11 | Terikat Sudah

1980 Kata
Apa ini? Bukan ini malam pertama yang Yuri bayangkan. Meski sejujurnya ia juga takut-takut membayangkan ada adegan kuda-kudaan kepanasan, tetapi Yuri sebenarnya lebih banyak membayangkan momen mengobrol banyak dengan Mulya sebagai tahap awal adaptasi dengan status baru mereka kini. Jangankan mengobrol, Mulya bahkan baru sempat melepas jas dan dasi, ketika pamit pada Yuri akan menemui temannya di luar. Yuri pikir itu tidak akan lama, teman Mulya pastinya paham pengantin baru harus ada di kamar. Nyatanya teman Mulya itu sangat tidak tahu diri, hingga sejam jam kemudian, Mulya belum juga kembali. Yuri sudah membersihkan riasan wajahnya, tubuhnya juga sudah segar setelah berendam sebentar dengan air hangat hanya untuk merelaksasi otot-otot tubuhnya yang lelah setelah melewati hari terpanjang seumur hidupnya. Sebenarnya mata Yuri sangat sepat, butuh dipejamkan. Sayangnya, pikirannya tidak mau diam lantaran Mulya belum kembali. Yuri akhirnya menyalakan lampu tidur, dan memutuskan untuk membaca ulang n****+ karangan Abigail Puri pemberian Tya. Bab pertama, kedua, ketiga, terlewati tanpa terasa. Yuri melirik jam yang kini sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, artinya dua jam sejak Mulya pergi. Yuri mendesah kesal, Yuri akan habis diejek Mbak Rini jika tahu Yuri melewati malam pengantinnya sendirian. Membaca n****+ ini ide yang sangat buruk, Yuri jadi jengkel pada dua orang sekaligus, yaitu pada Wildan—karakter di n****+, dan juga Mulya yang ternyata benar kata Tya, benar-benar mirip. Sangat tidak peka dan tidak peduli dengan pasangannya. Terdengar suara pintu terbuka, Yuri buru-buru menyelipkan buku di bawah bantal dan pura-pura tidur. Ia tidak ingin membuat Mulya besar kepala mengetahui Yuri menunggunya. Sangat senyap, langkah kaki Mulya bahkan tidak terdengar, namun tak lama Yuri mendengar suara pintu kamar mandi terbuka lalu tertutup. Mulya menghabiskan waktu cukup lama di kamar mandi, sebelum Yuri merasakan sisi kasur di sebelahnya bergerak tertimpa tubuh Mulya. Apa yang kamu harapkan, Yuri? Yuri melewati malam pengantinnya dengan sangat dingin, meski di sisinya ada seorang yang selama beberapa bulan selalu meyakinkan Yuri bahwa dia menyayangi Yuri. *** Semalam Yuri tidur dengan tekad ia akan sama cueknya dengan Mulya. Entah besok atau kapan-kapan, Yuri bersumpah akan tiba-tiba pergi seolah itu hal mendesak dan berlama-lama di luar. Pokoknya apapun yang Mulya lakukan padanya, ia akan membalasnya sama. Yuri terbangun dari tidurnya ketika merasakan bahunya digoyang-goyangkan, Yuri mengintip melalui sipitan matanya. Tentu saja yang melakukan itu adalah Mulya. “Yul, bangun, makan dulu.” “Aku masih ngantuk.” “Makan dulu sebentar, semalam kamu, kan, nggak makan sama sekali.” Yuri tetap tak bergeming, malah menarik selimutnya menutupi kepala. Namun itu sebelum Mulya menarik turun selimutnya, dan menarik tangan Yuri, memaksanya tetap bangun. Dengan mata masih terpejam, Yuri terpaksa duduk dan akan merebahkan tubuhnya lagi, tapi tangan Mulya menahan punggungnya. Terpaksa Yuri membuka mata dengan sebal. Yuri curiga Mulya ini sebenarnya punya kepribadian ganda. Semalam dia meninggalkan Yuri, sekarang dia berlagak perhatian. “Mas Mul semalam dari mana saja?” Yuri tidak tahan tidak bertanya. “Ketemu teman di bawah. Kan, aku udah bilang sebelum pergi.” Mulya melenggang santai menuju meja yang sudah penuh dengan makanan. Baiklah, makan dulu lalu lanjut tidur lagi sepertinya bukan ide buruk. Yuri duduk di depan Mulya, tangannya terulur hendak mengambil gelas jus jeruk, ketika Mulya bersuara, “minum air putih dulu.” Tangan Yuri bergeser ke gelas berisi cairan bening tepat di sebelah gelas jus jeruk. “Mas Mul balik jam berapa?” tanya Yuri, ingin menguji jawaban Mulya. “Aku nggak nungguin Mas Mul, aku udah tidur karena capek banget jadi lupa kalau Mas Mul udah jadi suami aku. Lagian buat apa juga nungguin Mas Mul, Mas Mul bukan akan kecil yang gampang nyasar.” “Sekitar jam 2,” tanpa Yuri duga ternyata Mulya menjawab yang sebenarnya. “Wah, lama juga, ya? Temen Mas Mul ini kok kayak nggak tahu waktu gitu, ya?” “Ketemuannya sebentar, tapi pas aku mau naik, kebetulan ada orang kena serangan jantung, jadi aku bantu kasih pertolongan pertama sampai ambulance datang.” “Oh, ya?” Yuri mengambil gelas jus jeruk. “Kamu kecewa karena aku nggak sama kamu di malam pertama kita?” Yuri tersedak oleh minumannya, untung sudah sempat ia telan sehingga tidak menyembur. Yuri terbatuk-batuk sambil menyomot sosis bakar dengan tangan. “Malam pertama apaan? Dan kenapa juga aku mesti kecewa? Mas Mul ini ada-ada aja.” Mulya makan sarapan bergaya amerika-nya dengan elegan. “Bukan maksud aku ninggalin kamu sendirian semalam, cuma aku rasa emang belum ada yang bisa kita lakukan karena masih sama-sama capek. Kasihan kamunya." Astaga, masih saja dibahas. Wajah Yuri mendadak terasa panas. Seharusnya ia menunjukkan ketidakpeduliannya dengan tidak bertanya sama sekali. “Ih, apaan, sih? Siapa juga yang ngerasa ditinggalin coba? Udah dibilangin aku bahkan lupa kalau kita udah nikah. Asal Mas Mul tahu, aku juga males melakukan apa-apa sama Mas Mul, nggak kepikiran malah.” Pandangan Mulya naik dari piring ke wajah Yuri, “apa?!” tantang Yuri. Mulya hanya menggeleng, lalu kembali makan. Sialan, membuat salah tingkah saja. Yuri hendak mencomot sosis keduanya, namun urung setelah otaknya membawanya berpetualang ke arah menyimpang. Yuri menggeleng pelan, bangun, Eureka! Akhirnya Yuri memakan semua yang ada di meja, kecuali, tomat ceri, bagian roti yang terlalu gosong, dan sebiji sosis. *** Yuri menemani Ayah yang tengah mengemas sisa barang yang hendak dibawa pindahan besok. Sebagian barang sudah dicicil sebelumnya, meski sebenarnya Ayah tidak membawa banyak barang. Ayah membawa sedikit baju, buku-buku yang belum terbaca, dan beberapa perlengkapan lainnya. “Yakin, Ayah cuma mau kita antar sampai pelabuhan aja?” “Nanti kalau kalian ikut dan ternyata terjebak gelombang, kasihan suamimu.” Mendengar kata ‘suamimu’ Yuri masih merasa asing. Betapa ajaibnya jalan hidup, dari sosok kakak, predikat Mulya kini jadi suami. “Yah, aku sekarang udah jadi istrinya Mas Mul. Kalau masih ada yang ingin Ayah bilang ke aku, Ayah bilang aja semuanya sekarang.” Ayah menarik ritsleting travel bag-nya, kemudian menatap Yuri. “Ayah sudah cerita semua, kan?” “Ayah yakin?” Ayah tertawa pelan. “Kamu takut Ayah menyembunyikan sesuatu lagi dari kamu, ya?” “Aku mau Ayah tahu, kalau Ayah nggak perlu memikirkan aku lagi. Ayah bisa terbuka sama aku tentang rencana dan keinginan Ayah. Kan, Cuma aku yang Ayah punya.” “Iya, Nak." Ada bangga bercampur bahagia dari cara Ayah tersenyum. “Sekarang Ayah belum ingin apa-apa lagi. Ayah akan menyelesaikan pembangunan rumah Ayah, dan hidup di perkampungan seperti yang Ayah inginkan.” Sebelum suasana mengharu biru, Yuri buru-buru pamit ke kamar. Momen perpisahan sebenarnya masih besok, jadi besok aja Yuri nangis-nangisnya. Yuri masuk ke kamar dan mendapati Mulya tengah berberes benda-benda di meja belajarnya yang kebanyakan isinya justru benda-benda tidak berhubungan dengan study. Yuri biarkan saja Mulya melakukan apa yang dia mau. Kenapa hanya Yuri yang disuruh menoleransi kerapihan Mulya, Mulya pun harus bisa menoleransi kesantaian Yuri. “Mas Mul, kok Ayah belum bilang juga, ya, soal Bu Ratna?” “Mungkin memang nggak ada apa-apa. Kamu aja yang salah mempersepsikan.” “Mas Mul juga mikir sama kayak aku waktu itu, enak aja Mas Mul bilang aku sendiri yang salah.” Mulya menghela napas. “Ya udah, persepsi kita yang salah,” pungkas Mulya mencegah terjadinya perdebatan tak perlu. Setelah dibereskan, barang-barang di meja belajar Yuri kini tampak lebih enak dilihat. Ini baru hari pertama, sehingga Mulya belum banyak omong. Mulya kemudian masuk ke kamar mandi, saat keluar, ia melihat Yuri mengobrak-abrik lagi meja belajar dan kabinet samping tempat tidur yang baru beberapa menit lalu Mulya rapikan. “Yul, apa-apaan ini? Sealergi itu kamu sama kamar rapi?” Mulya berdiri di belakang Yuri. “Nanti aku beresin lagi.” Yuri masih membuka satu per satu laci, kemudian memekik seolah baru mengingat sesuatu. “koper! Tas yang aku bawa ke hotel aku taruh mana ya, Mas?” “Apa yang kamu cari sebenarnya?” desah Mulya mencoba bersabar. “Aku nggak bisa nemuin n****+ yang dikasi Tya. Mas Mul lihat, nggak? Covernya warna biru, kayak buku lama gitu.” “Ketinggalan di hotel mungkin,” jawab Mulya tidak pernah melihat buku yang dimaksud. “Kalau masih belum kelar baca, kan bisa beli lagi.” “Udah nggak ada. Itu aja Tya dapatnya buku bekas,” sahut Yuri sambil menarik kursi, berusaha menjangkau koper kecil yang sudah Mulya taruh di atas lemari. “Kamu bilang kopermu udah kosong,” “Siapa tahu nyelip.” Mulya tarik lengan Yuri ke belakang, dan ia yang naik ke kursi itu. Yuri langsung memeriksa isi koper, dan ternyata benar, buku yang ia cari ada di sama. “Yay, ketemu!” Yuri memekik girang. Mulya tak habis pikir, hanya demi sebuah n****+ fiksi yang isinya pasti tidak jauh dari cinta-cintaan, paniknya Yuri sudah seperti kehilangan emas berharga. Mulya menaruh lagi koper di atas lemari, dan menggeser kursi ke tempat semula. “n****+ ini tuh, punya sejarah sendiri buat aku sama Tya, Mas Mul.” Mukya tidak menanggapi karena memang ia tidak peduli. “Yul,” cegah Mulya, tepat sebelum Yuri naik ke ranjang. “Cuci kaki sama gosok gigi dulu sebelum tidur.” “Aku belum mau tidur, kok, aku juga belum pakai skincare. Mau baca ini dulu.” Yuri mengacungkan bukunya. “Nggak, sebelum naik ke kasur, artinya kamu udah siap mau tidur.” Yuri baru ingat perkataan Mama kalau Mulya bahkan tidak membaca buku di tempat tidur. “Repot amat, sih.” Meski begitu, Yuri meletakkan bukunya dan menyeret langkahnya ke kamar mandi. Yuri tidak sadar meletakkan bukunya terlalu di pinggir, buku itu terjatuh tepat ketika pintu kamar mandi tertutup. Mulya mengambilnya dari lantai, dan seketika tubuhnya menjadi kaku. Pernikahan Abu-abu, Abigail Puri. Mulya membaca tulisan pada sampul buku itu. Dari sekian banyak n****+ percintaan, kenapa harus buku ini yang Yuri klaim punya sejarah dalam hidupnya. Sebab bagi Mulya, buku ini juga memiliki sejarah tersendiri. “Kamu mungkin bisa lari ke banyak hati buat pelarian, atau mengunci diri di satu hati lewat pernikahan. Tapi nanti kamu akan sadar, Ya, kunci itu bisa dibuka kapan saja dengan mudah saat pada akhirnya nanti kamu rindu pulang ke rumah.” *** Yuri mematut di depan cermin kamar mandi cukup lama, wajahnya terlihat kalut, bingung memikirkan sesuatu. Akhirnya, Yuri putuskan bertanya pada helaian rambut rontok yang tersangkut di sisir saja. Yuri memisahkan helai demi helai rambut, sembari bergumam. "Pakai, enggak, pakai, enggak, pakai, enggak, pakai, enggak..." Yuri mengambil satu helai terakhir dari sela sisir. "Pakai..." "Gue beneran harus pakai?" Yuri bertanya pada pantulan diri di cermin. Yuri melirik setelan lingerie yang tergantung di gantungan. Baru kali ini Yuri dibuat begitu tertantang dan deg-degan oleh sebuah baju. Sebagai kado pernikahan, beberapa orang memberi Yuri baju model itu. Baiklah, Yuri. Beranikan dirimu, ditunda lama-lama akan membuatnmu makin malu dan canggung. Toh pada akhirnya malam ini akan tetap terjadi. Mulya tidak akan menolaknya, sebab ia yakin Mulya jauh lebih paham di mana mereka sedang berada. Ketika Mulya memutuskan ingin menikahinya, artinya Mulya sudah melihat Yuri sebagai wanita. Ya, Yuri hanya perlu ingat-ingat itu saja. Yuri melepas semua pakaiannya dan menggantinya dengan lingeri terusan warna baby pink yang sangat manis dan khas seorang Yuri. Yuri membiarkan rambutnya tergerai, catokannya tadi sore masih awet membentuk tekstur gelombang di rambutnya. “Berani, Yuri. Segala sesuatu yang baru pertama kali emang aneh,” Yuri menyemangati diri sendiri. Entah kemana hilangnya stok kepercayaan diri Yuri, hingga tiba-tiba jadi pemalu begini. Yuri membuka pintu pelan-pelan, mendapati Mulya tengah mematung membaca n****+ Yuri hingga tak menyadari keberadaan Yuri. Yuri bingung. Bagaimana ia harus menandai keberadaannya? Memanggil Mulya dengan suara sedikit mendesah, atau berdehem kecil malu-malu? Sebelum Yuri sempat memutuskan, Mulya akhirnya sadar Yuri ada di sana. Tetapi Mulya hanya menatap wajah Yuri. Yuri sungguh berharap setidaknya Mulya bilang sesuatu, kalau Mulya hanya menatapnya begini Yuri jadi salah tingkah sekaligus berpikiran yang tidak-tidak, menerka-nerka kira-kira apa yang sedang Mulya pikirkan tentangnya. Apa di mata Mulya yang dilakukan Yuri terlihat seperti gadis murahan? Yuri berdecak kesal pada dirinya sendiri. “Ah, bodo ah.” Gadis itu hendak berbalik masuk lagi ke kamar mandi untuk ganti baju, ketika langkah Mulya menderap mendekatinya dengan tatapan sama. Mulya menarik pinggang dan punggung Yuri, bersamaan dengan menyentuhkan bibirnya di atas bibir Yuri. Bahu tegang Yuri sedikit mengendur, seiring dengan panggutan lembut yang Mulya berikan. Perlahan mata Yuri menutup matanya. Menerima ciuman Mulya, membalasnya, dan merasakannya. Ini akan menjadi momen pertama dari segalanya yang tidak akan pernah Yuri lupakan. Yuri harap Mulya akan memberinya kenangan pertama terindah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN