03 | Iya-in Biar Kelar

1501 Kata
Saat sedang berjalan-jalan di selasar mal karena Yuri mengatakan ingin berkeliling dulu sebelum pulang, Yuri mencolek-colek lengan Mulya yang baru ia sadari cukup liat ternyata. "Mau mampir timezone dulu nggak?" Ajaknya. "Biasanya aku kalau ngedate sama pacar-pacar aku selalu seru-seruan di timezone." "Ya udah." "Kok kayak terpaksa gitu, sih?" Yuri menyenggol lengan Mulya. "Ya maaf kalau ngebosenin, habisnya aku nggak tahu gaya ngedate orang seumur Mas Mul tuh kayak gimana." "Aku harus jawab gimana lagi, Eureka." Ada desahan lelah dari cara Mulya menyebut nama Yuri. "Kalau mau main ya ayo. Nanti kalau aku jawab nggak mau, kamu masih akan tetap ngeluhin perbedaan gaya ngedate orang seumuran kita. Itu, kan, sebenarnya yang mau kamu bilang?" Yuri menghentakkan kaki, kesal sendiri. Mulya ini manusia apa sih, atau masih ada keturunan cenayang dari nenek moyang? Apa mungkin terlahir dengan indra ke enam? Kenapa dia selalu bisa membaca pikiran Yuri. Yuri menjatuhkan tas selempangnya di lantai, kakinya menghentak-hentak mirip anak balita sedang tantrum. Peduli setan, ini satu-satunya yang Yuri pikiran sebagai justrus pamungkas. Jika Mulya masih bisa sabar, Yuri akan langsung minta dinikahi. "Mas Mul kenapa siiih?" Mulya melirik sekitar, beberapa orang sengaja berhenti hanya untuk melihat apa yang akan terjadi pada mereka. "Aku tuh nggak mau nikah sama Mas Mul. Jangan pura-pura baik sama aku, bersikap biasa aja kayak biasanya yang suka ngatain aku bodoh, manja, norak, rambut singa atau terserah apa itu." "Yuri, apa-apaan sih? Jangan gila, ya!" "Aku emang udah gila. Gimana? Mas Mul masih mau nikahin aku?" Sorot mata Mulya menajam, kali ini bertahan lebih lama dari sebelumnya. Sepertinya Mulya bisa benar-benar akan meledak kali ini. "Yuri dengar, kalau kamu bertingkah sekarang, bisa jadi besok pagi video kamu viral. Kamu mau satu Indonesia menertawakan kamu?" Sebenarnya Yuri juga khawatir, tapi ia tidak bisa mundur di tengah jalan. Seseorang biasanya akan menunjukkan sikap asli mereka saat sedang marah. "Kan aku yang viral kenapa Mas Mul yang malu?" Sebelah tangan Mulya meraih pergelangan tangan Yuri, menariknya menyingkir dari kerumunan. Tapi dasar si Yuri yang masih ingin cari perhatian, dia jerit-jerit mengaku kesakitan. "Ih lepas ih, sakit tangan aku. Argh!..." Langkah Mulya semula menyeret Yuri seperti Emak menyeret anaknya yang nakal itu mendadak terhenti, saking tiba-tibanya, Yuri sampai terpentok punggung Mulya yang kokohnya menyerupai tembok besar di Tiongkok sana. Jadi bukannya Mulya yang goyah, malah kening Yuri yang sakit. Yuri memukul kencang pundak Mulya, saat ia melihat ke depan, Sepertinya Mulya terpaku lantaran menemukan orang yang dia kenal. Mampus. Setelah Yuri lihat, Yuri lah yang sangat mengenali wajah itu. Mulya juga tidak kenal, tapi pernah bertemu dengannya sekitar dua atau tiga kali, Yuri lupa. Di detik itu juga, rasanya Yuri ingin meleleh dan menyatu dengan lantai saja. Biar diinjak-injak dikira permen karet rasa Blueberry juga tidak apa-apa, asal tidak berhadapan dengan si Alvaro dan Renatta. Mantan pacar Yuri yang ketahuan selingkuh dan akhirnya lebih memilih selingkuhannya. "Yuri, kan?" Alvaro mendekat dengan wajah cerah. "Hi, Yur. Lama banget kita nggak ketemu." Yuri menggeser-geser badan, ingin menyembunyukan diri di belakang punggung Mulya. Alasan terbesar Yuri selalu menjaga penampilan selama ini karena ia pernah bersumpah di hadapan Tya dan seisi jahat raya kalau sewaktu-waktu ia bertemu dengan Alvaro lagi, ia akan membuatnya menyesal telah meninggalkannya. Yang ada sekarang sepertinya Alvaro malah sangat mensyukuri keputusan bodohnya. Dan keselnya, si Mulya ini seolah nggak peka. Tiap Yuri geser, dia juga ikutan geser. Sampai akhirnya ya sudahlah, bencana memang harus dihadapi. "Hm ya, emang gue nggak mau ketemu sama lo lagi sih sebenernya." Tangan Renatta yang mulanya menggantung kini dibelitkan di lengan Alvaro dan mengapitnya posesif. Dih, tukang rebut pacar orang kok sendirinya takut pacarnya direbut. "Apa kabar, Yur? Penampilan kamu..." Renatta menunjuk ke atas sampai bawah kakinya. "cantik ya sekarang?" Hah! Itu penghinaan paling menyakitkan yang purnah Yuri dengar. "Kalau gue cantik, berarti lo mengakui kalau lo jelek dong." "Lo nggak ngerti sarkasme, ya?" Si Renatta diberi perkataan begitu saja langsung nyolot tak terima. "Pantes aja Alvaro lebih mulih gue daripada cewek yang udah setahun dia pacarin." "Lah? Apa hebatnya juga dipilih si Alvaro? Dia siapa sih?" Yuri menatap Alvaro remeh. Berkat Renatta, Yuri jadi melupakan kekonyolan penampilannya. "Dia mobil aja masih suka minjem punya mamanya. Nih, kayak gue. Cari pacar itu sekalian yang udah mapan. Jadi kalau mau nonton atau makan nggak perlu ganti-gantian bayar." "Bukannya dia Kakak lo." Alvaro menunjuk Mulya. "Dia Kakaknya sahabat gue," Yuri mengapit lengan Mulya seperti yang Renatta lakukan pada Alvaro. "yang sekarang bakal jadi calon suami gue." Tidak ada perubahan ekspresi berarti di wajah Mulya, apa dia tidak terkejut akhirnya secara tidak langsung artinya Yuri menerima lamarannya? Ah, itu bisa Yuri konfrontasi nanti. "Putus sama Alvaro lo sama Om-om? Sedepresi itu lo, Yur?" Yuri melotot tak tersinggung. "Om-om lo bilang? Mana ada Om-om seganteng ini." Yuri mengulangi ucapan Mama Mulya. Mulya hanya perlu menggati kemeja yang membosankan dan kaku ini supaya terlihat seperti lelaki 20-an. "Dan yang terpenting, gue nggak merebutnya dari cewek lain." "Astaga susah susah banget ya lo buat move on." "Siapa yang belum bisa move on?" lalu Yuri memandang Mulya dari samping. "Mas Mm- Mas Iya, nanti kalau nikah aku boleh undang mantan-mantan aku nggak? Soalnya ada yang kayaknya masih kepo terus sama aku. Padahal udah diblok, tapi dia bikin fake account Cuma buat nontonin stories aku tiap hari, gercep banget lagi dia nontonnya." Muka Renatta terlihat makin jelek, gadis itu mendengus kesal sebelum menarik Alvaro pergi dari hadapan Yuri. "Ih! Ngeselin." Yuri menghentakkan kaki, kebiasannya kalau sedang kesal sekesal-kesalnya. Untung saja colanya masih ada, jadi ia bisa sedikit mendinginkan kepala dengan itu. "Udah, kan? Jadi mau nikah sama aku, kan?" Ujar Mulya tidak sabaran Yuri cepat-cepat menyudahi permainan konyolnya. Dan rasanya Yuri cuma ingin nangis sekencang-kencangnya saja. *** Gagal membuat Mulya malu di mal yang berujung mempermalukan diri di depan mantan, Yuri mengeluh lapar dan ingin makan. Ia sudah menyebut nama-nama restoran fancy yang ada di mal ini. Lagi-lagi Mulya menyanggupi tanpa banyak kata. Akhirnya Yuri menghentak-hentakkan kaki keluar mal setelah akhirnya menyerah dan mengatakan ingin makan pecel lele saja. Nah, ini satu lagi perbedaan antara mereka. Saat Yuri menyebutkan pecel lele, itu artinya pecel lele yang dijual di warung-warung tenda pinggir jalan. Bukannya di sebuah rumah makan begini. Mulya tidak tahu yang membuat pecel lele nikmat itu adalah cuci tangan pakai air kobokan di mangkuk kecil dan lelenya digoreng pakai minyak goreng yang sudah hitam warnanya. "Nggak jadi mau makan." Yuri melipat tangan di d**a. Berhubung sudah terlanjur masuk dan duduk, akhirnya Mulya memesan satu saja untuk dirinya sendiri. Yuri mengeluarkan tisu basah dari dalam tasnya untuk membersihkan make up-nya yang super heboh. Dalam beberapa kali sapuan, wajah Yuri sudah bersih dari make up. Ia melepas bandonya dan menguncir rambutnya asal-asalan. Kalau seperti ini, baru dia terlihat seperti anak SMA. "Kamu bikin aku makan banyak hari ini." Ujar Mulya begitu seporsin pecel lele dihidangkan ke mejanya. "Salah sendiri aku bilang apa iya-iya aja." "Bentar kalau aku bilang enggak pun pasti jadi salahku lagi." Yuri mendengus sebal. "Jadi Mas Mul bakal iya-in semua keinginan aku?" Mulya menganggukkan kepala dua kali. "Kenapa?" "Biar kamu percaya aku sayang sama kamu." Katakanlah selama ini Yuri cewek murahan, karena setiap ada cowok yang ngirim kode-kode suka, perutnya seperti digelitiki ribuan kupu-kupu. Tapi kali ini flat, sedatar muka Mulya saat mengatakannya. "Kalau aku tiba-tiba bilang mau lihat pemandangan naik helikopter?" Mulya berpikir sejenak. "Sepertinya ada temanku yang punya, aku bisa menghubunginya." "Terus kalau dari atas helikopter itu aku mau terjun bebas?" "Oh, maksud kamu skydiving?" "Tanpa parasut." Sahut Yuri cepat. "Apa Mas Mul juga akan tetap bilang iya?" "Ya... Kalau itu mau kamu." Brak! Yuri menggebrak meja untuk kesekian kalinya malam ini. "Katanya sayang tapi ngebiarin aku mati, gimana sih?" Mulya menghela nafas panjang. "Aku belum selesai bicara tadi." Jelasnya masih dengan wajah datar. "Aku bisa minta pilotnya terbang rendah di atas permukaan air, jadi kamu jatuhnya di atas air. Paling b****g atau muka kamu yang sakit. Tergantung bagian mana yang mendarat duluan." Umur dan pengalaman memang tidak bisa bohong, bisa saja Mulya ngelesnya. Yuri harus bagaimana lagi menbuat Mulya mengurungkan niatnya menikahi Yuri? Yuri menggeleng tak percaya dengan apa yang ada di depan matanya, demi apa Mulya makan pecel lele pakai sendok dan garpu. Mulya benar-benar tidak tahu cara menikmati makanan. "Mas Mul, di sana ada wastafel dengan air mengalir loh. Ada sabun anti bakteri juga. Makan pecel lele itu paling enak pakai tangan." "Menurutku sama aja." Mulya mengunyah makanannya pelan. "Sama-sama rasa ikan lele." "Kita kayaknya memang nggak ditakdirkan bersama, Mas Mul." Yuri tidak bisa bayangkan dirinya mendadak jadi religius karena sering istighfar menoleransi perbedaan Saga. "Yang punya kebiasaan dan sifat yang sama belum tentu ditakdirkan bersama." Jawab Mulya dengan suara tenangnya yang menyebalkan. "Pernikahan itu menyatukan. Dua kepala dengan isi berbeda, dua keluarga berbeda, dan dua masa lalu berbeda yang menyamakan visi misi buat jemput masa depan bersama." "Idih... Apa orang dewasa ngerayunya begini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN