Sebelumnya, ketika Elo dan Rania pertama kali bertemu di ruang IGD. Saat mata mereka saling menyapa, Rania pun langsung menangis. Detik itu, jantung Elo langsung berdegup cepat. Sebab, ketakutan menjelma seolah merongrong untuk jujur atas pertanyaan yang mungkin saja muncul di dalam percakapan dalam situasi menegangkan ini.
Sambil menggenggam kedua tangannya erat-erat, Elo bertahan dan berusaha untuk mengatur napasnya yang telah memburu. Seumur pernikahan mereka, baru kali ini ia merasa sangat takut ketika berhadapan dengan istrinya.
'Tidak! Belum waktunya untuk menyerah.' Kata jiwa iblis Elo, terdengar setengah membentak, sambil menepuk hati laki-laki berkulit putih tersebut. Seketika, tatapannya langsung menguap dan tajam. Selain itu, ia juga merasa siap untuk menjawab setiap pertanyaan yang akan muncul dari bibir istrinya.
Sebelum Rania mulai mencerca, Elo memainkan perannya dengan cepat ia tersenyum bersama mata yang pura-pura menangis. Lalu, dengan sigap ia meraih serta memegang tangan kanan sang istri yang terbebas dari jarum infus. Kemudian, ia menciumi jari jemari Rania yang masih terasa dingin tersebut.
"Syukurlah, kamu baik-baik saja, Sayang," ucap Elo sembari membenamkan wajah di tangan Rania. "Aku sangat takut dan tidak tahu, apa yang harus aku lakukan tanpa kamu, Sayang," katanya sambil terus berakting.
Tak lama, jari-jari kecil milik Rania, tampak menggenggam tangan suaminya yang pura-pura bergetar. Lalu ia menarik kedua sisi bibir sama rata dan terus menatap Elo sambil tersenyum. "Jangan lakukan lagi! Aku tidak sekuat itu," sahut Rania yang terdengar sama sekali tidak marah ataupun benci terhadap suaminya.
Sontak, kata-kata itu membuat kedua mata Elo terbelalak. Ia pun mencuri pandang, kemudian menatap tipis ke arah mata istrinya. Sadar bahwa posisinya dalam keadaan aman, Elo pun langsung menggapai dan memeluk Rania, seolah ia menyesali dan meminta maaf tanpa kata.
"Sudahlah!" pinta Rania yang saat ini hatinya tengah berbunga-bunga. Semua karena baru mendapatkan kabar baik yang sudah tahunan ia nantikan.
Elo mengangkat wajah dan menjaga jarak antara dirinya dan Rania agar tetap dekat. Sambil mengusap pipi kanan sang istri, Elo kembali memegang jari-jemari mungil tersebut.
"A-aku, aku benar-benar tidak tahan ketika kamu mengatakan bahwa seandainya kamu normal, tidak cacat. Pasti kita akan bisa menikmati waktu dengan romantika yang manis. Sayangnya, kondisimu seperti ini dan semua itu mungkin membuatku menjadi muak." Elo yang pintar memutar kata langsung dapat memenangkan hati Rania. "Itu sebabnya ... ."
"Emh ... ," gumam Rania yang kini malah merasa sikap suaminya tadi, tercipta karena ulahnya sendiri.
"Apalagi disaat kamu bilang. 'Akhir-akhir ini, hatiku membisikkannya dengan jelas. Aku sudah berusaha untuk pulih dengan segala terapi yang menyakitkan dan obat-obatan yang pahit.' Lalu kamu menambah. 'Elo, bisakah kita kembali pada masa-masa dulu, saat aku melihatmu seperti dewa? Kamu sekarang ini, banyak sekali berubah.' Kata-kata dan tatapanmu itu penuh dengan amarah, Sayang. Itu sebabnya, aku melakukan semuanya seperti dulu. Maafkan aku, Rania. Maaf, Sayang!" pinta Elo tampak sungguh-sungguh dan ia pun langsung memberikan kecupan hangat di pipi perempuan yang sebelumnya menjadi target pembunuhan berencana.
Rania yang begitu mencintai Elo tidak bisa melihat kebohongan di dalam tebing bibir suaminya yang manis tersebut. Yang ada malah, hanya sesuatu yang manis dan pembelaan atas sikap keji yang baru saja ia terima.
Padahal, sudah jelas-jelas jika Elo memaksakan kehendak dan tidak menghentikan permainannya. Meskipun Rania sudah memohon dan mengatakan bahwa kondisinya tidak sedang dalam keadaan baik-baik saja.
"Sudahlah, jangan disesali lagi!" saran Rania dengan suara yang terdengar lembut. Detik ini, tampak sekali jika dia telah memaafkan sikap brutal suaminya. "Yang penting, kamu tahu bahwa istrimu ini sangat lemah dan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan liar dengan durasi yang panjang."
"Maaf untuk itu, Sayang! Tetapi, tadi aku sedang membuktikan tentang sesuatu kepadamu. Yaitu mengenai kamu yang pantas dan layak untuk menjadi istri terhebat." Elo memuji kembali dan ia terlihat sangat lihai dalam menutupi kenyataan yang telah diciptakan.
"Dengar, Elo! Saat ini, aku rasa, diri ini memang layak untuk pengakuan itu, Sayang."
Elo menjaga jarak agar dapat menilai ekspresi wajah Rania kali ini. Bukan tanpa alasan, ia benar-benar tidak mengerti maksud dari perkataan perempuan manis itu. Sambil melipat dahi, laki-laki berkulit putih tersebut terus mencoba untuk memahami perkataan dari istrinya itu.
Rania membalas tatapan suaminya. "Aku sedang hamil, Sayang. Dokter bilang, aku tengah hamil," ucapannya berulang.
Bulir-bulir air mata bening langsung menetes kembali dari sudut ekor mata Rania yang tampak membesar dan berbinar-binar. Ia benar-benar terlihat bahagia dan tidak bisa mengingat kejadian buruk yang baru saja menimpanya. Seolah, semua itu menghilang begitu saja, dan terbang dibawa angin malam.
Detik ini, di ruang VIP. Kalila hanya terdiam di sudut ruangan, sembari memperhatikan gelagat adik dan iparnya. Rasanya, semua ini cukup membingungkan karena suasana sebelumnya tergolong menegangkan.
"Kak!" panggil Rania karena melihat kakaknya terdiam seorang diri.
"Iya?" Kalila berjalan mendekati Rania yang masih terbaring lemah di atas ranjang.
"Aku ingin tahu," ucap Rania sambil menggenggam tangan Kalila.
"Tentang apa?"
"Apa Kakak juga bahagia setelah mendengar berita kehamilan ini?"
"Pertanyaan macam apa ini? Tentu saja." Kalila yang semula terlihat tegang, kini tersenyum ceria. Ia berusaha menutupi kegelisahannya demi senyum sempurna dari bibir adiknya. Kalila menatap Elo. "Bagaimana perasaanmu?"
"Sama seperti Kakak dan Rania," jawab Elo yang terus saja memaksakan senyumnya. "Ini adalah berita terbaik sepanjang pernikahan kami."
"Baguslah kalau begitu. Jadi tolong, jaga adik dan keponakanku dengan baik!" pinta Kalila bersama tatapan tajam. "Usahakan agar masalah dan tragedi semacam ini, tidak terjadi lagi! Bisakah kamu berjanji? Jangan sampai aku membencimu karena semua ini." Mata Kalila terbelalak dan ia terlihat serius kali ini.
"Kak Kalila, jangan begitu. Jangan terlalu keras terhadap Elo!" bujuk Rania pada sang kakak agar tidak lagi menekan suaminya.
"Aku tidak bisa diam, sebelum dia berjanji kepadaku!?" Kalila merongrong agar Elo segera berjanji kepadanya di hadapan Rania.
Elo meletakkan tangan kanan di belakang pinggangnya. Lalu ia membuat sinyal seperti menggunting di sana. "Baik, Kak. Aku setuju untuk menjalankan semua permintaan Kak Kalila. Tapi ... ." Elo menggantung ucapannya dan mengharapkan sesuatu.
"Apa?"
"Tolong, jangan lagi melihatku seperti seorang musuh!" pinta Elo yang seperti tengah memikirkan rencana lainnya.
Kalila menghela napas panjang. "Itu hanya perasaanmu saja."
"Kalau memang begitu, peluk dia, Kak!" mohon Rania yang menginginkan kenyamanan dan kedamaian di hati semua orang. "Aku ingin kalian kompak dan menjagaku secara bersama-sama."
"Tidak perlu seperti itu!" tolak Kalila yang memang tidak pernah ingin disentuh oleh siapa pun yang tidak ia sukai.
"Kakak ini ... ," rengek Rania manja, tetapi Kalila pura-pura tidak memperdulikannya. Sementara Elo sudah menunggu momen di mana tubuh molek itu, terjalin sempurna bersama dengan hasratnya.
"Sayang!" Suara nyonya Husain menghentikan fantasi Elo saat ini.
'Agh, sial lagi!' Umpat Elo tanpa suara.
"Mama!" Rania teralihkan dan ia langsung melupakan keinginan dan permintaannya terhadap Rani.
"Selamat ya, Sayang. Makasih banyak loh." Mama memeluk erat, dan kebahagiaan terpancar sempurna dari raut wajahnya.
"Papa!" Elo mendekati tuan Husain dan memeluk erat.
"Selamat-selamat! Kerja bagus," puji sangat mertua sambil menepuk punggung menantunya. "Papa dan mamamu, apa mereka sudah tahu?" tanya tuan Husain terdengar antusias.
"Belum, Pa. Kita juga baru dapat kabar ini. Sekarang saja, masih menikmatinya."
"Hahaha, wajar saja. Ini sudah sangat lama, Elo. Tapi sekali lagi, terima kasih."
Kalila mundur perlahan, membiarkan Rania dan Elo mendapatkan ribuan pujian dan senyuman dari semua orang. Rasanya, saat ini ingin sekali menghubungi Ken Arashi. Namun sayang, waktunya sudah sangat larut malam. Ia tidak ingin mengganggu, namun entah mengapa, hatinya seperti membutuhkan pria kekar tersebut.
"Kalila!" Tuan Husain memanggil dengan nada tinggi. "Kapan giliran kamu memberikan Papa kebahagiaan?" tanyanya tampak marah sejak pulang dari luar negeri.
"Papa ... ." Rania mencoba untuk menghentikan celotehan papa yang mampu menyakiti hati kakaknya. "Jangan gitu dong sama Kakak, Pa! Rania nggak suka," rengeknya terdengar manja.
"Rania benar, Pa." Mama membantu agar tidak terjadi keributan dan tebaran air mata. "Kalau Papa seperti ini, ya seperti tidak bersyukur atas nikmat Tuhan yang jatuh satu pet satu di dalam keluarga kita." Mama terdengar bijak, dan sanggup untuk menentang kali ini.
"Kalian semua, sudah pintar bersekongkol ya?" Tuan Husain membuka matanya lebar-lebar. "Tapi, Mama benar," sambungnya sambil menghela napas panjang dan langsung memilih untuk mendekati putri bungsunya.
Bersambung.
Bagaimana Kalila menghadapi permintaan papanya yang ternyata sudah ingin memperkenalkan dan menjodohkan dirinya dengan salah satu anak pengusaha dari rekan kerjanya? Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.