Sekarang ia sendiri lagi, di kamar luas dan suram ini. Rane tadi hanya mengantarkannya sampai di depan pintu. Setelahnya pemuda itu langsung masuk ke kamarnya. Angela menggigit bibir. Gadis itu berusaha menahan tangis. Ia ingin pulang. Ia sangat merindukan keluarganya. Selain itu ia juga khawatir pada keadaan Erica, keponakannya. Angela berharap Curt tidak akan mengapa-apakan Erica.
Baru saja Angela ingin mengunci pintu, Nola langsung menerobos masuk. Gadis itu langsung memeluknya, membuatnya terkejut. Nola juga terisak di bahunya.
"Nola, kau kenapa? Apa yang terjadi?" tanya Angela cemas.
Nola masih belum menjawab pertanyaan Angela. Ia masih terisak.
"Kau tidak apa-apa kan? Aku mohon jangan menangis lagi, dan jawablah pertanyaanku," pinta Angela semakin cemas.
Nola masih terisak sampai beberapa helaan napas. Angela membiarkannya saja dulu, meskipun rasa cemas yang bercampur penasaran semakin memenuhi dadanya.
"Maafkan aku, Angela," ucap Nola setelah tangisnya mulai reda. Gadis itu mengurai pelukan. "Maaf karena aku masih belum bisa melindungimu."
Angela tersenyum, mengusap air mata dengan ujung jari-jarinya.
"Tidak apa-apa," jawab Angela lembut.
"Tapi ini salahku!" Nola bersikeras. Ia kembali terisak." Seandainya saja kita tidak bertemu. Seandainya saja aku tidak keluar dari sini dan tidak tersesat, kau tidak akan berada di kediamanku sebagai tahanan sekarang."
Angela menggeleng pelan. "Itu tidak benar," ucapnya. "Tadi aku juga sempat berpikiran seperti itu. Seandainya aku tidak mengikuti keinginan Erica, seandainya kami tetap di rumah, semua ini tidak akan terjadi. Tapi..." Angela melangkah menuju cermin besar yang tak jauh dari mereka, menatap pantulannya dan juga Nola di cermin itu. "Semuanya sudah terjadi, Nola. Jadi tidak ada yang perlu disalahkan." Angela memutar tubuh menghadap Nola. "Kau tidak bersalah!" ucapnya tegas. "Berhentilah minta maaf! Kau setuju?"
Nola menyusut air matanya kemudian mengangguk. Gadis itu berlari ke arah Angela dan memeluknya lagi.
"Terima kasih, Angela," ucap Nola lirih. "Aku kira semua klan Thomas itu jahat seperti yang dikatakan anggota klanku selama ini. Tapi ternyata tidak." Nola mengurai pelukan. "Kau sangat baik."
Angela tersenyum manis. "Kau juga sangat baik," balasnya. "Begitu juga dengan Sir Arnold Johnson."
"Tetapi tidak dengan Rane kan?" Nola tertawa pelan. Gadis itu menutupi mulutnya dengan sebelah tangan.
"Kurasa Rane juga baik."
"Huh?" Nola mengerjap. Tapi kemudian tawa kecil kembali meluncur dari mulutnya, padahal ia masih terisak. "Menurutmu begitu?" tanyanya.
Angela mengangguk. "Setidaknya Rane pemuda yang sopan."
"Kau salah! Rane itu sangat baik," ralat Nola. "Rane selalu membelaku. Dia juga mau menemaniku di saat anak-anak lain tidak mau berteman denganku karena aku tidak memiliki kekuatan seperti yang mereka miliki." Nola menerawang. "Bukan hanya karena dia sepupuku, tetapi Rane memang seperti itu. Dia memang selalu membela orang yang lemah."
Benarkah Rane seperti itu? tanya Angela dalam hati. Lalu kenapa Rane membawanya ke sini dan menjadikannya sebagai tahanan?
Seolah tahu yang dipikirkan Angela, Nola menggenggam tangan gadis itu. Ia mengerti perasaan Angela. Bagaimanapun ramah dan manisnya perlakuan musuhmu, pasti tetap lebih nyaman berada di rumahmu sendiri.
"Maafkan Rane ya, Angela," pinta Nola. Ia sangat menyesal. Memang tidak seharusnya Rane membalas kebaikan Angela seperti ini. Angela telah menolongnya. "Aku tahu bagaimana perasaanmu. Kau pasti sangat merindukan rumah dan keluargamu kan?"
Angela tidak menjawab. Gadis itu menundukkan kepala sambil menggigit bibir. Haruskah ia menjawab pertanyaan Nola? Karena tanpa ia menjawab pun Nola pasti sudah tahu jawabannya.
Nola memeluk Angela lagi. Tentu saja begitu kan? Angela pasti sangat merindukan rumahnya.
"Maafkan aku," bisik Nola serak. Ia merasa sangat bersalah. Seharusnya ia tidak usah menerima bantuan Angela kalau tahu akhirnya akan seperti ini. Ia kasihan dengan Angela, juga si kecil Erica. Meskipun gadis kecil itu tadi tidak terlihat tertekan. Erica malah tampak sangat akrab dan manja pada Curt. Mereka berdua seperti Ayah dan anak.
Angela menggeleng. "Sudah kubilang tidak apa-apa," sahutnya dengan suara yang lirih juga. Gadis itu mengurai pelukan, senyum manis menghiasi bibirnya. "Kau tidak bersalah. Lagipula ini takdir. Kalau bukan Rane, anggota klanmu yang lain entah siapa juga bisa menemukan kami. Kurasa kami beruntung Rane yang menemukan kami. Karena kalau anggota klanmu yang lain yang menemukan kami, aku yakin kami akan langsung dijebloskan ke sel bawah tanah."
Angela kembali bergidik membayangkan hal itu. Penjara bawah tanah adalah tempat terburuk dari sebuah kediaman. Kau tidak bisa melihat matahari di sana, karenanya kau tidak akan tahu sudah siang ataukah masih malam.
Nola mengangguk, membenarkan perkataan Angela. Ia juga sangat beruntung bertemu gadis di depannya ini. Angela sangat baik, tidak seperti gadis-gadis sebayanya yang lain. Gadis-gadis itu menjauhinya hanya karena ia tidak, atau seperti yang dikatakan Paman Arnold, belum memiliki kekuatan seperti mereka. Padahal mereka satu klan, dan kedudukan gadis-gadis itu lebih rendah darinya yang merupakan anggota inti dari klan Johnson. Mereka mau berteman dengannya hanya kalau ada Rane. Dasar munafik!
Tetapi tidak dengan Angela. Gadis ini mau berteman dengannya sebelum dia mengenal Rane, bahkan setelah tahu kalau ia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Awalnya ia sempat mengira Angela mau berteman dengannya karena mereka sama tidak memiliki kekuatan. Tetapi ternyata tidak, dugaannya keliru. Angela malah memberikan alat pendeteksi miliknya yang membuat ia ditemukan dan menjadikan Angela sebagai tahanan. Nola bersyukur ia bertemu dengan Angela. Karena ia sudah menemukan sahabat yang selama ini tak pernah ia miliki.
"Terima kasih sekali lagi, Angela," ucap Nola menggenggam tangan Angela. Tangan itu dingin, padahal suhu di ruangan ini hangat. Nola mengernyit merasakannya. Seolah Angela sedang menahan sesuatu. Nola mengeratkan genggamannya. Berusaha menyalurkan kekuatan yang dimilikinya melalui genggaman itu. "Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku seandainya siang tadi aku tidak bertemu denganmu."
Angela tersenyum. Mata birunya menatap Nola lembut. Angela mengerti kalau gadis di depannya ini sudah mendapatkan perlakuan tidak adil dari gadis-gadis seusianya di klannya sendiri. Kekuatan sama halnya seperti klan, sangat sensitif.
"Orang-orang di klanmu sangat mengerikan," ucap Angela.
Nola tak menyahut. Gadis itu hanya melebarkan matanya menanggapi perkataan Angela.
Angela menarik tangan Nola. Membawa gadis itu untuk duduk di sisi tempat tidur. Kemudian baru meneruskan perkataannya.
"Mereka menatapku seolah ingin memakanku hidup-hidup." Angela bergidik lagi. Selama tujuh belas tahun ia hidup, tidak pernah Angela ditatap seperti itu. Tatapan itu sangat memberikan baginya yang selalu mendapatkan perlakuan manis.
"Itu wajar," sahut Nola setelah tadi hanya diam saja mendengarkan perkataan Angela. "Kau kan anggota klan Thomas, mereka membenci klanmu."
"Dan juga membenciku," sambung Angela. Tubuh gadis itu meremang mengingat tatapan yang diterimanya tadi siang saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini.
Nola mengangguk.
"Aku tidak tahu kenapa klan kita bermusuhan. Dan aku juga tidak tahu sampai kapan permusuhan ini berlanjut." Angela menggeleng. "Tapi kuharap semua ini segera berakhir."
Nola mengangguk lagi.
"Agar tidak ada lagi korban dan kita semua bisa hidup dengan damai."
"Iya," sahut Nola. "Kurasa, itu semua harapan semua orang. Aku juga ingin damai Angela, agar kita bisa keluar bersama dan saling mengunjungi."
Angela mengangguk. Senyum kembali menghiasi wajah cantiknya yang terlihat sedikit pucat. Gadis itu masih belum bisa beradaptasi di tempat yang dianggapnya mengerikan ini.
"Kau tadi tidak menghabiskan makan malammu, bagaimana kalau kuambilkan makan malam lagi untukmu?" tawar Nola.
Angela menggeleng pelan. "Tidak, terima kasih. Tapi aku benar-benar sudah kenyang," tolaknya halus.
Nola cemberut. Bagaimana mungkin Angela sudah merasa kenyang, sementara makan malamnya tadi masih tersisa lebih dari separuh? Untungnya Nola tidak kehabisan akal. Ia akan mencoba menawarkan kudapan untuk mereka nikmati sambil mengobrol malam ini.
"Bagaimana kalau kudapan?" tawar Nola lagi. "Aku rasa kita memerlukannya untuk menemani kita mengobrol."
"Apa kau akan tidur di kamarku malam ini?" tanya Angela dengan mata berbinar.
Nola mengangguk. "Tentu saja!" jawabnya tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu kurasa aku tidak bisa menolak kudapan. Kita memerlukannya agar terus terjaga." Angela tersenyum.
Nola juga tersenyum lebar. Setidak nya Angela menyetujui usulnya mengenai kudapan yang akan membuat perutnya lumayan terisi. Nola tidak ingin sahabatnya sakit.
"Tunggu sebentar, aku akan meminta pelayan membawakannya untuk kita." Nola beranjak menuju pintu. Rencananya ia juga akan membawakan Angela gaun atau piyama untuk tidur. Atau mungkin mereka bisa berbelanja besok. Ia akan mengambil libur untuk sekolahnya selama beberapa hari. Ia ingin menemani Angela sehingga gadis itu betah di mansion keluarga Johnson.
***
Jam sudah menunjukkan tengah malam, tetapi Rane masih belum bisa memejamkan mata. Ia memang belum mengantuk, Rane hanya memaksakan diri untuk tidur sekarang. Tubuhnya yang lelah memaksanya untuk cepat beristirahat.
Pertarungan tadi siang cukup menguras tenaganya. Leon Wallace bukanlah lawan yang bisa dianggap enteng. Ditambah lagi beberapa orang yang mempunyai kekuatan yang sama dengan Leon. Memang terlihat tidak adil, ia dikeroyok. Tetapi ia dapat mengimbangi mereka. Meskipun seluruh tubuhnya sakit, ia dapat melumpuhkan Leon dan kedua temannya. Rane rasa ia hanya beruntung tadi itu. Ia sudah sering bertarung melawan Leon. Kemampuan pemuda itu meningkat pesat. Leon bahkan sudah mulai bisa membekukan air. Sedikit berbahaya bagi kekuatan api yang dimilikinya.
Rane tersenyum masam. Kekuatan api yang dimilikinya selalu membuatnya berhadapan dengan para pemilik kekuatan air dan sejenisnya. Minggu lalu ia harus berhadapan dengan seorang yang memiliki kekuatan salju. Bukan es seperti yang dimiliki oleh mereka yang memiliki kekuatan air. Dan itu sangat menyusahkan. Karena orang itu dapat menciptakan badai salju yang dahsyat. Beruntung ia dapat mengatasinya. Meskipun dengan bantuan dari salah seorang petarung di klannya yang memiliki kekuatan angin.
Sesungguhnya bagi Rane itu adalah hal yang memalukan. Ia adalah petarung tunggal yang tidak terbiasa mendapatkan bantuan. Tetapi saat itu ia dalam keadaan terdesak, dengan sangat terpaksa ia menerimanya. Daripada ia mati konyol atau tertangkap dan menjadi bulan-bulanan Ruu Thomas. Itu adalah hal yang paling tidak diharapkannya di muka bumi ini. Ia belum pernah bertarung melawan pria angkuh itu. Membuatnya sangat penasaran seberapa besar kekuatan yang dimiliki Ruu. Mungkin suatu hari nanti ia akan melawan pria itu. Entah kapan tetapi Rane yakin, mereka pasti akan bertemu di Medan pertempuran.
Rane mengembuskan napas. Pemuda itu bangun dari tidurannya, duduk bersandar pada kepala ranjang. Ruu Thomas orang yang sangat sombong dan kuat, tetapi kenapa adiknya justru tidak memiliki kekuatan apa-apa? Ataukah kekuatan Angela belum muncul? Sedikit aneh, karena biasanya seorang keturunan keluarga inti klan sudah memiliki kekuatan sejak kecil. Seperti Erica. Rane yakin Erica memiliki kekuatan pendeteksi. Ia dapat merasakan seseorang baik atau jahat hanya dari melihatnya saja. Kekuatan yang agak menakutkan. Karena semakin Erica besar kekuatannya itu akan semakin meningkat. Dan Rane yakin, Erica ketika besar nanti bukan hanya akan bisa merasakan, tetapi juga bisa menghancurkan dan mengendalikan pikiran seseorang. Seperti kekuatan yang dimiliki Ayahnya.
Alis Rane mengerut memikirkan hal itu. Ini aneh, bagaimana mungkin seorang Thomas memiliki kekuatan yang hanya dimiliki oleh klan Johnson? Bahkan di klan Johnson pun hanya Ayahnya seorang yang memiliki kekuatan itu. Curt juga memilikinya tetapi tidak sehebat sang Ayah. Apakah Erica...?
Rane menggeleng pelan, menyangkal dugaan yang muncul di kepalanya. Pemuda itu mendongak, memejamkan mata. Tetapi segera membuka matanya kembali. Wajah Angela yang ketakutan muncul di benaknya begitu ia memejamkan mata tadi. Rane memijit pelipis, sepertinya ia membutuhkan udara segar. Mungkin berjalan-jalan sebentar di luar kamar bisa membuatnya lelah dan mengantuk.
Rane meluruskan punggung. Sepasang kakinya menjuntai ke bawah menapak lantai. Pemuda itu berdiri perlahan dan melangkah keluar. Udara malam yamg dingin langsung menyambutnya. Kamar Rane memang berada di lantai atas paviliunnya. Dan lantai atas ini hanya separuh yang beratap. Hanya di bagian kanan. Sementara di bagian kiri tidak, kecuali untuk kamar. Rane sengaja mendesainnya seperti ini. Ia mendesain paviliunnya sendiri agar terlihat berbeda dari paviliun lainnya. Kamarnya berada di bagian yang tidak beratap. Langsung berhadapan dengan taman –bagian paviliun yang tidak beratap di lantai atas dijadikan Rane taman– di lantai atas.
Tatapan Rane menyapu seluruh paviliun, dan berakhir di kamar yamg di tempati Angela. Rane menatap kamar itu dengan mata memicing. Lampu kamar masih menyala yang menanfakan pemiliknya masih belum tidur. Entah apa yang dilakukan gadis itu sehingga belum tidur di jam sekarang. Rane hanya berharap Angela tidak menangis lagi.
Gadis itu terlihat sangat rapuh. Lalu, apakah ia menyesal karena sudah menjadikan gadis itu tahanan? Jawabannya tentu saja tidak. Angela adalah tahanan yang paling berharga. Tentu Ruu Thomas tidak akan berani melakukan tindakan macam-macam yang dapat membahayakan nyawa adik dan putrinya. Pria itu pasti tidak akan berani memulai p*********n ataupun melukai tahanan dari klan Johnson selama adiknya ada bersama mereka. Mungkin sementara mereka bisa aman. Setidaknya mereka dapat memulihkan tenaga yang terkuras setelah bertarung.
Udara malam semakin dingin saja. Rane memutiskan untuk kembali ke kamarnya. Pemuda itu berharap ia bisa tidur secepatnya setelah ini. Agar besok ia bisa bangun dengan lebih segar. Sebelum memasuki kamarnya, sekali lagi Rane menatap kamar Angela. Ada rasa aneh yang menyelinap di dadanya. Rane menggeleng, mencoba mengusir dan menghiraukan rasa itu. Ia harus istirahat dan tidak boleh memikirkan apa-apa. Ia hanya ingin memikirkan klan saja.