Astaga, apa yang Mulya lakukan pada tubuhnya? Ini gila, rasanya bahkan jauh lebih mendebarkan daripada di mimpinya waktu itu. Gaun tidur cantik yang dipakainya kini teronggok di dekat kaki ranjang pada menit pertama karena Mulya merasa kain itu menganghalangi sentuhannya.
Bibir Mulya masih melumat bibir Yuri dalam dan tergesa-gesa, Yuri tidak tahu apa memang seperti ini gaya ciuman Mulya atau hanya ledakan gairah. Lenguhan Yuri teredam saat Mulya menyentuh payuudaranya dan memainkan putingnya yang suah mengeras. Mulya seolah meraup bibir Yuri dan ingin menelannya bulat-bulat, membuat Yuri terpaksa menelengkan kepala ke samping lantaran kehabisan napas.
Ketika ciuman itu terlepas, napas mereka sama-sama terenggah. "Mas Mul..." Yuri masih kepayahan mengatur napas padahal ia ingin mengatakan bahwa yang tadi itu luar biasa, tapi ia ingin Mulya melakukannya dengan lebih lembut. Pengalaman ini terlalu baru dan mengagetkan baginya. "Pelan-pelan," lirihnya.
"Oh, maaf...," gumamnya sambil bangkit dari atas tubuh Yuri, membuat Yuri seketika merasa dingin dan kehilangan. Mulya duduk di tepi ranjang, memunggungi Yuri. Kedua telapak tangannya menekan wajah seolah frustrasi. Yuri pernah dengar, konon jika gaira seorang laki-laki sudah nyala, dia tidak bisa padam begitu saja.
Oh, tidak, Yuri tidak ingin Mulya salah paham. Ia tidak ingin berhenti, Yuri hanya ingin Mulya membimbingnya pelan-pelan sembari Yuri membiasakan diri.
Sudah kepalang tanggung, Yuri menggoda Mulya lagi. Yuri merangkak duduk di pangkuan Mulya, melingkarkan kedua kakinya di pinggang suaminya itu. Yuri merengkuh sisi wajah Mulya dan menyatukan bibir mereka. Yuri mempraktekkan ciuman yang Mulya lakukan, tapi dalam tempo lambat dan lembut. Namun Yuri masih canggung mendesakkan lidahnya.
"Yuri, kamu...," gumam Mulya kehilangan kata-kata, tak menyangka Yuri akan bertindak sejauh ini.
"Mas Mul, aku siap. Ingat perjanjian kita, kita nggak main nikah-nikahan."
Sesaat Mulya hanya menatap Yuri dengan matanya yang sayu dan merah. "Kamu yakin?"
"Kalau nggak yakin, aku nggak mungkin sengaja pakai lingery dan cium Mas Mul duluan kayak gini." Yuri memukul d**a Mulya sebal. Jika salam kondisi normal, Yuri mungkin sudah mengomelinya habis-habisan. "Aku malu, tahu."
Mulya menyentuhkan tangannya di dagu Yuri lembut untuk mendongakkan kepalanya, kedua mata mereka langsung bertemu tatap, kemudian Mulya mengecup bibir Yuri. Kali ini Mulya melakukannya dengan lembut, tidak tergesa-gesa seperti sebelumnya, mengenalkan Yuri dengan dirinya perlahan. Pelukan Yuri di leher Mulya mengencang, dadannya membusung makin menempel d**a Mulya saay lidah panas Mulya melesak masuk dan menjelajahi mulut Yuri, lidah mereka saling bertemu dan membuat jalinan di sana.
Selanjutnya, semua mengalir begitu saja. Hingga yang dirasakan Yuri kemudian adalah rasa sakit yang luar biasa saat Mulya berusaha mendorong tubuhnya masuk ke celahh tubuh Yuri, Yuri begitu terkejut dan takut sampai-sampai berusaha mendorong d**a Mulya agar menghentikannya.
"Rileks, Yul..," bisik Mulya menghentikan gerakannya sesaat. Dikecupnya pelipis Yuri selembut bulu. "Kamu mau aku berhenti?"
Yuri menggeleng pelan, tapi tidak bisa menyembunyikan kengeriannya. Tiba-tiba ia ingat mimpinya malam itu dan pertanyaan konyol itu muncul lagi. Namun Yuri buru-buru menepisnya, di mimpi itu, Mulya sangat marah dan mereka tidak jadi melanjutkannya. Yuri menarik napas panjang, meyakinkan diri sendiri bahwa ini pasti akan terasa sakit tapi tidak akan sampai menyakitinya.
"Mas Mul beneran sayang sama aku, kan?"
Mata Mulya mengerejap pelan, bola matanya bergerak-gerak seperti orang bingung.
"Mas...," desak Yuri. Ia harus memastikan itu, ia tidak mau merasakan sakit ini tanpa jaminan Mulya tidak akan memberinya kesakitan dalam bentuk lain di kemudian hari.
"Iya," jawab Mulya, sejurus kemudain mencium bibir Yuri lagi menggebu-gebu. Yuri puas dengan jawaban Mulya merasakan tubuhnya jauh lebih rileks karena telah seratus persen percaya bahwa Mulya tidak akan menyakitinya.
Tubuh mereka dibanjiri keringat di atas ranjang kamar Yuri. Gerakan Mulya dalam tubuh Yuri yang semula lembut dan hati-hati, memberi Yuri kesempatan beradaptasi dengan benda asing di dalam tubuhnya. Ketika Yuri mengerang pelan, Mulya menambah tempo gerakannya, membawa mereka menuju puncak gairah tertinggi.
Ketika puncak itu semakin dekat, Mulya memastikan Yuri mendapat gelombang kepuasannya terlebih dulu. Yuri mengerang dalam pencapaiannya itu, ia hanya bisa memeluk Mulya makin erat dan mendesahkan namanya susah payah. Cengkeraman tubuh Yuri yang membungkus tubuhnya membuat Mulya tidak tahan lagi, dengan sangat cepat Mulya melepaskan dirinya bersamaan dengan deru napas hebat.
Mulya balas memeluk Yuri makin erat dan menuntaskan pelepasannya di atas perut Yuri dengan napas memburu. "Ah... kamu bikin aku gila, Bi..."
Tangan Yuri terulur membelai rambut Mulya yang masih tertelungkup di atas dadanya dengan napas naik turun. Diam-diam ia tersenyum, Bi..., Yuri menyimpan desahan itu dalam benaknya. Besok, jika Mulya berlagak cuek, ia akan mengingatkannya tentang malam ini. Bagaimana Mulya mendesahkan namanya dengan panggilan sayang yang terdengar manis dan lucu.
Ah, malam ini sempurna sekali.
***
Oh, jadi begini rasanya rasa yang tidak bisa Mbak Rini jelaskan dengan kata-kata dan mending dirasakan sendiri saja.
Yuri terkikik sendiri di depan cermin menyadari bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang sudah berubah dan tidak akan bisa dikembalikan seperti sediakala. Semalam Mulya mengubah Yuri menjadi pribadi baru dengan cara menyenangkan. Persis seperti yang orang-orang gambarkan.
Sebenarnya, Yuri punya fantasi jika melewati momen ini, pagi harinya ia akan terbagun di pelukan Mulya. Kemudian pura-pura amnesia tentang apa yang mereka lakukan semalam dan mengapa ia bangun dalam keadaan telanjang. Namun saat membuka mata tadi, Yuri menemukan dirinya berbaring sendirian di tengah ranjang. Mungkin Mulya sedang olahraga.
Yuri menyelesaikan mandinya dengan cepat, berniat langsung ke dapur untuk memasak sarapan. Pagi ini akan menjadi pagi terakhirnya bisa sarapan dengan Ayah, sebelum Ayah berangkat untuk menetap di tempat impiannya. Misi lainnya, Yuri ingin membuat Mulya terkesan dengan masakannya.
Makanan sudah matang sejam lalu, tapi tidak baik Ayah atau Mulya belum ada yang pulang. Yuri mungkin tidak akan segelisah ini jika mereka membwa ponsel sehingga bisa dihubungi.
Yuri keluar rumah, barangkali Ayah atau Mulya ada di sekitar. Yuri bersemangat melihat Tya sedang mengelap pagar rumah, mengingat Mama Mulya tidak pakai jasa asisten rumah tangga, jadi semua dikerjakan sendiri.
"Nah, gitu, dong, anak gadis mesti rajin."
Tya menatap Yuri aneh. "Kenapa lo senyum-senyum begitu? Lo pernah lihat gue lebih 'Inem' daripada ini."
"Nggak apa-apa, kok."
"Dih." Tya begidik, kemudian mengangkat selang, menyiram seluruh permukaan pagar.
"Ya, lo lihat Mas Mul sama Ayah, nggak?"
"Emang mereka ke mana?"
Yuri memutar bola mata. "Ya kalau gue tahu, gue nggak mungkin nanya lah, Setyari."
"Kalau Ayah lo gue tadi lihat ngobrol sama Bapak-bapak, terus nggak tahu kemana lagi. Kalau Mas Iya nggak lihat. Kok lo bisa sampai nggak tahu, sih, laki lo pergi kemana?"
"Mas Mul mungkin nggak tega mau bangunin gue. Gue tidur nyenyank banget, soalnya abis--"
"Stop!" Cegah Tya tidak ingin mendengar Yuri lagi. Raut wajahnya terlihat seperti ingin mengarahkan selang air ke wajah Yuri. "Kalau lo nikahnya sama orang lain, gue mau banget dengar cerita malam pertama lo. Jijik banget gue banyangin lo gituan sama Mas Iya."
Yuri tertawa kencang. "Tya ih, siapa juga yang mau cerita. Urusan kamar nggak boleh kedengeran tetangga." Wajah Yuri kembali memanas tiap mengingat kejadian semalam. "Ya, gue masih nggak nyanya Mas Mul sayang beneran sama gue. Kok selama ini gue bisa nggak sadar, ya?"
"Antara Mas Mul sayangnya baru-baru ini aja atau dia yang pinter nutupi perasaan kali."
"Menurut lo yang mana?"
"Yang pertama." Jawaban Tya menbuat Yuri mengerutkan kening bunuh penjelasan lebih. "Gue nggak yakin selama ini Mas Iya jomlo."
"Kok?"
"Gue pernah nggak sengaja dengar Mas Mul ribut-ribut di telepon dan itu kayaknya sama cewek, soalnya nyebut-nyebut, kamu nggak bisa egois, sama kayak minta ke cewek itu jeda waktu biar sama-sama tenang."
Kepala Yuri manggut-manggut mengerti. "Kalau nggak sampai dikenalkan sama keluarga, berati hubungan mereka nggak serius-serius amat, kan?"
Tya mengendikkan bahu tak tahu.
Ah, itu hanya masa masa lalu. Lagipula, lebih tidak bisa dipahami kalau Mulya sama sekali tidak pernah terlibat asmara. Yuri tidak punya pembanding selain pengalamannya berciuman dengan Alvaro, yang jelas Yuri bisa merasakan Mulya sama sekali tidak amatiran 'menangani' perempuan.
"Heh! Yul, masuk sana. Sumpah jijik banget muka lo."
Sontak Yuri memegang kedu pipinya sendiri, apa terlihat sejelas itu? Tapi Yuri benar-benar tidak bisa mengontrol senyumnya. Ia belum pernah sebahagia ini sebelumnya.
"Ya, Ya, Tya..."
"Apaan gue nggak mau dengar apa-apa lagi." Tya memunggungi Yuri, malas melihat wajahnya.
"Sekarang Mas Mul nggak manggil gue Yul lagi, lho. Apa gue juga harus mulai mikirin panggilan baru buat Mas Mul, ya?" Yuri yakin dia tidak salah dengar karena Mulya menyebut itu beberapa kali, terdengar paling jelas saat mereka sampai di puncak.
"Apa gue samaain aja kayak Mas Mul panggil gue Bi?"
Tubuh Tya tiba-tiba berbalik menghadap Yuri dengan wajah kaget. "Bi?" ulangnya seolah mengkonfirmasi.
Kepala Yuri mengangguk ringan. "Lucu, ya? Bi. Bisa baby bisa hubby. Kok Mas Mul bisa kepikiran itu, ya?"
Pertanyaan Yuri menggantung, karena Tya bukannya menjawab, tapi malah bengong dengan air yang terus mengalir dari selang. Yuri menertawakan Tya. "Kan, lo adiknya aja nggak nyangka, kan. Benar kata Mbak Rini, laki-laki cuma bisa berubah karena tiga hal. Harta, tahta, Eureka."
Yuri tidak menghiraukan Tya lagi ketika dilihatnya Ayah dari kejauhan. Ia berlarian kecil menghampiri Ayahnya. Yuri menggandeng lengan Ayah menuju rumah. "Ayah dari mana aja, sih?"
"Barusan ngajak Bapak-bapak sarpaan bubur ayam, sekalian pamitan nggak bisa ikut kerja bakti sama main tenis meja lagi."
Senyum di wajah Yuri sedikit mengendur. Ia terlalu bahagia dengan dirinya sendiri, sampai-sampai lupa setelah ia tidak bisa bertemu Ayah setiap hari. "Padahal aku udah masak sarapan kesukaan Ayah karena ini sarapan terakhir kita."
Ayah menepuk punggung tangan Yuri yang mengapit pengannya. "Kan nanti Ayah masih akan mengunjungi kamu sesekali," ujar Ayah menenangkan. "Mulya belum pulang, ya? Tadi habis subuh dia pamit sama Ayah mau jogging, tapi kayaknya ke luar komplek."
"Belum." Yuri sebenarnya lapar, tapi ia akan menahannya demi bisa sarapan bersama Mulya nanti.
Yuri lanjut menunggu Mulya sambil mengecek barang-barang Ayah yang akan dibawa, sementara Ayah sudah masuk kamar, ketika terdengar pintu pagar digeser. Tak lama Mulya muncul dengan tubuh yang sepenuhnya berpeluh, sampai baju dan rambutnya kuyup.
"Mas Mul lari berapa kilo?" tanya Yuri kaget.
"Nggak jauh," jawabnya dengan napas lelah. "Aku mandi dulu."