02 | Mimpi Enak

1978 Kata
Yuri deg-degan, sekujur tubuhnya merinding dan entah kenapa tidak bisa berbaring tenang selama bibir Mulya menjelajahi sekujur tubuhnya. Ia terenggah-enggah saat Mulya menjauhkan diri dan sedetik kemudian Yuri menjerit kaget tahu-tahu Mulya menurunkan celananya sendiri. "Ck, kayak baru pertama kali lihat barang laki aja." "Ya, biasanya kan cuma lewat video…" "Ya udah, biasain lihat yang asli mulai sekarang." Serta merta Yuri perlahan membuka mata, maksud hari mengintip sedikit, tapi yang dilihatnya malah membuat matanya terbelalak syok, lalu buru-buru menutupnya lagi. "Besar banget. Apa ya muat?" Kekehan tawa keras Mulya menyapa telinga Yuri, Yuri baru tahu dia bisa tertawa sekeras itu. Yuri memukul d**a Mulya supaya menghentikan tawanya. Yuri kan meskipun sering ngomong jorom dan otaknya m***m, tetap saja dia perawan belia. "Ih, Mas Mul…" Yuri merengek resah tapi enak, ia takut tapi ingin tetap lanjut. Yuri merasakan Mulya menimpa tubuhnya lagi, tidak benar-benar menimpa karena Mulya membebankan sebagian bobot tubuhnya di sikunya. Sesuatu yang mengganjal dan mengeras di bawah sana kini bergesekan langsung tanpa penghalang dengan miliknya yang sudah basah. "Mas Mul," panggil Yuri lagi. "Hmm…," gumaman Mulya teredam oleh ciumannya di ceruk d**a Yuri, satu tangannya memainkan tombol di salah satu puncak daada Yuri, membuat Yuri mengelinjang keenakan. "Matiin lampunya. Malu…," cicit Yuri susah payah mengendalikan suara agar tidak mendesah. "Malu sama siapa? Aku mau lihat tubuh kamu, Yul." "Itu…, dia ngelihatin kita terus dari tadi." Sejenak Mulya menghentikan kegiatannya hanya untuk menoleh ke arah yang ditunjuk Yuri. Sesaat dia terpaku melihat seekor cicak di dinding iseng sekali menonton mereka, dan tak habis pikir bisa-bisanya Yuri menganggap cicak tersebut sebagai penonton. Tak mau berdebat panjang yang ujung-ujungnya hanya akan membuatnya kesal dan makin tersiksa,.Mulya terpaksa beranjak dari atas tubuh Yuri untuk mematikan lampu, dan dalam sekejap ruangan menjadi temaram. Mulya langsung menerjang bibir Yuri, memanggutnya tergesa seolah Mulya sudah menahan gejolak ini sangat lama. Yuri yang sudah makin terbiasa, membuka mulutnya, mengundang panggutan Mulya masuk makin dalam. Lepas dari bibir Yuri, bibir Mulya membuat jejak lembab lurus dari leher, turun ke d**a, perut, dan terus ke bawah. Mulya merentangkan kaki Yuri, membuatnya sangat terbuka di depan Mulya. Yuri panik berusaha menutupi tubuhnya dengan telapak tangan, tapi dengan mudah Mulya menepisnya. Yuri terkesiap saat Mulya menempatkan tubuhnya tepat di atas tubuh Yuri. "Tunggu." Yuri menahan d**a Mulya agar berhenti bergerak. "Ck, apa lagi, sih, Yul?!" erang Mulya frustrasi. "Kalau nggak muat gimana?" Melalui cahaya temaram yang membias dari lampu tidur itu, Yuri bisa melihat kepala Mulya seolah mengepulkan asap dan kedua tangan Mulya membesar bersamaan dengan tumbuhnya kuku cakar di ujung jarinya. Yuri tersudut ketakutan, berusaha geser-geser menghindari Mulya yang terus merangsek maju hingga separung b0kongnya menyentuh pinggiran tempat tidur dan Yuri kehilangan keseimpangan. "Argh!" Yuri menjerit kencang merasakan bokonhnya menghantam benda padat, terutama di tulang ekornya. Hantaman itu sekaligus menyadarkan Yuri akan satu hal. Sontak Yuri membuka mata, meraba sekujur tubuhnya yang masih dibalut piyama. Ia menoleh ke sekeliling dan lega luar biasa saat tidak menemukan jejak Mulya di sana. Untung cuma mimpi yang sialnya kok sepertinya enak. Mulyawan Muda sialan, lamaran sialan. Sejak semalam Yuri memikirkan apa jadinya ia jadi istri Mulya. Setiap hari mungkin Mulya akan mengatainya manja dan centil. Yuri bisa bayangkan setiap hari ia akan dibuat sakit kepala memikirkan karena selain tidak semua menu dia suka, Yuri juga harus menghitung kalorinya. Atau, Yuri mungkin juga harus menahan iri setiap hari lantaran kulit Mulya lebih putih darinya, padahal dia adalah laki-laki. Tidak adil sekali, bukan? *** Saat pertama kali melihat Mulya, Yuri tidak bisa menahan diri untuk tidak melarikan lirikannya ke bawah ke bagian yang sampai sekarang masih membuatnya terbayang-bayang. Apa mungkin ukurannya sebesar itu? Ah, mana mungkin! Yuri pasti hanya masih terbawa n****+ erotis yang dibacanya terakhir kali. Yuri sengaja membiarkan Mulya menunggunya lebih dari setengah jam di teras sebelum ia turun. Ayah sudah tiga kali mengetuk pintu kamarnya, menyuruhnya cepat-cepat keluar. Biar saja, salah siapa nggak tahu diri mau menikahi Yuri. Ayah dan Mulya menatap Yuri keheranan saat akhirnya keluar dari kamar. Yuri memakai rok mini yang dipadu blus bermodel lucu warna ungu cerah, ia menyematkan bando warna senada dengan bajunya di kepala. Yuri juga tak lupa merias wajahnya. Alisnya melengkung seperti pelangi yang warnanya tercemar jadi hitam semua, itu pun antara kanan dan kiri tidak sama. Sebagai sentuhan akhir, Yuri memulas bibirnya dengan lipstik warna pink yang mengkilat. “Kamu...kenapa berpakaian seperti ini, Yuri?” Ayah sampai dibuat tidak bisa berkata-kata dengan penampilan baru anaknya. “Apa salahnya?” Yuri berputar penuh percaya diri. “Berhubung aku udah mau nikah, jadi aku harus mulai membiasakan dandan. Gimana menurut Mas Mul dandanan aku?” Yuri menyeringai. Karena ia tidak sanggup menanggung dosa menjadi anak durhaka, maka cara terakhir ia harus membuat Mulya tidak jadi ingin menikahinya. “Selama kamu percaya diri,” sesaat Mulya memandang Yuri dari ujung kepala ke ujung kaki, lalu naik lagi dan berhenti di wajahnya. “Bagus-bagus saja di kamu.” “Oh, pengertian sekali sih, Mas Mul.” Yuri mendesah seolah kagum, padahal ia tahu Mulya sedang menekan keras emosinya. “Langsung pergi, yuk. Bye Ayah, kita mau ngedate dulu.” *** Maksud hati mempermalukan Mulya, malah Yuri yang dibuat menanggung malu dari ubun-ubun ke ujung kuku jari kaki. Pasalnya sepanjang tempat yang mereka lewati, ia jadi pusat perhatian orang-orang sekitar. Sudah seperti badut nyasar di mal tapi bisa diloloskan masuk oleh security karena datangnya bersama sultan. Dasar Mulya licik. Saat Yuri menyebut nama sebuah kedai kopi, Yuri tidak menyangka Mulya akan mengajaknya ke cabang yang ada di salah satu mal elit. Yuri mencari tempat paling sudut selagi Mulya memesan. Tak lama Mulya kembali dengan nampan berisi dua jenis minuman berbeda dan tiga piring kue permintaan Yuri. Mulya menarik kursi di depannya dan duduk di sana dengan tenang sambil menyesap kopi panas yang Yuri yakini isinya kopi hitam tanpa campuran apa-apa. Sementara Yuri mengaduk es kopinya penuh tenaga. “Dari sekian banyak cabang, harus banget ya ke sini?” “Kenpa nggak lebih spesifik bilangnya tadi?” Yuri mengerucutkan bibir. Bagaimana itu bisa jadi salahnya? “Mas Mul pasti sengaja mau mempermalukan aku, kan?” “Aku kira kamu PD dengan penampilanmu.” “Ish.” Yuri menghentakkan kaki, lebih baik emosinya ia salurkan ke potongan cheese cake yang menggoda ini. Setelah menghabiskan lebih dari setengahnya, Yuri berkata. “Aku masih belum memutuskan mau menikah sama Mas Mul, ya!” “Nggak ada yang maksa kamu.” Yuri mengibaskan tangan. “Halah, nggak memaksa tapi nggak ngasih pilihan lain, ya sama saja.” Mulya tidak menanggapi dan malah kelihatan lebih tertarik memperhatikan interior kedai kopi itu, membuat Yuri merasa diabaikan. Lelaki begini mau menikahinya? Yuri terpaksa mengetuk meja agar mendapat perhatian Mulya. “Mas Mul nggak mau tanya mauku apa?” Akhirnya Mulya menatap Yuri. “Kamu mau apa?” Bola mata Yuri berputar jengah. “Mas Mul ini serius nggak sih mau nikahin aku?” gebrakan Yuri membuat beberapa pasang mata melihat ke arahnya. “Menurutmu aku orangnya suka main-main?” Ya tidak, sebaliknya, Yuri bahkan berpikir Mulya tidak punya kantong tawa. “Aku sudah mengatakan niatku ke Ayahmu dan membawa keluargaku ke rumahmu. Mamaku sampai sudah nyari arsitek buat renovasi rumah. Bagian mana yang menurutmu masih kurang serius?” Tuh, kan! Yuri tidak bisa bayangkan menghabiskan seumur hidup mendengarkan orang bicara sekaku itu. “Kenapa mesti aku?” “Karena aku sayang sama kamu.” “Mas Mul jangan main-main, ya!” Yuri menggebrak meja sekali lagi, kali ini sama sekali tidak peduli dengan reaksi orang-orang di sekitar. “Mana ada orang bilang sayang tapi mukanya lempeng begitu. Asal Mas Mul tahu, banyak laki-laki yang pernah bilang suka ke aku tapi nggak ada yang mukanya sengesekin Mas Mul, tahu?!” “Terus aku mesti ngapain? Mukaku memang begini.” “Tahu, ah!” Yuri mendorong piring cheese cake-nya mendadak kehilangan selera makan. “Mas Mul mimpi apa sih tiba-tiba mau nikahin aku? Mas Mul stress karena teman-teman Mas sudah pada punya anak?” “Nggak stress lah, tiap orang kan punya waktunya sendiri-sendiri.” “Terus kenapa sekarang Mas Mul ngebet pengen nikah?” “Mungkin sudah waktunya.” Astaga, Yuri bisa gila. Pokoknya Yuri akan membuat Mulya mengurungkan keinginannya menikahi Yuri. Bagaimana pun caranya. *** Dari kedai kopi, Yuri menyeret Mulya ke bioskop. Katanya, sekalian di mal. Semua anak muda kota gaya kencannya begini. Diantara banyak film yang tayang dengan berbagai genre, Yuri sengaja memilih film komedi romantis lokal yang bahkan promosinya belum pernah Mulya dengar. Yuri menempeli Mulya dan menggandeng tangannya ala-ala anak baru gede kebanyakan kalau lagi kencan. “Mau popcorn yang large sama cola.” Tanpa banyak kata Mulya langsung menuju counter pembelian dan kembali ke tempat Yuri menunggu dengan satu cup cola dan popcorn. “Kok cuma beli satu?” tanyanya menerima minuman yang Mulya ulurkan. “Dua potong cake yang nggak kamu habiskan saja belum habis dicerna perutku.” “Siapa yang suruh ngabisin?” “Tidak ada, Eureka.” Mulya menekankan nama lengkap Yuri. “Cuma aku nggak terbiasa ninggalin makanan sisa di atas meja. Lain kali, kalau mau beli sesuatu, kira-kira dulu.” “Ya, gimana dong?” Yuri berlagak kebingungan. “Aku anaknya suka nggak kira-kira. Lihat baju lucu dikit langsung beli, lihat makanan kayaknya enak langsung beli. Nggak bisa aku kayak Mas Mul gitu.” Sepertinya Mulya banyak menghembuskan nafas malam ini. “Filmnya mulai jam berapa?” Taya Mulya. Yuri melirik tiket yang dipegangnya. “Masih sekitar 20 menit lagi. Kenapa?” “Aku tinggal ke mushola dulu, sudah masuk maghrib.” “Subhanallah.” Yuri memegangi d**a, membuat-buat ekspresi terkagum-kagum, “Mas Mul nggak mau ajak aku sekalian?” “Nanti.” Jawab Mulya menaruh popcron Yuri di pangkuan gadis itu. “Setelah kita nikah, aku punya kewajiban mengajak kamu. Kalau sekarang kamu pasti lebih sayang alismu bakalan luntur kena air wudlu.” Mulya mengenal Yuri dengan baik. Yuri bukan orang yang rajin mengerjakan sholat, ia hanya sholat saat sedang di rumah saja. Kalau sedang di luar, selalu ada saja alasan untuk tidak mengerjakannya. “Ya sudah, sana. Jangan lupa doain aku ya, Mas Mul.” Ditinggal Mulya, Yuri makin keki. Ya jelas saja, dandanannya benar-benar norak. Kalau bukan karena ingin membuat Mulya malu berjalan berdampingan dengannya, Yuri mana mau menjadi bahan lirikan orang-orang. Kalau ada teman kampusnya yang lihat, Yuri nama Eureka Dewindanya Basuki pasti akan dicoret dari daftar mahasiswa tercantik. Untungnya, Mulya kembali sesaat setelah pintu studio baru saja dibuka. “Duh, cerahnya wajah calon imam aku. Tapi kok nggak cukup terang buat menerangi masa depanku, ya?” Mulya menatap Yuri datar, mau lihat sampai sejauh mana Yuri bertingkah. “Orang-orang daritadi pada ngelihatin kita, Mas Mul.” Sebelum Mulya akan mengatakan itu karena penampilan Yuri yang terlalu mencolok, Yuri menyambung ucapannya. “Mungkin dikiranya aku anak SMA yang lagi jalan sama papanya hehehe.” Mulya hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Jumlah penonton di studio ketika film mulai diputar bahkan bisa dihitung dengan jari, film ini pasti tidak terlalu menarik minat penonton. Yuri tahu apa yang harus dilakukan kurang lebih dua jam ke depan, apa lagi kalau bukan tidur. Suasana bioskop dan ruang kelas adalah tempat yang seolah punya mantra nina bobo, sekalinya kepala nyender, mata langsung merem begitu saja. Tepukan ringan di tangan Yuri, membangunkan Yuri dari tidurnya. Lampu studio sudah dinyalakan lagi, tidurnya nyenyak sekali. “Yah, popcornnya nggak kemakan, dong. Sayang sekali kalau dibuang.” Ujar Yuri seolah benar-benar menyesal. “Bawa pulang saja.” “Ih, repot tahu, Kak.” “Beratnya nggak ada satu kilo, apanya yang repot?” “Ih, pokoknya nggak mau bawa aku.” Yuri bisa melihat bibir Mulya menipis. Bagus, akhirnya usaha Yuri menunjukkan hasil. Terus pancing, sampai emosinya keluar. “Malu tahu, Mas Mul, kayak apa aja popcorn segala dibawa pulang.” Namun seperti nyala korek api yang menjilat hanya tiga detik, saat Mulya menarik nafas panjang, lelaki itu kembali terlihat tenang. “Ya sudah, aku aja yang bawa.” Mulya menyambar wadah popcorn sebelum berjalan keluar dari studio. Dari belakang, Yuri gemas ingin sekali menjambak rambut klimis Mulya. Kesampet apa sih dia sampai bisa super sabar hari ini. Sebelum-seblumnya, baru dipanggil namanya saja, Mulya bawaannya sudah mau kabur saja. “Kamu mau bantu bersih-bersih di sini?” Mulya menoleh lagi kantaran Yuri tak kunjung menyusul. Yuri menghentakkan kaki kesal, harus bagaimana lagi ia membuat Mulya marah?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN