Dapat dikatakan gombal atau klise di dalam hubungan, bisa jadi obat mujarab untuk mengembalikan semangat hidup seseorang. Sejak kemarin, kata-kata yang keluar dari bibir Ken Arashi terdengar seperti rayuan pulau kelapa di telinga Kalila. Indah, syahdu, menghanyutkan, dan sangat menyenangkan.
Di dalam mobil yang terasa nyaman, bersih, bersama aroma sejuta bunga nan menenangkan, Kalila duduk dengan santai dan wajah cerah. Apalagi ketika Ken memutar sebuah musik romantis, bernada cinta, dengan tempo yang lamban. Wanita cantik tersebut memejamkan mata, seolah tengah menikmatinya.
"Kamu sudah siap?" tanya Ken setelah hampir melewati setengah perjalanan. "Aku harap, kamu kuat dalam menghadap tatapan mata brutal dari pria itu. Dengar! Dia tidak memiliki perjalanan kejahatan, sehingga mudah baginya untuk berkilah. Satu-satunya yang harus kamu lakukan, dan katakan adalah mengingat setiap sendi kejadian, serta menceritakan semuanya dengan jujur!" saran Ken yang ingin Kalila tetap berada pada jalannya yang benar dan fokus.
"Apa kamu tidak percaya kepadaku?" tanya Kalila merasa tersudut. "Maksudku, aku tidak membohongimu sejak awal dimulainya cerita."
"Kalila! Aku hanya mengkhawatirkanmu, bukan mencurigaimu. Paham?"
Setelah terdiam sejenak, akhirnya Kalila mengangguk cepat dan ia tampak siap untuk hari ini. Menurut jiwanya, ucapan Ken beberapa hari yang lalu adalah benar. Laki-laki seperti sopir ini, harus disingkirkan dari jalanan demi keselamatan banyak wanita yang lembur atau bekerja ekstra hingga larut malam.
Setelah cukup lama terdiam. "Ken!" panggil Kalila, tanpa menatap.
"Ya?"
"Thanks ya!"
"Untuk apa?"
"Semuanya."
"Hm ... ."
"Cuma begitu saja?" gerutu Kalila dalam tanya.
"Aku tidak mengerti, makanya hanya bergumam saja. Apalagi kamu terlihat manis saat menggerutu," goda Ken yang akhirnya menghentikan kendaraannya, tepat di belakang lampu merah.
"Apa?"
"Kamu cantik." Ken menggoda dengan ringan, sekali lagi.
Hati Kalila tersentil, lalu ia menoleh untuk menatap wajah Ken yang rupawan. Spontan, bibirnya pun melengkung indah, seperti membentuk bulan sabit yang sempurna. "Jangan menggombaliku lagi!" pinta Kalila yang kali ini bersedia memberikan senyum terbaiknya.
"Wah, itu ... ." Ken yang baru pertama kali melihat lesung pipi dalam milik Kalila dengan sangat jelas, langsung tertegun dibuatnya. "Rupanya, kamu memiliki parit kecil yang dalam dan setia menemani senyum indahmu itu ya, Kalila?"
"Apa?" tanya Kalila sambil menantang mata bulat besar milik Ken Arashi. Kalila tahu, laki-laki yang berada di hadapannya tidak sedang berbohong, atau sekedar memuji palsu.
"Kamu benar-benar cantik," puji Ken yang masih terlihat kaget dengan apa yang baru saja ia lihat.
"Tidak percaya," kata Kalila yang tengah malu hati, sambil menundukkan kepala dan kembali memainkan jari jemari tangannya yang lentik.
Jantung Ken Arashi berdebar lebih cepat dari pada sebelumnya. Ia baru pertama kali merasakan sensasi yang terus menyiksa seperti ini. Jika sedang jauh dan tidak bertemu, rasanya ingin sekali datang untuk berjumpa. Namun setelah bersama, ia berpikir untuk segera menghindar agar tidak patah langkah. Benar-benar situasi yang sulit dan penuh dilema.
Perjalanan yang penuh debaran pun berakhir di depan areal parkiran kantor polisi, di mana Ken Arashi bertugas. Kemudian keduanya melangkah bersama, menuju ke arah musuh mereka.
"Jami!"
"Yes?" Pria bertubuh tegap lainnya, menatap ke arah Ken dan Kalila bersama senyum. "Ya?" tanyanya sambil berdiri.
"Perkenalkan! Ini Kalila dan Lila, ini Jami yang akan mengurus kasusmu," jelas Ken sambil memperkenalkan keduanya.
Kalila menatap Ken dengan dahi yang dilipat. "Kenapa tidak kamu saja yang melakukannya?"
"Silakan duduk, Nona!" pinta Jami sambil memperhatikan Ken dan Kalila secara bergantian. "Awalnya, kasus ini memang ditangani langsung oleh Ken Arashi. Tetapi, karena ia sulit untuk mengontrol emosinya, jadi tugas ini dilimpahkan kepada saya," beber Jami agar Kalila memahami duduk persoalannya.
Kalila memilih duduk dengan cepat, setelah mendengar penjelasan tersebut. "Maksud Anda?"
"Anda akan tahu setelah bertemu dengan tersangka. Tapi sebelum itu, saya harus bertanya tentang apa yang Anda inginkan?"
"Aku ingin membuat laporan dan berharap laki-laki itu mendapatkan hukuman yang setimpal!" kata Kalila terdengar jelas dan tegas.
"Baiklah, kalau begitu kita mulai dengan laporannya! Setelah itu, Anda bisa melihat laki-laki itu."
"Ya."
Kalila menjawab dengan simpel, seolah ia malas untuk banyak bicara dengan seseorang jika tidak penting. Kemudian, ia langsung menceritakan kronologi kejadian malam itu dengan padat dan jelas. Mulai dari perasaannya yang tidak stabil, hingga apa yang ia rasakan di dalam kondisi mata yang kabur.
Kondisi ini cukup membuat Ken dan Jami bingung. Namun, mereka tahu harus menyusuri kasus ini dari sudut mana. Apalagi Ken Arashi, baginya apa pun yang terjadi, cepat atau lambat, semua ini harus dibongkar.
Setelah mendengar penjelasan dari Kalila, Ken tampak berang. Ia meremas ponselnya seperti penjepit jeruk peras yang kuat. Entah mengapa, rasanya ia ingin sekali mematahkan dan meremukkan kepala laki-laki yang kini sudah berada di balik jeruji besi sementara, di kantor tersebut.
Setelah memberi keterangan kurang lebih selama empat puluh lima menit, Jami mengajak Kalila untuk melihat si b******n. Ia berdiri untuk mendampingi wanita cantik ini karena tidak ingin Ken ikut ke dalam ruangan sepetak tersebut. Sebab menurut Jami, pria kekar itu akan semakin mengacau dan membantai tersangka yang sudah babak belur sejak kemarin.
Jami menahan dadanya Ken, lalu memberikan peringatan. "Kamu, tunggu di sini saja!"
"Apa? Kenapa?" tanya Ken sambil melipat dahi.
Tanpa menjawab, Jami melangkah lebih dulu. Sambil menenangkan Kalila, ia juga berusaha untuk melindungi wanita pemilik lesung pipi dalam tersebut dari kecemasannya sendiri. Setelah melewati dua ruangan khusus, akhirnya Kalila bisa melihat Dedi yang sedang duduk jongkok dan menyandarkan tubuhnya pada dinding berwarna putih dan sedikit berdebu.
Tanpa membuka mulutnya sedikit pun, Kalila yang semula cerah, kini wajahnya tampak muram. Ia benar-benar terlihat bingung dan kecewa pada keadaan. Apalagi dirinya memang tidak mengenali laki-laki yang berada di dalam sana.
"Bangun!" bentak Jami sambil memukul besi yang tersusun rapi di hadapannya.
Dadi tersentak, matanya langsung terbelalak tatkala melihat kehadiran Kalila di tempat ini. Wajah bonyok itu terlihat menyimpan api amarah yang masih berkobar, sebab ia merasa bahwa dirinya tidak bersalah dan Kalila memang seorang perempuan kotor yang bekerja di hotel pada malam tersebut.
"Apa yang terjadi kepadanya?" tanya Kalila sambil menoleh dan menatap Jami. "Rasanya, aku tidak memukulnya malam itu. Sebab, untuk menguasai diriku saja, rasanya sangat sulit," jelas Kalila dan ia sama sekali tidak sedang berbohong.
"Itu makanya akulah yang menemanimu saat ini. Ken, dia bisa menghancurkan laki-laki itu dengan mudah karena kesalahannya kepadamu."
"Ken?"
"Iya, Ken Arashi."
Setelah nama itu disebut, Kalila terdiam sejenak dan hanya menatap tajam dalam pemikiran yang beragam. Apalagi ketika Dedi melangkah ke arahnya dan berpikir bahwa perempuan ini tengah menipu semua orang dengan penampilannya yang anggun dan tertutup.
Dedi menatap penuh kebencian. "Lepaskan aku dari sini! Kamu, kamulah yang sudah memancing hasratku. Lalu mengapa sekarang kamu menjerumuskanku di tempat ini?" tunjuknya dengan mata yang terbuka lebar.
"Turunkan volume suaramu, sebelum penguasa di tempat ini mendengarnya! Aku tidak akan membantu dan menjagamu lagi kali ini," ancam Jami yang tampak tidak suka dengan gaya Dedi tersebut.
"Jangan sok suci kamu ya! Pelacurr seperti kamu, tidak pantas berpura-pura seperti itu." Dedi masih saja mengiris hati Kalila dengan lidahnya yang kian menipis dan tajam. "Aku tahu dari mana asalmu, hotel itu adalah saksi bahwa kamu merupakan bagian dari hiburan malam yang menjijikkan!" pekiknya yang tampak hilang kendali.
Tak lama, suara hantaman antara tulang dan benda tajam terdengar kuat serta tebal di telinga semua orang. Bahkan, para calon narapidana yang berada di ruang sebelah, langsung berdiri dan mengintip dengan susah payah.
Rupanya, Ken Arashi menarik ujung baju bagian depan yang Dadi kenakan, lalu mengantuk kepala laki-laki tersebut dengan sangat kuat. Bahkan, laki-laki bengis yang kini berada di balik jeruji besi tersebut, langsung sempoyongan dan memegang kepalanya dengan erat.
Tangan kiri Ken yang semula membenturkan Dedi, langsung bergetar hebat dalam bentuk menggenggam. Sepertinya, saat ini ia ingin sekali mendaratkan tinju terbaiknya kepada laki-laki bajingaan itu.
"Jangan memanggilnya dengan sebutan itu lagi!" perintah Ken tanpa membentak. Namun, justru suaranya tersebut terdengar seperti sedang berdiri di tengah malam yang hening di sebuah rumah angker seorang diri.
Kalila pun terbelalak dan rasanya ingin sekali menangis di pelukan Ken Arashi. Setelah sekian lama, baru hari ini ia merasa rapuh dan membutuhkan sosok pelindung seperti laki-laki yang kini berada di samping kiri tubuhnya. Hati itu kian luruh, dan larut ke dalam rasa simpatik yang semakin dalam.
Bersambung.
Jangan lupa untuk menghapus Cache di pengaturan, meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.