4. Secret Room

1706 Kata
Malam pun tiba, apa yang ditunggu-tunggu oleh Steven, Lyodra dan Brighteen pun akhirnya sampai juga. Mereka sudah mempersiapkan diri untuk pergi ke kampus malam ini, berbekal tas ransel di punggung masing-masing yang berisi alat-alat yang mungkin nantinya akan menjadi keperluan mereka. Mereka berharap semoga saja perjalanan mereka bisa berhasil, tak sabar rasanya mengungkap misteri itu. Yang paling bersemangat di antara ketiganya tentu saja Steven, Lyodra juga sebenarnya nampak bersemangat berbeda dengan Brighteen yang hanya bisa pasrah mengikuti kedua temannya itu. Padahal terselip rasa takut di hati Brighteen kalau-kalau mereka akan tertangkap basah, bagaimana nasib kuliahnya nanti? Ia tidak mau kalau sampai terkena masalah hanya karena ini. Bagaimana tidak? Kemarin malam mereka hampir saja tertangkap basah oleh Mr. Reind, benar-benar menegangkan sekaligus menyeramkan. Bagaimana bisa mereka nampak tenang jika Mr. Reind hampir saja memergoki mereka? Namun, sepertinya tak ada rasa kapok karena malam ini pun mereka harus sampai di kampus. Selama perjalanan, Brighteen tak henti-hentinya bertanya pada Lyodra ataupun Steven apakah mereka yakin akan pergi atau tidak, hingga akhirnya timbullah percekcokan antara Lyodra dan Brighteen. Di mana Lyodra yang meledek Brighteen sebagai laki-laki penakut, sedangkan Brighteen yang tak terima dengan ejekan Lyodra. Ia bukannya takut, hanya saja sedikit waspada. Memang banyak alasan dan pembelaan sekali Brighteen ini, bilang takut saja sudah sekali. "Kita benar-benar yakin akan masuk?" tanya Brighteen takut-takut, Lyodra yang jengah pada pertanyaan Brighteen yang terus saja diulang pun membalikkan tubuhnya. "Kau ini! Tidak adakah pertanyaan lain selain itu? Kau ulang-ulang saja terus itu pertanyaan sampai kiamat! Dasar penakut sekali!" sentak Lyodra, gadis itu memang seperti itu, suka blak-blakan yang kesannya malah nampak bar-bar. "Aku bukannya penakut, aku hanya waspada saja. Tidakkah kalian mengerti kalau bisa saja ada banyak macam bahaya yang menunggu kita di sana?" balas Brighteen menyangkal kalau ia penakut. "Halah! Bilang saja kau takut, begitu saja susah sekali," cibir Lyodra tak percaya begitu saja dengan sangkalan Brighteen. "Kau ini ...." "Sudah, mengapa kalian ribut terus dari tadi? Bisa-bisa kita benar-benar akan ketahuan ini," tegur Steven membuat keduanya bungkam. "Kau yang salah!" "Kau lah, mengapa aku yang disalahkan?" "Kau!" "Kau!" "Hei! Bisakah kalian diam dan tenang? Atau kalau tidak kalian bisa pulang, biar aku sendiri saja yang akan masuk." Tak tahan, Steven akhirnya menggertak. "Tidak, kami tidak akan membiarkan kamu pergi sendiri ke sana, Steve." Lyodra tentu tak mau pergi begitu saja, sudah kepalang tanggung seperti ini. Sangat pantang baginya untuk mundur, apalagi Steven hanya sendirian. Ia tidak akan mungkin membiarkan sahabatnya pergi ke tempat berbahaya sendirian, ia harus menemani. "Betul apa yang Lyly katakan, kami tidak akan membiarkanmu pergi sendiri, Steve." Kali ini Brighteen setuju dengan apa yang Lyodra katakan. "Tadi katanya kau takut, mengapa sekarang mau ikut?" tanya Lyodra sambil menaikkan alisnya. "Aku sudah bilang kalau aku tidak takut!" sanggah Brighteen kesal. "Bright, apa kau mau pulang saja?" Brighteen langsung bungkam, Lyodra yang melihat itu pun hanya memeletkan lidahnya mengejek Brighteen. "Ya sudah, kalau kalian sudah tenang. Ayo kita mulai masuk, pelan-pelan tapi. Hati-hati, kita harus mengendap-endap. Jangan sampai orang lain melihat keberadaan kita," ujar Steven yang diangguki oleh Lyodra dan Brighteen. Mereka berjalan mengendap-endap di dalam area kampus yang begitu gelap, hanya cahaya lampu yang samar-samar lah yang menemani mereka. Tanpa ada rasa takut sama sekali, ketiganya akhirnya tiba di depan pintu perpustakaan. Beruntung sekali karena kampus begitu sepi, mungkin para dosen ataupun satpam sudah pulang atau tertidur mengingat ini sudah sangat malam. Mereka memang sengaja datang di tengah malam begini, menghindari kalau-kalau ada yang datang. Bisa berbahaya bagi keselamatan mereka sebagai mahasiswa di kampus ini , tidakkah rasa penasaran ketiganya membuat mereka dapat menimbulkan bahaya bagi mereka sendiri? Tak peduli dengan hal itu karena sudah kepalang tanggung, mereka pun tetap maju. "Dikunci," ucap Lyodra ketika akan membuka pintu perpustakaan itu. "Jendelanya pun dikunci, Steve." Brighteen ikut bicara ketika mengecek pintu jendela yang ternyata ikut dikunci. "Bagaimana kita akan masuk sekarang?" tanya Lyodra sambil menatap Steve. "Sebentar," jawab Steven. Laki-laki itu menurunkan tas ranselnya dari gendongannya, ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Ternyata itu adalah pembobol kunci. "Steve, mengapa kau membawa benda itu? Kau mau membuka bengkel?" tanya Brighteen polos. "Dasar bodoh! Itu namanya pembobol kunci, sudah tahu kalau kita akan ke sini masa tidak tahu? Sangat tidak mungkin sekali kita ke sini ingin membuka bengkel. Kau ini aneh-aneh saja," ujar Lyodra tak habis pikir dengan jalan pikiran Brighteen yang polos atau bodoh. "Sudah jangan berisik, kalian ini sepertinya tidak pernah akur ya? Ada saja bahan untuk saling mengejek." Steven heran, kedua temannya itu jarang sekali akur. Entah mengapa mereka itu suka sekali bertengkar, Steven yang mendengarnya ikut pusing. "Salahkan saja Bright, Steve. Pertanyannya membuatku kesal saja." "Lyly, lebih baik kau bantu aku saja ya? Pastikan pintu ini tidak rusak supaya nanti orang tidak curiga." Lyodra mengangguk, ia mendekat ke arah Steven. "Lantas aku melakukan apa?" tanya Brighteen. "Kau awasi apakah ada orang yang ke sini tidak, jika ada kau bisa memberitahu kami." Brighteen mengangguk, ia membuka matanya lebar-lebar agar lebih jeli dalam memeriksa. "Tidak ada orang, Steve." "Bagus, terus awasi. Ayo, Lyly! Ini sedikit lagi terbuka." Cklek ... terdengar kalau kunci pintu itu sudah terbuka, Steven dan Tidak pun lega. "Bright! Ayo masuk!" teriak Steven membuat Brighteen yang tadinya fokus pada pengawasannya pun menoleh. "Aku tidak menunggu di sini saja?" Lyodra berdecak mendengarnya. "Hei penakut! Yakin kau tidak mau ikut masuk? Di luar jauh lebih seram, kau mau dimakan oleh para hantu?" Mendengar itu, Brighteen langsung ikut masuk. Betapa Brighteen takut pada makhluk astral itu, huh, mengingatnya ia jadi merinding. "Ly, kau keluarkan kunci yang sudah kita peroleh," pinta Steven. Lyodra mengangguk, ia mengeluarkan kunci itu dari dalam tasnya. "Seram sekali." Brighteen merinding ketika melihat dua kunci yang menyerupai tengkorak jari manusia. "Berlebihan sekali kau, mau aku suruh kau pegang ini?" Dengan jahil, Lyodra mendekatkan bagian kunci itu pada Brighteen yang langsung mundur. "K-kau jangan macam-macam!" pekik Brighteen takut. "Hahahaha begitu saja kau sudah takut, apalagi hal yang lainnya?" Lyodra menggeleng heran dengan tingkah Brighteen yang penakut, ia juga heran pada dirinya yang mau berteman dengan laki-laki penakut seperti Brighteen. Si polos yang juga penakut serta terkadang membuatnya gemas ingin memukul kepalanya hingga benjol. "Diam kau! Tidak usah mengejekku!" ujar Brighteen kesal. "Aku tidak mengejek, itu 'kan kenyataan." "Kalian masih mau bertengkar apa membantuku?" tanya Steven yang mulai lelah dengan perdebatan itu. "Tentu saja membantumu, sini aku bantu kau, Steve." Lyodra mendekat ke arah Steven, begitupun juga dengan Brighteen. "Bantu aku menyatukan kunci ini," pinta Steven. "Coba berikan padaku," ujar Lyodra membuat Steven menyerahkan dua potongan tulang jari manusia itu padanya. "Hmm ... sepertinya dua potongan ini disambung dan akan menjadi sebuah kunci, tapi bagaimana cara menyatukannya ya?" Lyodra kembali meneliti kunci dari tulang itu dengan seksama. "Sini berikan padaku!" Brighteen merampas dua potongan tulang jari itu dari Lyodra. "Hei! Aku belum selesai berpikir, main kau ambil saja itu kunci. Memangnya kau tahu caranya hmm?" Lyodra meremehkan Brighteen, Brighteen hanya diam. Ia tak menanggapi perkataan Lyodra, Brighteen lebih fokus pada kunci itu. Jarinya mulai bergerak, berusaha menyatukan dua bagian kunci dari jari tengkorak manusia itu dan amazing! Kunci itu menyatu, Lyodra dan Steven bahkan tercengang melihat itu. Mereka tak percaya Brighteen bisa melakukan itu, ilmu dari mana dia? "Mengapa kau bisa melakukannya? Sihir apa yang kau lakukan?" tanya Lyodra tak percaya. "Kau terlalu meremehkanku, nyatanya malah aku yang bisa memecahkan teka-teki kunci ini," ujar Brighteen bangga pada dirinya sendiri. "Hanya begitu saja kau berlagak sombong," sinis Lyodra. "Bilang saja kau iri padaku." Pandangan Brighteen kini beralih pada Steven. "Steve, ini kuncinya. Kau bisa mulai membuka pintu itu," ucapnya sambil menyerahkan kunci itu pada Steven. "Terima kasih, Bright. Kau sangat pintar sekali." Brighteen tersenyum ceria mendengar pujian dari Steven, ada juga momen di mana ia dikatakan pintar. "Dipuji sedikit langsung terbang," sindir Lyodra ketika melihat Brighteen tersenyum-senyum. "Bilang saja kau iri, kau juga ingin dipuji Steve 'kan? Mengaku saja lah." Brighteen menaik-turunkan alisnya, Lyodra hanya mendengkus kesal. Tidak ada gunanya ia meladeni Brighteen, bisa-bisa laki-laki itu semakin menjadi-jadi nantinya. "Terserah kau saja, asal kau senang " "Mengaku kalah juga kau akhirnya 'kan." Lyodra tak menjawab, ia lebih memilih memperhatikan Steven. "Bagaimana, Steve? Kau bisa membukanya?" tanyanya. "Sebentar." CKLEK .... "Terbuka!" pekik Steven merasa senang. "Akhirnya! Ayo tunggu apa lagi? Ayo kita masuk," ujar Lyodra, ia akan masuk tetapi tangannya ditahan oleh Brighteen. "Hei! Apa-apaan kau ini!?" "Tidakkah kita perlu memeriksa dari luar dulu sebelum masuk? Bagaimana jika di dalam ada banyak bahaya?" tanya Brighteen. "Ya, yang Bright katakan itu benar. Sebelum kita masuk, lebih baik kita periksa dulu dari luar. Terima kasih lagi, Bright. Kau sudah mengingatkan kami," ucap Steven. "Lepaskan tanganmu dari tanganku!" Brighteen sadar, ia langsung melepaskan tangannya yang tadi menahan Lyodra. "Galak sekali, seperti nenek sihir," gumam Brighteen. "Apa kau bilang!?" "Tidak, aku tidak bilang apa-apa. Kau mungkin tadi salah dengar," alibi Brighteen. "Aku akan mengecek, kalian tenanglah." Steven maju, ia mengintip dari celah pintu. Yang terlihat di dalam begitu sepi, Steven menatap ke arah kedua sahabatnya yang kini saling diam. "Tidak ada siapa-siapa di dalam, ayo kita masuk!" Mereka akhirnya memasuki ruangan rahasia itu. Begitu masuk, tidak ada yang aneh. Hanya ada rak-rak buku tua yang sepertinya sudah banyak yang usang, sangat berbeda dari ekspektasi mereka sebelumnya. Mereka pikir ada apa di dalam sini sehingga ruangan ini begitu disembunyikan dan semua dilarang memasukinya, ternyata hanya seperti ini? "Tidak ada yang aneh di sini, hanya ada buku-buku usang saja," ujar Steven. "Lantas mengapa mereka melarang kita memasuki ruangan yang katanya rahasia ini? Sampai-sampai kita mencari kuncinya begitu sulit sekali, kalau tahu isinya hanya seperti ini untuk apa kita susah payah melakukan semua ini? Membuang-buang waktu saja!" Lyodra mengeluh, sedikit lelah karena apa yang didapat ternyata tak seperti bayangan sebelumnya. "Aku pikir ada hal menarik di dalam sini, nyatanya tidak ada apa-apa. Huh, menyusahkan." "Hei, mengapa kau ini berisik sekali? Tadi begitu bersemangat, kini lihatlah dia. Dia malah yang lebih lesu dariku," ujar Brighteen mengejek Lyodra. "Kau diam saja! Tidak usah meledekku!" balas Lyodra kesal. "Ya sudah, aku tidak akan mengusikmu. Ah lebih baik aku melihat-lihat buku ini, siapa tahu ada hal yang menarik." Brighteen melihat-lihat buku-buku usang yang tersusun di atas rak yang sepertinya sudah sangat tua. "Hmm, itu sepertinya bagus." Letak buku yang akan diambil oleh Brighteen agak tinggi, laki-laki itu berjinjit untuk mengambil buku itu. BRUKK "AKHHH!" "BRIGHT!" Baik Steven maupun Lyodra berteriak memanggil Bright.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN