telah bersarang di dadanya Kalila. Semua tentang Elo dan beberapa sikapnya yang janggal. Namun sayang, setiap kali Kalila merasa sudah mendapatkan bukti-buktinya, ia malah terguling di dalam prasangka seorang diri. Pagi menjelang, sinar mentari mengusik semua orang yang berada di dalam ruang perawatan yang luas tersebut. Tidak ada yang benar-benar bisa beristirahat sejak semalam. Sebab, bukan hanya kebahagiaan yang yang menghampiri keluarga kaya raya ini, tetapi juga ketegangan. "Pa, Ma!" Kalila berniat untuk meninggalkan ruangan ini. "Kalila pulang duluan ya? Nggak apa-apakan, Rania? Lagian, banyak orang yang sangat menyayangimu di sini." "Kakak mau ke mana?" tanya Rania terdengar perduli. "Apa Kakak tidak ingin melihat hasil USG siang ini?" "Aku ... ." "Rania benar, Lila. Lagipula, bukankah waktumu untuk bersenang-senang telah usai? Tiga hari yang Papa berikan sudah berakhir kemarin. Sekarang, seharusnya kamu sudah mampu menjawab pertanyaan sebelumnya. Atau, setidaknya kamu bersedia untuk menyetujui sebuah pernikahan yang telah papa rancang!" Papa mulai menyusup dan memaksakan kehendaknya terhadap Kalila. "Mau sampai kapan kamu seperti ini?" "Pa ... ." Kalila terlihat melemah, dan tidak mampu melanjutkan ucapannya. Tuan Husain membuka matanya lebar-lebar, bibirnya tampak bergetar akibat menahan perasaannya. "Apa lagi alasannya? Apa perlu menunggu Papa berpindah alam dulu, baru kamu akan menikah atau bekerja di perusahaan Papa?" "Papa nggak perlu bicara seperti itu! Kalila hanya butuh waktu, Pa." "Sampai kapan? Berapa usiamu? Sudah kepala tiga. Apa lagi yang kamu tunggu? Devan tidak akan bangkit dari kuburnya, Kalila!" bentak sang papa yang mulai menancapkan belati di jantung putri sulungnya. "Sebentar lagi, kulitmu itu akan berkerut. Kecantikan itu akan hilang, dan keinginan untuk bermesraan pun terabaikan. Jangan-jangan, kamu memang ingin mempermalukan Papa dan memilih menjadi seorang perawan tua?" tanya tuan Husain sambil menumpuk kedua tangan pada pinggangnya. "Selamat pagi, maaf mengganggu!" Mata Kalila terbelalak, jantungnya memompa dengan cepat. Suara laki-laki di luar sana, seolah menyeretnya untuk mendekat dan memeluk. Rasanya, detik ini ia membutuhkan perlindungan dari belati hati yang sudah papanya simpan sejak lama di dalam jiwa. "Ken ... ," gumam Kalila dengan suara yang bergetar. "Ken?" Pria tinggi, tegap, berkulit sawo matang, bersuara tebal, dengan pakaian rapi berseragam polisi, masuk ke dalam ruang perawatan Rania. Jika berdiri tegak, Kalila yang tinggi semampai, hanya sebatas dagu Ken saja. "Ken?" tanya Rania dengan suara yang samar-samar terdengar. "Apa benar itu orangnya?" Rania menatap pria yang sudah mencuri perhatian kakaknya yang cantik dan baru saja kemarin malam dibicarakan. "Ken, Om, Tante!" sapa laki-laki berparas dewa tersebut sambil mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat. "Ken!" Ia memperkenalkan diri kepada Elo. Ketika tangan mereka bertemu, Ken dapat merasakan udara dingin menguasai telapak tangan b******n tersebut. Ken kembali ke sisi kanan Kalila dan memperhatikan wajah pucat wanita berlesung pipi dalam tersebut. "Bawa aku pergi dari sini!" bisik Kalila dengan mata yang berkaca-kaca. "Please!" Ken yang mendengar kalimat-kalimat tajam yang keluar dari bibir tuan Husain, langsung mengangguk dan memegang kepala Kalila. Sambil tersenyum, ia mendekati Rania dan ternyata sudah membawakannya beberapa roti manis yang tampak lezat. "Bagaimana keadaanmu, Rania?" "Baik, Bang." Rania menjawab sambil tersenyum. "Ternyata Kak Kalila benar, Abang sangat tampan," puji Rania dan itu berhasil membakar hati Elo. "Kamu mengenalnya, Rania?" tanya tuan Husain, sambil kembali menilai perawakan Ken Arashi. Rania mengangguk kecil, dan senyumnya masih saja merekah. "Iya, Pa," jawabnya tampak begitu meyakinkan. "Papanya ke sini dong!" pinta Rania agar papanya berhenti mencerca kakaknya. "Kamu, mengenal Kalila putri saya atau Rania?" tanya tuan Husain terlihat sangat ingin tahu. "Kalila yang membuat Ken mengenal Rania, Om. Dia adalah adik kesayangan dari perempuan cantik yang berdiri di sana, kan?" Ken menatap punggung Kalila yang bergetar. "Rupanya, Rania tidak kalah cantik dengan Kalila." Ken berusaha untuk mencairkan suasana. "Semua itu karena mama mereka, Ken," timpal tuan Husain yang langsung menurun emosinya dan beliau terdengar langsung hafal dengan nama tersebut. Ken menatap nyonya Husain dan kembali memberinya senyuman terhangat. "Ken rasa juga begitu, Om." "Hahaha." Tuan Husain langsung tertawa bahagia, hatinya pun tiba-tiba merasa lega. Sebab, amarahnya tadi memang karena begitu menyayangi dan mengkhawatirkan putrinya, bukan membenci. "Itu menantu Om, Elo." Ken mengangkat tangan kanannya sebagai salam. "Selamat ya, kamu akan menjadi ayah." "Thank you," ucap Elo dengan bibir yang tersenyum, tapi hati terasa meradang. 'Siapa orang ini, dari mana asalnya?' Tanya Elo dalam tatapan sinis penuh kebencian. Sayangnya, tak ada satu pun orang yang memperhatikan mimik wajah beringas tersebut. "Abang tahu dari mana?" tanya Rania yang mencoba untuk mengakrabkan diri. "Soalnya, baru beberapa orang saja yang mengetahui tentang kehamilanku ini." Ken tersenyum hangat, ia seperti sosok saudara laki-laki yang begitu Rania impikan selama ini. "Hemmmh, penuh teka-teki," gumam wanita manis yang terlihat sudah lebih baik itu. "Maaf, Om, Tante, dan semuanya. Sepertinya kita harus berpisah untuk sementara waktu. Soalnya, ada tugas yang harus segera diselesaikan," ucap Ken sambil menatap mata semua orang. "Kalila, kamu mau pulang denganku?" Kalila mengangguk setuju. "Em," jawabnya singkat. "Sejak keluar dari ruangan ini, Kalila adalah tanggung jawab Ken, Om. Intinya, sampai kembali pulang ke rumah. Setelah ini, bisa saja kita jalan dulu sebentar. Soalnya Lila ingin meninjau pekerjaanku, hahahaha. Sepertinya, dia takut tertipu." "Hahaha, ada-ada saja kalian ini. Bagus, kamu sangat bertanggung jawab." Tuan Husain menepuk pundak Ken Arashi dan beliau terlihat begitu menyukai pria yang satu ini. Melihat kedekatan ini, Elo mulai mengumpat di dalam hatinya. Bahkan, semua nama-nama hewan yang haram, ia sebutkan sambil mengeluarkan badai amarah di dalam jiwanya. Ia benar-benar tidak rela jika Ken menyalipnya. "Permisi!" "Silakan!" Kalila yang masih terluka, tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada semua orang. Ia hanya melangkah, ketika Ken merangkul lembut tubuhnya dengan tangan kanan. Sepanjang jalan, menjelang area parkiran. Kalila sama sekali tidak mengangkat bibir, dan wajahnya. Ken yang sadar akan hal itu, langsung mencoba untuk membuat wanitanya nyaman dan kembali ceria. Meskipun ia tidak pandai memutar kata dan merayu. Namun, jiwa petualangan kini menembus titik-titik syaraf, sehingga ia bisa melakukannya dengan mulus dan mudah. "Hei wanita kuat!" panggil Ken sambil mengimbangi langkah Kalila, namun ia tidak mendapatkan jawaban. "Aku merasa sangat beruntung pagi ini. Dan semua karena kamu." "Jangan mengejekku!" "Tidak." Ken tersenyum simpul. "Walaupun rasanya aneh juga." Kalila menghentikan langkahnya dan suasana terasa begitu sepi. Seakan-akan, tidak ada orang lain di tempat ini kecuali dirinya dan wanitanya. "Kamu meledekku?" "Tidak, bukan begitu." Ken menundukkan kepala dan terus tersenyum. "Ingat bagaimana pertama kali kita jumpa?" tanya Ken sambil menyusup ke dalam jiwa Kalila, lewat tatapan matanya. "Ya," jawab perempuan berlesung pilih dalam tersebut, walau terkesan malas. "Sore itu, kamu begitu sempurna," puji Ken tampak sungguh-sungguh. "Pakaian itu, hiasan kepala, rambut, sepatu, dan aroma tubuh yang sempurna." Kalila menyipitkan pandangannya, berusaha untuk memahami kalimat yang keluar dari bibir Ken, sebelum menghakiminya. "Jangan tersinggung dulu!" pinta Ken sambil mengulum senyumnya. "Lalu, malam itu. Kamu terlihat sangat berantakan. Kacau, dengan pakaian yang robek, dan tanpa mengenakan alas kaki dengan benar. Lalu hari ini, dipertemuan ketiga, kamu tampil seperti seorang istri yang kelelahan akibat mengurus suaminya yang nakal." Kalila memperhatikan ke bawah (Diri sendiri). Ia pun baru menyadari tentang busana yang dikenakannya. Memang masih tergolong sopan, dengan baju tidur kimono panjang berkain sutra. Tetapi tetap saja, itu adalah satu set pakaian tidur di hadapan Ken. Apalagi tubuh molek tersebut, tampak indah dan menawan. Bersama tonjolan penopang hasrat dunia yang sempurna. "Aku ... ." "Bersembunyilah di belakangku! Oke?" pinta Ken yang jalan setengah langkah lebih maju demi menutupi tubuh Kalila yang tampak molek dan sintal. "Iya." Tubuh Ken yang kekar, tinggi, dan bidang, rupanya berhasil menyumbat tatapan banyak mata yang sebelumnya mengarah langsung kepada Kalila. Wanita itu mulai tersenyum simpul, dan menggandeng erat lengan jangkar milik Ken Arashi. Setibanya di dalam mobil, Ken menatap jauh ke depan. Ia ingin sekali membuat Kalila bahagia, tapi tidak tahu caranya. Apalagi, wanita itu kembali menunduk dan berwajah muram. Mungkin ia begitu terluka akan ucapan papanya. Tak lama, sesuatu terlintas di benak abdi negara tersebut. Ken pun segera mengungkapkan sekelompok kalimat manis, yang ternyata akan menjadi pegangan dan kekuatan Kalila, sepanjang hidupnya. "Lila!" Di kursi depan, Kalila menggenggam tangannya sendiri. "Hm?" sahutnya dalam gumaman risau. "Segudang luka, tidak akan membuatmu bernanah. Segala penghinaan, tidak akan membuatmu menyerah. Segala fitnah, tidak akan menjadikanmu lemah. Aku percaya itu, sebab kamu adalah wanita terkuat yang pernah aku temui." Kalila mengangkat wajahnya dan menatap ke arah yang sama dengan pria yang berada di sampingnya. Ia pun terperangah dengan kalimat yang baru saja Ken ini ucapkan untuk dirinya. Sebab, semua terdengar begitu indah, tulus, dan penuh doa. "Itu sebabnya, masa depan ada di tanganmu sendiri, bukan mereka yang membuatmu terluka, ataupun yang menghina. Semakin banyak rintangan, semakin cemerlang masa depan itu! Ayo, kembalilah menjadi dirimu yang kuat, Lila! Papamu, hanya tengah gundah dan terlalu dalam memikirkan putrinya. Itu sebabnya, beliau berkata kasar, seolah ingin mencelakaimu dengan lidahnya yang tipis dan mengiris. Padahal, tidak seperti itu." "Kamu tidak mengenal papaku, Ken." "Tapi, Lila. Setidaknya, kamu masih memilikinya. Beliau tampak begitu menyayangimu. Coba lihat aku! Sekarang, aku hanya seorang diri saja di dunia ini." Kalila yang belum mengenal Ken dan kehidupannya, cuma bisa terdiam, lalu memahami maksud pria ini. Ia tidak lagi ingin membantah, dan memutuskan untuk menerima masukan, serta motivasi yang baru saja Ken berikan kepada dirinya. "Kamu punya aku, untuk mengatakan banyak hal," ujar Kalila, sesaat setelah Ken menginjak pedal bagian kanan dari mobilnya. Setelah mendengar kalimat tersebut, Ken menarik kedua sisi bibirnya sama rata, hingga membentuk bulan sabit yang sempurna. Wajah pria itu pun bercahaya dan mereka kembali tersenyum bersama. Bagi Ken, ini adalah kali pertama ia berbicara dengan segenap jiwa. Sementara menurut Kalila, hanya Ken semata yang bisa diterima ucapannya selain almarhum Devan. Bersambung. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN