Hanya takdir seorang belahan jiwa saja yang bisa melihat kemarahan sebagai lumpur yang sedang berevolusi menjadi bunga teratai yang indah. Meskipun di sabit dengan bentakan dan ketakutan, tetapi rasanya begitu berharga. Ada pernyataan di dalam jiwa yang kuat dan mengatakan "Terima kasih" atas pembelaannya.
Dari sisi ini, bagaimana mungkin Kalila bisa menepis kekagumannya pada pria yang baru beberapa hari saja ia kenal. Untuk pertama kalinya, ia memuji laki-laki yang tidak memiliki banyak kesamaan sifat dengan Devan.
Bukan tanpa sebab, biasanya Kalila tersentil simpatik kepada seseorang hanya karena terdapat sedikit kesamaan perilaku mereka dengan almarhum Devan. Begitu juga pada calon suami kedua yang juga ikut meregang nyawa di hari pernikahannya. Menurut Kalila, ada cukup banyak kesamaan antara Devan dan laki-laki itu. Sehingga ia bersedia menikah di dalam perjodohan.
Namun berbeda dengan Ken Arashi yang berusaha untuk menampilkan wujud aslinya. Sifat seadanya ini juga menjadi gebrakan baru di hati Kalila. Apalagi amarah yang ditampilkan untuk melindunginya dari tuduhan palsu yang mengerikan. Sebab, bagi seorang wanita, julukan pelaacur adalah kesakitan terbesar.
"Jika kamu tidak bisa menjaga lidahmu, maka akulah yang akan melakukannya," ujar Ken masih berusaha berbicara tanpa membentak. "Satu dua pukulan saja, pasti bisa mematahkan tulang lehernya."
"Ken tenanglah!" pinta Jami yang tidak ingin rekannya salah dalam tindakan.
"Camkan itu! Atau bayanganku lah yang akan memporak-porandakan jantung dan isi perutmu," ancam Ken Arashi, lalu ia menggenggam tangan Kalila, serta mengajaknya pergi dari tempat tersebut.
"Aku sudah memperingatkanmu berulang kali, bukan? Apa yang terjadi sejak kemarin, adalah kesalahanmu. Penjahat kelamiin sepertimu, akan mendapat hal yang lebih mengerikan lagi di dalam sana. Jadi, berharap lah untuk sebuah kata maaf!" Jami pun meninggalkan Dedi bersama darah yang mengalir dari pelipis matanya.
"Jangan dengarkan ucapan b******n itu!" pinta Ken yang melihat raut wajah Kalila berubah drastis, ketika berusaha untuk menahan amarah.
"Ken!"
Ken menghentikan langkah, dan berbalik arah. "Ada apa?"
"Setelah berita acara ini masuk, kita akan mulai melakukan penyelidikan pada kasus ini. Tapi, karena melihat kondisimu. Sebaiknya, biar aku saja yang mengurusnya!"
"Apa?"
"Kamu harus mempercayakan urusan ini kepadaku!"
Ken menghela napas panjang. Berusaha untuk memendam perasaannya. Sebenarnya, ia sangat ingin ikut dan terjun ke dalam urusan ini. Tapi, Jami adalah polisi yang bijak. Ken pun menyadari apa yang dikatakan rekannya itu merupakan hal yang terbaik.
"Tapi, kamu harus selalu melaporkan perkembangannya kepadaku!"
"Oke."
"Dan satu lagi, lakukan dengan cepat!"
"Baiklah."
Setelah mencapai kesepakatan, Ken melanjutkan langkah untuk membawa Kalila dari tempat yang sudah menyakitkan hatinya. Walaupun perempuan ini tidak mengatakannya, tetapi Ken dapat merasakan apa Kalila rasakan.
Sesampainya di dalam mobil, Ken memutar tubuhnya dan menatap Kalila. "Apa yang kamu inginkan sekarang?" tanya Ken sambil menilai raut wajah Kalila.
"Tidak ada."
Ken kembali meluruskan pandangannya. "Hm."
"Tapi aku juga tidak ingin pulang."
"Matahari mulai tinggi, pastinya panas kalau kita ke tempat itu. Bagaimana kalau ke rumahku saja? Aku akan membuatkanmu kudapan yang lezat," tawar Ken penuh harap karena ia begitu menginginkan kebersamaan dengan Kalila. "Aku sangat pandai memasak."
"Sepertinya, sayang sekali untuk dilewatkan." Kalila terdengar setuju dan siap untuk melaju.
Sepanjang perjalanan, Ken berusaha untuk mengajak Kalila mengobrol agar ia kembali ceria. Benar-benar sikap yang di luar dugaan. Karena selama ini, para wanitalah yang bersusah payah untuk mengajak Ken berbicara dan bercanda. Tetapi di hadapan Kalila, ia mengalah dan menurunkan egonya.
Meskipun keduanya belum benar-benar meyakini akan percikan api asmara yang sudah menyambar di hati mereka, tetapi bibir dan tatapan mata Ken serta Kalila sama sekali tidak dapat dibohongi. Mereka saling membutuhkan, mengisi, dan menguatkan satu sama lainnya.
Setibanya di kediaman milik Ken Arashi dan almarhum kakaknya, Kalila langsung dihidangkan dengan pemandangan yang asri dan rapi. Rupanya, dan memiliki kedekatan dengan alam sehingga ia memilih untuk memenuhi halaman rumah dengan berbagai tanaman buah di dalam pot dan hari ini menyambut kedatangan wanita berlesung pipi dalam tersebut.
Sepanjang lajur pejalan kaki yang tidak terlalu lebar, Kalila disuguhkan dengan aneka buah mangga dari varietas yang berbeda. Selain itu, ukurannya pun terlihat tidak sama dan memiliki ciri khas kulit buah yang berbeda-beda pula.
Mata Kalila termanjakan, sebab di dalam kediamannya, hanya terdapat bunga aneka warna. Sehingga jika memasuki kediaman mewah milik tuan Husein, ia seperti berada di taman bunga ataupun di sebuah toko parfum kenamaan.
Rupanya, buah-buahan segar juga mampu membuat Kalila merasa rileks dan keinginan untuk makan pun langsung menyambar. Bahkan, Kalila terlihat geram dan langsung memegang buah mangga berkulit hijau kemerahan yang tercium harum, pertanda bahwa sudah matang dan siap disantap.
Ken yang memperhatikan hal itu langsung tersenyum simpul. Sebab, ia tahu apa yang ada di dalam hati dan pikiran Kalila. Memang, siapa saja yang masuk ke areal rumahnya, terutama teras bagian ini, sulit untuk memalingkan wajah dan mengontrol keinginan untuk menikmati buahan segar yang matang langsung dari pohonnya.
"Kamu suka?" tanya Ken sambil mendekati Kalila dan menyentuh buah yang sama. Tanpa sengaja, jari jemari kedua tangan anak manusia tersebut saling bersentuhan, sehingga Kalila dan Ken sama-sama merasakan aliran arus listrik yang sama dan saling menyambar.
"Ah," gumam Kalila yang terkejut, ketika tersambar.
"Maaf!"
"Ken, ini luar biasa," puji Kalila yang selama ini biasa menikmati buah potong yang sudah berhati-hati menginap di penampungan.
"Kamu harus mencobanya! Rasanya sangat berbeda, manisnya legit, teksturnya ebih crunci, dan aromanya, hmmm." Ken terlihat tak mampu menggambarkannya dengan kata-kata.
Kalila mendongak. Sejauh mata memandang, ia dapat melihat berbagai buahan segar dengan warna yang mencolok dan aroma menggiurkan. Ia benar-benar tidak menyangka bahwa akan manjakan oleh pemandangan seperti ini, di kediaman Ken Arashi.
"Bagaimana aku bisa serakus ini?" tanya Kalila untuk menutupi rasa malunya. "Aku seperti seseorang yang tidak pernah menikmati buah segar. Kamu harus bertanggung jawab, Ken!" goda Kalila sambil terus tertawa, hingga lesung pipi itu mengindahkan suasana.
"Kamu bisa makan seperti ini, kapan pun kamu mau," timpal Ken dengan tatapan penuh kasih sayang. "Lagipula, aku suka dengan bibir rasa buah."
"Apa?"
Ken mengulum senyum, menyembunyikan pikiran, dan melangkah mendahului Kalila. Entah bagaimana, tiba-tiba saja jantung keduanya melambai kuat, seperti ombak yang dahsyat dan sulit untuk ditahan.
"Ken!" panggil Kalila yang merasa ucapan tersebut sangat sederhana, tapi nakal.
"Ayo cepat!" ajak Ken. "Kit akan mengambil keranjang buah, pisau, dan juga guntingnya."
"Baiklah," jawab Kalila yang juga tampak tersenyum lebar.
Setibanya di depan rumah yang terkesan menyatu dengan alam, mata Kalila kembali terbelalak. Kaca ukuran besar, seolah menjadi penghalang, sekaligus peneduh yang membuat benteng kokoh pada kediaman Ken tampil unik.
"Selamat datang!" ucap Ken yang terus berusaha menyambut dengan senyum.
"Wah ... ." Kalila tampak mengagumi setiap detil di dalam ruangan yang didominasi dengan pernak-pernik terbuat dari kayu dan bebatuan. Selama ini, ia memang tinggal di rumah mewah, tetapi apa yang dilihat hari ini sungguh membuatnya terperangah dan terus memuji. "Di sini terasa dingin dan nyaman," ujarnya yang tampak terkesan dan berputar-putar demi menangkap semua penampilan visual yang ada.
"Silakan duduk! Aku ganti pakaian dulu, dan setelah itu baru mengacaukan kebun buah."
"Ehe." Kalila tersenyum bersama satu anggukan.
Setelah lebih dari sepuluh menit, Ken turun dari anak tangga dan langsung memanggil Kalila untuk ke dapur. Rupanya, bagian ini terhubung dengan pintu belakang. Dari dalam, terlihat pekarangan yang begitu luas dan seluruh tanamannya juga tampak terawat dengan baik. Seketika, Kalila langsung bertambah rasa terhadap Ken Arashi.
"Kita berburu sekarang?" tanya Ken yang terlihat tampan dengan baju santai.
"Ya," jawab Kalila yang hanya bisa merasakan kebahagiaan detik ini.
Ken mengambil topi lebar dan memakaikannya pada Kalila. "Pakai untuk melindungimu dari sinar matahari."
Sikap hangat Ken membuat Kalila semakin meleleh. Ia pun mulai kesulitan untuk berjauhan dengan pria tampan pemilik tatapan tajam tersebut.
"Jalan sekarang?"
"Iya." Kalila tampak antusias.
Setelah itu, keduanya mulai mencari buah-buahan segar yang telah matang. Mulai dari mangga, hingga pisang. Tak tanggung-tangung, bahkan Ken bersedia untuk memanjat pohon alpokat, hanya demi memenuhi keinginan Kalila yang tadinya sudah menunjuk sebuah alpokat yang ukurannya sangat besar.
"Ken, hati-hati!"
"Yang itu?"
"Iya."
"Aku akan segera mendapatkannya untukmu."
"Pelan-pelan saja!"
"Tidak mau! Aku suka yang cepat dan energik."
"Apa?" Pikiran Kalila travelling gara-gara celetukan nakal dari bibir Ken Arashi dan itu membuat pipinya memerah.
"Hahaha. Kamu harus mengingat kata-kataku itu, Lila!"
"A-apa?" Kalila semakin terkejut.
"Hahahaha." Tawa Ken semakin memuncak dan terdengar puas sekali.
'Dasar, apa yang aku pikirkan? Kenapa otakku jadi begini?' Ujar Kalila tanpa suara, sambil memukul kepalanya dengan tangan yang sudah ia kepal. Bobrok sekali, ah.' Keluhnya yang merasa bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya, naik secara bergiliran.
"Kalilaaa!" pekik Ken seperti orang gila karena melihat Kalila bengong dalam imajinasinya sendiri. "Apa yang sedang kamu pikirkan? Apa ini sudah cukup? Kenapa tidak menjawab?" tanya Ken tanpa henti karena rupanya sejak tadi, ia sudah memberikan pertanyaan yang sama, tetapi tidak direspon oleh Kalila.
"I-iya. Itu sudah cukup, Ken!"
"Astaga ... wanita ini," gumam Ken sambil menahan tawanya.
'Apa yang sebenarnya telah kamu curi dariku, Ken? Apa otak kiriku? Kenapa rasanya, logikaku sudah buntu, lalu terenggut oleh kata-kata sederhana dan lengkungan bibirmu. Tuhan, apakah pria ini nyata? Apakah Ken Arashi sungguh nyata?" Tanya Kalila berulang, seraya menatap Ken yang masih berada di atas pohon alpokat rindang.
"Jika cukup, aku akan turun."
"Iya, itu sudah sangat cukup."
"Baiklah," kata Ken yang tampak lincah menuruni batang pohon alpokat yang tampak besar dan tinggi tersebut.
Sesampainya di bawah, Ken langsung memberikan kantong plastik berisikan empat buah alpokat ukuran besar. "Ibu negara!" panggilnya kepada Kalila, hingga membuat wanita itu mendongak. "Lain kali, jangan melamun lagi!" sarannya sambil menyentuh ujung hidung Kalila dengan jari telunjuk. Lalu ia mengatur napasnya.
"Apa?" gumam Kalila sekali lagi, sambil memegang ujung hidungnya, seperti yang Ken lakukan kepadanya.
Ken jalan lebih dulu. Namun, baru beberapa langkah. Ia menyadari bahwa Kalila masih tertinggal di belakang. Heran, ia pun kembali ke belakang dan menggenggam tangan Kalila sambil menariknya.
"Ayo ke tempat yang lain! Menurutmu, Rania akan suka semua buah-buahan ini?"
"Tentu saja, dia sangat menyukai buah."
"Bagus kalau begitu."
"Ken!" panggil Kalila yang masih berjalan di belakang Ken dengan tangan yang genggam.
"Ya?" jawabnya sambil memutar tubuh.
Pada saat yang bersamaan, tanpa sengaja Kalila menginjak kedua bagian depan kaki Ken hingga ia terjatuh dan terlentang. kaki Kalila pun tersandung dan ia ikut terjatuh di atas tubuh Ken Arashi.
Buah-buahan segar yang semula telah mereka kumpulkan, ini juga ikut berguling-guling di atas rumput hijau yang rapi. Semua itu menambah sensasi yang yang tidak biasa, sehingga membuat keduanya semakin jatuh cinta.
"Ma-maaf!" pinta Kalila.
Bibir Ken melengkung sempurna. "Kamu tidak perlu minta maaf! Karena aku menyukainya," ujarnya dan jantung keduanya yang kini tengah menempel, terasa saling menendang kencang.
'Apa ini?' tanya Kalila yang yang juga merasakan hal yang sama dengan Ken Arashi. Seperti terdapat sepasang kaki bayi yang menerjang di dalam perut ibunya.
Merasa terganggu akibat debaran tersebut, Kalila langsung berdiri dan merapikan tangannya yang kotor karena beberapa butir pasir. Namun, Ken masih awet tersenyum di bawah sana, sambil memikirkan sesuatu yang nakal, dan sebelumnya sempat terpikirkan oleh Kalila.
Rasa cinta itu rupanya berhasil membangkitkan khayalan yang selama ini tidak pernah terpikirkan oleh keduanya. Tampaknya, peti yang sebelumnya telah dikunci mati itu, kini mulai memperlihatkan kebosanannya pada kesendirian dan kesepian.
Bersambung.
Jangan lupa untuk meninggalkan komentar, tab love, dan follow aku ya, makasih.