Elo keluar dari dalam kamarnya untuk melakukan sesuatu demi membangkitkan gairah Rania. Laki-laki yang satu ini tahu persis bahwa dirinya tidak bisa memaksakan kehendak, dikala Rania menolak. Namun, malam ini merupakan waktu yang tepat untuk menggiring sang istri kepada titik kritis. Untuk itu, ia meski berbuat licik dan kembali mencampur minuman istrinya dengan obat-obatan yang telah diracik.
Sambil memperhatikan sekitar, dan berencana untuk langsung memilih buahan segar yang cocok, Elo berjalan cepat. Matanya sangat waspada, dan tidak ada yang bisa menilai tindak tanduknya, jika seseorang itu memang tak terlalu memperhatikan dirinya.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Sutini yang langsung mendekati Elo, ketika berjalan ke arah dapur.
Elo menyeringai jahat. "Kamu? Buatkan jus segar, dan tambahkan gula ini untuk memaniskan suasana!" titahnya sembunyi-sembunyi, lalu kembali ke dalam kamarnya.
Sutini yang langsung mengangguk patuh, paham arti makna yang keluar dari bibir majikannya. Meskipun ini baru pertama kali, sebab biasanya laki-laki berkulit putih itu melakukannya dengan tangan sendiri.
"Baik, Tuan," jawabnya sambil menunduk dan langsung bekerja dengan cepat.
Elo yang merasa bahwa perempuan ini adalah sosok setia, memilih untuk kembali ke dalam kamarnya untuk menemani Rania. Baginya, lebih baik bersama istrinya demi menjaga situasi dan kondisi yang baik. Selain itu, memastikan Rania masih terjaga, juga merupakan poin penting lainnya.
"Dari mana?" tanya Rania tampak ingin tahu.
"Aku memesan jus mangga. Ada yang mau?" tanyanya dalam senyum menjebak. "Tapi aku sudah meminta mereka membuatkan satu untukmu, Sayang."
"Kalau begitu, kenapa bertanya?"
"Hahaha, aku hanya ingin menggodamu."
"Hmmm, menyebalkan." Rania kembali menikmati coklat berbentuk hati yang berada di atas kedua kakinya.
Elo memegang tangan Rania dengan lembut. "Ada apa, Sayang? Kamu terlihat kurang bersemangat."
"Benarkah?"
Elo menganggukkan kepala berulang. "Iya."
"Aku hanya sedang berpikir."
"Tentang apa?"
"Seandainya aku ini normal, tidak cacat. Pasti kita akan bisa menikmati waktu dengan romantika yang manis. Sayangnya, kondisiku seperti ini dan semua itu mungkin membuatmu muak."
"Hei ... ," timpal Elo yang pura-pura perhatian. "Please, Rania! Aku sama sekali tidak pernah berpikir seperti itu."
"Tapi, akhir-akhir ini, hatiku membisikkannya dengan jelas." Rania menghentikan suapannya dan langsung menantang mata suaminya. "Aku sudah berusaha untuk pulih dengan segala terapi yang menyakitkan dan obat-obatan yang pahit. Tapi ... ." Rania menggeleng dengan manik mata yang bergetar.
"Jangan menangis!" pinta Elo terlihat penyayang. Padahal, ia tengah malas membujuk istrinya jika dalam mode seperti ini. "Kita masih bisa terus berusaha. Lagipula, kamu masih terlihat sangat cantik meskipun tidak bisa bergerak leluasa. Bahkan aku tidak bisa membayangkan bagaimana kamu, ketika masih hebat berlari dulu."
"Elo, bisakah kita kembali pada masa-masa dulu, saat aku melihatmu seperti dewa? Kamu sekarang ini, banyak sekali berubah."
"Wah ... siapa yang mengatakannya?" tanya Elo pura-pura tidak sadar dengan apa yang telah terjadi. Padahal, dia memang berusaha untuk menjauh dari Rania. "Sepertinya, kamu sedang salah paham."
"Aku ... ." Rania menahan air matanya. "Aku tidak sedang main-main."
Elo merapikan anak rambut istrinya dengan ujung jari. Lalu ia kembali memasang topeng terbaik, hingga mampu menutupi niat jahatnya. "Sepertinya kamu perlu bersenang-senang, Sayang. Bagaimana kalau malam ini kita menikmati malam dengan banyak sentuhan."
Rania menggeleng. "Sebaiknya jangan! Aku sangat lelah," elaknya.
Elo yang mendengar pengakuan tersebut semakin bahagia dan bersemangat ingin melanjutkan rencananya. Membunuh dengan cara seperti ini akan terlihat masuk akal. Itu sebabnya, ia melakukan semuanya dengan senyuman.
Tak lama, terdengar suara pintu kamar yang diketuk berulang. Senyum Elo mengembang., sebab ia tahu siapa yang datang dan apa yang akan terjadi malam ini. Menjelang obatnya bereaksi, Elo pun membakar dirinya dengan bayangan Kalila.
"Ini jusnya, Sayang. Aku pilihkan rasa yang sama," kata Elo yang langsung memberikan minuman yang telah bercampur dengan obat khusus untuk menaikkan gairah tersebut.
Saat ini sama sekali tidak dibedakan antara gelas tinggi untuk Rania maupun untuknya. Sebab, Elo juga membutuhkan khasiat obat tersebut demi memancing hasratnya malam ini.
Bersama semangat, Elo meneguk jus tersebut hingga tandas. Melihat Elo menikmati minuman itu dengan lahap, Rania pun mengikuti jejak suaminya. Sekitar dua puluh menit, keduanya mulai melayang dan menginginkan sentuhan.
Penggoda yang licik itu kini kembali menyunggingkan bibirnya. Sebab, apa yang ia rasakan juga istrinya terima. Keinginan untuk menyentuh dan disentuh kian menyusup hingga ke jiwa. Rasanya, saat ini, Elo tidak akan peduli pada siapa pun lawannya.
Saat ini, ketika melihat Rania, Elo merasa seperti menatap Kalila. Apalagi model mata kedua wanita ini sama persis, yaitu bulat besar dengan kelopak yang terlihat tegas. Lebih tepatnya lagi, Tuan Husain mewariskan mata pemimpin kepada kedua putrinya.
"Sayang ... ." Lalu Elo mulai melumat bagian vitall milik istrinya yang paling mampu membuat Rania menggila. "Ingin kamu!" pintanya dalam goda dan ia terlihat sudah sampai ke puncak keinginan.
Elo yang memang miliki niat jahat, langsung mengancang-ancang sentuhan brutal yang mampu membuat Rania tercekat. Dengan begitu, napas wanita lumpuh ini akan berantakan dan terhenti dengan sendirinya. Jika sudah seperti itu, Elo hanya tinggal menunggu waktu dan berbaring di sisinya saja, hingga pagi.
Permainan pertama dan kedua dalam durasi ekstra panjang, ditambah dengan pemanasan yang menggila, sudah membuat Rania kewalahan dan semakin pucat. Setelah berhenti sejenak dan beristirahat, Elo menambah kembali jumlah percintaan mereka. Rania terlihat menggeliat di dalam kesulitan nya untuk bernapas.
Sesekali, ia mendorong dadaa gempal milik suaminya dan meminta untuk tidak melanjutkan percintaan karena merasa lelah dan sesak napas. Sayangnya, Elo memang sengaja melakukan semua ini. Malah yang ada, ia menambahkan permainan lidahnya pada leher Rania.
Rania mulai kehilangan keseimbangan. Dunia pun tampak semakin gelap dan berkunang-kunang baginya. Saat menyadari hal tersebut, Elo kian mendekap tubuh istrinya dan menyakiti lebih dalam lagi.
"I love you, Sayang," bisik Elo demi menutupi sikap janggalnya malam ini.
Pada saat yang bersamaan, Rania mulai kehilangan kemampuannya untuk bernapas. Seperti seorang pengidap penyakit asma akut, ia merasa oksigen sangat jauh dari jangkauannya. Ketika menggelepar, kedua kaki Rania tampak menegang. Kemudian, tangannya spontan mencari sesuatu untuk membantu dirinya menyadarkan Elo bahwa dirinya dalam kondisi sekarat.
Vas bunga keramik sengaja ia jatuhkan dari meja sudut hingga mengeluarkan suara nyaring. Pada saat yang bersamaan, rupanya pak Adi sedang patroli rutin di dalam rumah mewah tersebut dan mendengar sinyal dari Rania.
Satpam senior tersebut tersentak dan langsung menempelkan daun telinganya pada pintu kamar Rania. Antara ragu dan harus mengetuk, pak Adi terlihat bingung. Apalagi setelah suara pecahan vas bunga tersebut, tiba-tiba suasana terasa sunyi.
Sementara di dalam kamar tidur Elo dan Rania, laki-laki berkulit putih itu masih saja menghentak tubuhnya di atas istrinya. Namun ia menyadari sesuatu, yaitu terdapat sepasang kaki yang tengah memperhatikan mereka dari luar kamar tersebut.
'Sial!' Pekik Elo di dalam hati. Namun ia menolak untuk menghentikan kegilaannya. Apalagi saat ini, Rania benar-benar terlihat sudah mencapai batasnya.
Demi menjaga situasi, Elo bergerak cepat dan terus menghujam. Setelah permainan ketiga usai, ia langsung membersihkan tubuh istrinya yang semula dipenuhi dengan jauhar miliknya.
Tak lama, terdengar suara pintu yang diketuk. Sambil memasang wajah kesal, Elo bergerak cepat ke arah sumber suara. Namun sebelumnya, ia sudah merapikan posisi tidur Rania yang memperlihatkan seolah istrinya tengah pulas.
Elo mengacak rambut dan membuka pintu kamarnya. "Ada apa?" tanyanya dengan suara parau, seolah baru bangun dari tidur yang lelap.
"Apa yang terjadi?" tanya Kalila sambil menatap jauh ke dalam.
"Maksudnya?" Elo memperlihatkan sikap seperti tak terjadi apa-apa di dalam kamarnya.
"Boleh aku masuk?" tanya Kalila yang sudah mendapatkan laporan dari pak Adi bahwa di dalam sana seperti sedang terjadi sesuatu, tetapi ia tidak berani untuk masuk ataupun memeriksanya.
"A, tapi ... Rania sedang tidur, Kak."
"Aku tahu, tapi aku ingin melihatnya sendiri." Kalila menatap penuh pertanyaan ke arah Elo.
Elo yang sudah begitu jatuh hati kepada Kalila, langsung meleleh dan tak mampu untuk menyangkal ucapan tersebut. Dengan cepat, ia mengangguk dan memberi jalan.
Setibanya di sisi kanan ranjang, Kalila melihat posisi tidur adiknya sangat apik dengan wajah menghadap ke arah Elo dan kedua tangan melihat dan menahan selimut. Tetapi, ketika memperhatikan vas bunga yang terjatuh di bawah cahaya remang-remang, Kalila memutuskan untuk menghidupkan lampu utama kamar tersebut.
"Rania!" pekik Kalila saat melihat adiknya sudah pucat pasi. "Raaa!" Kalila mendudukkan Rania dan memeluknya.
"Astaga, Sayaaang!" teriak Elo pura-pura panik. "Kamu kenapa?"
Kalila sama sekali tidak merespon ucapan Elo. Ia hanya terus mengurut punggung adiknya dengan lembut, untuk membuka jalur pernapasan Rania. Selang sepuluh menit, bersama doa dan air mata, Kalila berhasil menyelamatkan Rania.
Elo menggenggam kedua tangannya. Ia tampak sangat kesal, tapi harus menyembunyikan semua isi hatinya dengan baik agar semua orang tidak curiga.
Kalila mendongak dan langsung memberi perintah. "Kenapa diam saja? Ayo bawa Rania ke rumah sakit!" bentak Kalila sambil membuka matanya lebar-lebar.
"I-iya, Kak," jawab Elo yang sudah tidak memiliki pilihan.
"Non, mobil sudah disiapkan," timpal pak Adi yang memang saat itu langsung keluar untuk menghidupkan mobil.
Elo menggendong Rania dan langsung bergerak ke rumah sakit. Saat ini, tuan Husain dan istrinya sama sekali tidak mendengar keriuhan di luar kamar mereka. Untungnya, Kalila sangat tenang dan ia bisa membantu adiknya untuk bertahan.
Bersambung.