Curiga

1023 Kata
Malam menghujat hati wanita cantik berlesung pipi dalam. Di balik tatapannya yang tenang, hati bergetar sebagai sinyal ketakutan. Hanya satu yang ia inginkan saat ini, yaitu keselamatan bagi orang yang ia sayangi. 'Cukup! Jangan lagi' Itulah satu kata yang terus bermain di kepala dan hatinya. Di dalam doa dan tumpukan harapan, Kalila meminta kepada sang Pencipta agar tak mengambil semua kebahagiaannya. Menurutnya, entah apa yang akan terjadi kepada jiwa, jika adik semata wayang ini harus kehilangan napasnya. "Cepat, Pak!" pinta Kalila dengan nada suara yang mengegas tunggi, seperti orang yang tengah membentak dan ia sama sekali tidak menyadari itu. "Raniaaa ... ," ratapnya sambil terus menjaga posisi sang adik agar duduk tegak, sehingga mampu memompa jantung dan paru-parunya. Detik ini, Elo hanya membungkam tanpa kata. Ia terkejut berat, dan sontak semua itu memunculkan ketakutan di dalam hatinya. 'Apa yang harus aku katakan?' Tanyanya tanpa suara. "Kenapa Rania bisa seperti ini?" tanya Kalila mulai mencerca. "Padahal, tadi dia baik-baik saja. Apa yang kamu lakukan?" "Tidak ada, Kak." "Jangan menutupi apa pun dariku!" bentak Kalila dengan nada mengancam. Sepertinya, ia menaruh curiga kepada Elo. Tidak, bukan hanya dia saja. Bahkan pak Adi juga merasakan hal yang sama, tapi tidak mampu untuk berkata-kata. Itu sebabnya, ia sanggup membangunkan Kalila dengan cara meneleponnya. Kalila menatap tajam, seperti serigala malam yang tengah membidik mangsanya. Ketika melihat manik mata itu membesar dengan alis yang menekuk, hati Elo bergetar. Entah dari mana rasa takut itu. Sebab ia melupakan satu hal, yaitu seorang kakak pasti akan melindungi adiknya dari siapa saja yang mencurigakan. Tatapan mata Elo tidak bisa diam. Bahkan bola matanya sering kali berputar. Hal ini dapat diartikan Kalila, jika Elo sedang menyembunyikan sesuatu atau menyimpan hal penting lainnya. Kedua alis mata Elo turun serentak, seolah ia tengah mengemis iba. "Tidak mungkin aku menyakitinya, Kak," timbal laki-laki berkulit putih tersebut sambil menundukkan kepalanya. "Non, kita sudah tiba," ucap pak Adi setibanya di pintu ruang IGD. Elo membuka pintu belakang dan segera keluar. Kemudian, ia menggendong Rania dan memberikannya ciuman hangat tepat di hadapan Kalila demi menutupi kejahatannya. Saat ini, Rania masih memejamkan mata dalam kondisi yang lemah tidak berdaya. "Kalian tunggu di luar saja!" pinta Kalila yang memutuskan untuk masuk ke ruang IDG dan menemani Rania. "Tapi, Kak. Seharusnya, akulah yang berada di situ!" tukas Elo sambil menantang mata Kalila. "Tidak untuk kali ini," tukas Kalila bernada sinis. "Pak Adi tetap di sini ya?!" "Baik, Non." Saat di luar ruangan, Elo langsung duduk di kursi tunggu dengan kaki kanan yang menghimpit kaki kirinya. Menurut penilaian pak Adi, sama sekali tidak terlihat kekhawatiran di dalam dirinya terhadap Rania. 'Orang ini, sebenarnya dia sedang menikmati suasana, bersantai, atau stres dengan keadaan? Sehingga sulit untuk membaca isi hatinya. Ya Tuhan ... kenapa bisa ati ini menaruh rasa curiga?' Kata pak Adi di dalam hatinya. Sementara didalam ruang penyelamatan pertama, Kalila tampak cemas dengan adiknya. Selang tiga puluh menit, Rania pun membuka mata dan Kalila langsung mempertanyakan tentang perasaannya. 'Elo mengapa ia mendesak ku terlalu dalam?"' Tanya Rania tanpa suara. 'Padahal aku sudah meminta untuk menghentikannya.' Tatapan mata Rania menjadi sayup. Namun, sebelum komunikasi ini terjadi, obrolan kedua kakak beradik ini dipotong oleh seorang dokter yang sejak tadi mengurus Rania hingga sadarkan diri. Kata-kata wanita muda tersebut, membuat keduanya tercengang. "Selamat! Anda akan segera menjadi ibu. Selain itu, kondisi Anda telah membaik. Walaupun ada zat asing yang sebelumnya membuat hormon Anda bertambah dengan cepat. Namun sebaiknya, jangan diulang kembali!" sarannya sambil menatap dalam. "Jika tidak, bisa membahayakan diri dan juga kandungan Anda." "Apa?" Rania terkejut, tangannya langsung bergerak ringan, namun cepat. "Aku ... ." "Selamat ya!" ucap dokter sekali lagi, sambil mengusap jari jemari tangan kanan Rania. Lalu ia meninggalkan pasien yang satu ini, sesaat setelah memberikan saran. "Kakak ... ." Rania berusaha untuk mengangkat tubuhnya agar dapat memeluk Kalila. Melihat sang adik teramat bahagia, Kalila pun langsung menunduk dan memeluk wanita yang kini tengah berbahagia. Air mata menetes perlahan, kali ini merupakan lambang kebahagiaan. Sebab, a yang sudah Rania tunggu-tunggu selama ini, muncul di waktu ia sangat merasa berjarak dengan suaminya. "Dengarkan saran dokter tadi! Kamu harus bersedia untuk dirawat inap beberapa hari, Rania! Kakak janji, akan menjagamu." Rania menganggukkan kepala di dalam pelukan kakaknya. Rasanya, semua luka dan sakit pun, seketika menghilang bersama angin malam. Bahkan, Kalila yang berniat untuk mempertanyakan kejadian apa yang sudah menimpa adiknya, sirna. 'Tidak, aku harus bisa menahan diri. Sebaiknya, jangan merusak momen terbaik ini!' Kata Kalila di dalam hatinya. 'Nanti saja, Lila!' Bisik bagian dari dirinya yang lain. "Elo, di mana dia?" "Ada di luar, bersama pak Adi. Kamu ingin bersama dia?" "Iya, Kak." "Baiklah, Kakak panggilkan sekarang." "Makasih ya, Kak." Kalila melepaskan pelukannya dan memperlihatkan senyum terindah dari bibir nya yang ranum. Lalu, ia meninggalkan Rania yang terlihat sudah memerah kedua pipinya. Saat itu, ia hanya bisa berharap bahwa pikirannya salah terhadap adik iparnya. Mungkin, Elo terlalu lelah sehingga sulit baginya untuk segera bangun dan menolong Rania. "Bagaimana, Kak? Tania, apa dia tertolong?" tanya Elo yang langsung berdiri, saat melihat Kalila keluar dari ruangan dengan mata yang basah. 'Ayolah ... beri aku kabar bahagia, Sayang!' Pintanya sambil menatap Kalila, dan berbicara di dalam hatinya. "Iya," jawab Kalila yang berusaha menutupi rasa curiganya. "Dia memintamu untuk ke dalam!" 'Sial!' Elo emosional tanpa suara. Elo menghela napas panjang, seolah tidak suka menerima kabar tersebut. "Baik, Kak," jawabnya tidak bersemangat. Namun, karena Kalila terus saja memperhatikan tindak tanduknya, Elo berusaha menutupi sikap iblis di dalam dirinya dengan mata yang pura-pura bersedih dan terluka. 'Aku sangat suka ketika dia memperhatikanku. Tapi aku menjadi sangat marah, disaat menyadari bahwa tatapan tersebut penuh dengan tanda tanya, kecurigaan, dan seperti membenciku.' Elo terus menggerutu di dalam hatinya. Setelah Elo masuk ke dalam ruang IGD, Kalila dan pak Adi tampak saling menatap. Mereka seperti tengah berdiskusi hanya dengan tatapan saja. Tetapi demi menjaga suasana, keduanya hanya duduk berdampingan tanpa kata. Tak lama, suara nyaring dari roda-roda kecil yang membawa Rania, melewati Kalila dan pak Adi. Segera, keduanya berdiri dan menyusul untuk mendampingi. Setibanya di ruang VIP, Kalila meminta kepada pak Adi untuk pulang dan membawa mama ke rumah sakit ini. Bersambung. Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN