Tubuh yang menghisap darahnya sendiri, takkan pernah dapat hidup dan menikmati segala keindahan dunia. Hanya rasa sakit dan terluka, di dalam kungkungan tak kasat mata. Seperti inilah jiwa Kalila, seolah otaknya menjadi parasit dan menggerogoti jiwanya. Ketakutan akan masa dengan dan cinta, sudah membuatnya bernapas di dalam kecacatan logika. Namun, hari ini. Ken mampu menyentil sedikit bagian terdalam dari hati yang kelam tersebut.
Sambil membelah jalanan, Ken mengintip Kalila dari ekor matanya. Sesekali, ia memperhatikan jam di pergelangan tangan kiri, dan kembali menatap jalanan.
"Kamu yakin bisa menungguku untuk bersiap?" tanya Kalila yang menyadari kegelisahan Ken, tentang waktu.
"Sebenarnya, hari ini adalah jam tenang untukku. Tentunya setelah jadwal piket yang panjang dan berantai. Jadi, aku bebas."
"Em, aku hanya tidak ingin kamu mengabaikan kewajibanmu."
"Tidak mungkin, itu bukan aku."
"Bagus." Wajah Kalila tampak tegang. "Ngomong-ngomong, makasih ya. Kamu datang disaat yang tepat. Kamu sudah menyelamatkan senyum, sekaligus air mataku pagi ini."
"Bukankah aku harus melindungi saksi?"
Kalila melengkungkan bibir, dan mulai tersenyum. "Ternyata, otakmu encer juga ya. Selama ini, jarang sekali aku menemukan seorang pria dan bisa mengimbangi kata-kata yang keluar dari bibirku."
"Mungkin, mereka sedang kacau ketika kamu bertanya."
"Kenapa?"
"Melihat wajah kamu saja, sinyal di kepala langsung eror. Apa kamu tidak menyadari itu, Kalila?"
Mata wanita berparas bidadari itu langsung membulat dan besar. Mau tidak mau, suka tidak suka, ia sudah terbawa arus hati yang telah diciptakan oleh Ken Arashi.
"Kamu ... ."
"Aku tidak sedang membual ataupun merayu."
Seumur hidup, baru kali ini Ken melihat wanita yang indah, meskipun tanpa warna-warni make up yang mampu menutupi segala kekurangan di wajahnya. Yang ada, Ken malah merasa teperdaya tatkala menghadapi Kalila yang berantakan. Sebab, otak dan fantasinya langsung melanglang buana. Padahal, hingga detik ini Ken belum pernah benar-benar menikmati lesung pipi dalam milik Kalila yang semakin memaniskan raut wajahnya.
"Hei, dari mana kamu tahu kalau aku di rumah sakit dan Rania tengah hamil?" Kalila yang baru menyadari tentang hal itu, langsung menoleh dan bertanya.
"Satpam di rumahmu yang memberitahukannya. Seperti janjiku, aku ke rumahmu untuk menjemput. Tapi, dia bilang kamu tidak sedang di rumah saat itu. Kami berbincang cukup lama dan aku memutuskan untuk menemuimu di rumah sakit. Rupanya, perasaanku cukup kuat terhadapmu."
"Mana mungkin seperti itu," gumam Kalila yang merasa bahwa semua ini hanya kebetulan saja. "Kita kan baru berjumpa."
"Kamu benar soal itu, tapi kulit kita juga sudah cukup dalam beradu," timpal Ken dengan santainya, sambil mengingatkan Kalila tentang malam yang indah bersama kecupan hangat.
"Itu ... ." Bibir Kalila tak mampu untuk menjawabnya. Baru kali ini ia merasa kalah telak di hadapan seorang pria. Sebab, Devan saja masih bisa ia patahkan. Namun tidak dengan Ken Arashi.
Sambil menahan sikap yang sudah salah tingkah, Kalila langsung turun dari dalam mobil dan berjalan cepat ke dalam rumahnya. Ia benar-benar tidak mampu menutupi rasa malu, hingga lupa menawarkan tempat duduk ataupun cemilan untuk laki-lakinya.
"Aden, silakan masuk! Tunggu di dalam saja," kata bibi yang sudah memasang senyum hangat untuk Ken Arashi.
"Nggak apa-apa, di sini saja," timpal Ken yang juga langsung membalas senyuman tulus dari asisten rumah tangga yang sudah bekerja sejak lama, di keluarga tuan Husain.
"Ya sudah, kalau gitu Bibi buatkan kopi saja. Mau ya, Den?" tanya bibi sedikit memaksa.
"Baiklah."
Wanita paruh baya itu langsung bergegas masuk ke dalam rumah dan menyiapkan sarapan untuk tamu nona mudanya. Saat ini, wajahnya pun tampak penuh semangat. Wajar saja, ia adalah pelayan yang sejak dulu sudah mengurus Kalila dan Rania. Di matanya, si bungsu telah mendapatkan kebahagiaan. Sementara si sulung masih merana. Apalagi, sejak kematian Devan, tidak ada laki-laki yang menginjakkan kakinya kembali ke rumah mewah ini.
"Silakan, Den! Ini cake kesukaan non Kalila, lembut dan manis."
Ken tersenyum simpul. Ia cukup tersentuh dengan sikap hangat asisten senior di rumah ini. "Terima kasih, Bi."
"Sama-sama, Den. Saya senang sekali, akhirnya ada juga yang mampir ke sini untuk menemani non Kalila." Bibi menundukkan kepala, lalu meninggalkan Ken Arashi di ruang tamu.
Hampir tiga puluh menit, menikmati makanan dan minuman yang nikmat. Ken mendongak karena mendengar suara langkah lembut pada anak tangga berwarna putih keemasan. Rupanya, Kalila sudah siap untuk menjalani hari sebagai saksi sekaligus korban sikap nakal sopir malam yang hampir merogoh tubuhnya.
Blazer berwarna hitam kembali menjadi pilihan Kalila untuk menemani hatinya yang suram. Dengan gaya rambut yang digelung ke atas, lalu disemat dengan aksesoris dari jepit rambut mutiara air tawar, Kalila terlihat berkelas, persis seperti pertama kali Ken berjumpa dengannya.
Kekaguman kembali menumpuk dan Ken langsung berdiri untuk menyambut wanitanya. Setelah Kalila mendekat, spontan, Ken mengeluarkan kotak bludru yang berisikan bros spesial milik Kalila. "Silakan!" ucap Ken yang menyerahkannya dengan cara yang sopan dan manis.
Kalila tertunduk sejenak, dan sepertinya ia bingung harus mengatakan apa.
"Sekarang aku mengerti, kenapa warna dan rupa bros ini begitu sempurna. Rupanya, barang ini harus cocok dan mampu mengimbangi gayamu."
"Aku."
"Bagaimana jika aku yang memakaikannya?"
"Apa?"
"Tenang saja! Aku akan memilih tempat terhormat untukmu. Janji, tidak akan menyentuhmu."
Kalila terdiam kembali, sambil menatap dalam.
Ken membuka kotak tersebut, lalu mengambil bros milik Kalila. Kemudian, ia memasangkannya pada kerah baju kanan wanita cantik dan elegan tersebut. Ketika jarak tubuh keduanya begitu dekat, para asisten rumah tangga langsung mengabadikan momen manis nanti romantis tersebut. Dalam senyum, mereka semua memegang dadaa. Seolah jantung ingin lepas, meloncat, dan keluar dari tubuh mereka.
"Ya ampun, manis sekali. Bagaimana non Kalila bisa tetap tenang?"
"Mungkin tidak," timpal bibi. "Lihat ke arah tangan si non! Bahkan ia meremas tali tasnya untuk bertahan."
Semua orang memperhatikan petunjuk yang asisten senior berikan. "Waaah ... benar juga," timpal yang lainnya dan mereka tampak begitu bahagia.
"Sudah direkam belum?"
"Sudah-sudah. Seperti di acara-acara bioskop ya, Bi?"
"Masnya itu, bahkan jauh lebih tampan dari pada Devan dan tuan Elo."
"Suuut!" Bibi menutup ujung bibir asisten yang lain dengan tangan kanannya. "Kalian ini."
Tiga orang asisten rumah tangga, selain Sutini. Tampak girang pagi ini. Ketiganya seperti mendapatkan udara segar dari pemandangan tersebut. Doa pun kian mengalir dan mereka mengharapkan ikatan yang serius antara Ken dan Kalila.
"Mereka berdua sangat cocok."
"Serasi sekali."
Di sisi lain, Sutini juga memperhatikan keduanya dari lantai atas. Sambil mengelap kayu pembatas, ia melirik ke arah Ken dan Kalila. Hanya saja, ia tidak merekam kedekatan diantara keduanya. Sebab, ia tidak mengetahui bahwa tuannya (Elo) sebenarnya begitu tergila-gila kepada Kalila dan menginginkannya lebih. Lagi pula, tugasnya bukan ini. Sutini pun tidak bersedia untuk bekerja lebih dan membuang-buang tenaganya.
"Kamu terlihat sangat istimewa dengan bros ini," puji Ken yang tahu tentang asal muasal perhiasan mahal tersebut. "Ingin sarapan dulu?"
"Tidak, Ken," jawab Kalila yang terlihat sudah nyaman mengucapkan nama tersebut.
Ken memberi jalan kepada Kalila. Perempuan cantik itu pun langsung melangkah dengan sikap tenang dan tubuh tegap. Purnama yang paripurna, itulah penilaian seorang Ken Arashi terhadap Kalila.
Semua orang berkumpul dan mulai menyapa pria tampan yang terlihat rupawan tersebut. Mulai dari tukang kebun, satpam, hingga para sopir. Pak Adi pun keluar dari pos jaga, kemudian membukakan pintu pagar bagi keduanya.
"Hati-hati, Den!" Pak Adi memperlihatkan perhatiannya yang besar.
"Siap," jawab Ken bersama senyum.
Setelah membalas senyum semua orang, Ken membukakan pintu mobil bagian kiri depan untuk Kalila. Setelah wanitanya masuk, ia pun memutar dan langsung menaiki kendaraannya. Tanpa ingin membuang banyak waktu, Ken langsung membawa Kalila ke kantor polisi di mana Dedi ditahan.
Bersambung.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku, makasih.