5. Magical World

1737 Kata
"Bright!" Baik Steven maupun Lyodra berteriak memanggil Bright, mereka tak menyangka kalau rak buku itu bisa bergeser kemudian Bright terjatuh entah di mana. Keduanya menatap ke arah cahaya dibalik rak buku itu, cahaya yang sepertinya akan membawa mereka menuju dimensi lain. Mereka saling pandang, antara ke sana dan tidak. Bright ada di sana, mana mungkin mereka tidak ikut. Setelah memberikan kode, mereka mengangguk kemudian loncat secara bersamaan menuju cahaya itu. Begitu silau hingga mereka hanya bisa menutup mata, seperti lorong waktu banyak sekali delusi mengenai waktu. Steven dan Lyodra berpegangan tangan sambil memejamkan mata mereka, entah apa yang akan mereka lihat nantinya. Intinya mereka sudah sangat siap jika kemungkinan besar ada bahaya yang menerjang. Mereka membuka mata, seperti ada lorong waktu di sana. Tak sadar, cahaya itu membawa mereka menuju sebuah lorong, lorong panjang yang menyerupai goa. Steven dan Lyodra saling pandang, mereka bingung. Di mana Bright? pikir mereka merasa heran, bukankah Bright jatuh ke dalam cahaya tadi? Mengapa mereka tidak menemukannya? Mereka terus menyusuri lorong yang begitu panjang dan gelap, di depan sana ada sebuah cahaya yang menjadi patokan mereka untuk melangkah. Mereka berharap Bright ada di sana agar mereka tak susah lagi mencari Bright sekaligus khawatir dengan keadaan laki-laki itu. "Kau yakin itu pintu keluarnya, Steve?" tanya Lyodra tak yakin pada Steven. "Iya, kita coba ke sana dulu. Siapa tahu di sana ada Bright," jawab Steven. "Baiklah, tapi kita harus berjaga-jaga. Siapa tahu di sini ada banyak bahaya yang mengintai. Kita tidak tahu di sini ada apa saja karena kita pun baru pertama kali di sini." Steven mengangguk mengiyakan, ia mengajak Lyodra untuk meneruskan langkah. "Bright! Kau di mana!" teriak Steven memanggil nama Bright. "Bright! Apa kau mendengar kami!?" Lyodra ikut berteriak, tetapi mereka sama sekali tak mendapat balasan. "Di mana Bright? Mengapa dia tidak menjawab panggilan dari kita?" Lyodra menaikkan bahunya tanda tak tahu. "Ayo, lebih baik kita ke luar." Mereka akhirnya keluar dari lorong itu, lagi mereka memejamkan mata ketika silau mengenai indra penglihatan mereka. "Bright!" teriak mereka serempak ketika melihat Bright meringkuk di bawah pohon yang telah mati. Bright yang mendengar suara kedua temannya pun langsung mendongak, ia berdiri kemudian langsung memeluk Lyodra. Bak anak kecil yang begitu ketakutan ia memeluk Lyodra dengan erat. Jika biasanya Lyodra akan mengamuk kalau ada orang yang sembarangan menyentuhnya atau memeluknya, tetapi tidak kali ini. Gadis itu membiarkan Bright tetap memeluknya karena ia tahu kalau Bright masih ketakutan, Bright memang sosok laki-laki yang penakut. "Hei, Bright. Tenanglah, kami ada di sini bersamamu." Bright mengurai pelukannya dari Lyodra. "Aku tadi sangat ketakutan, di sini seram sekali. Tidak ada tanda-tanda kehidupan, aku takut kalau aku tidak bisa kembali lagi. Beruntung kalian menyusul." Kini Bright sudah sedikit tenang membuat Steven dan Lyodra tak terlalu khawatir lagi. Kini, mereka memerhatikan sekeliling. Ternyata di sini adalah sebuah hutan, jika biasanya hutan itu dipenuhi dengan pohon yang rindang dan daunnya yang begitu rimbun. Berbeda dengan hutan ini, semua pohon nampak tak bernyawa. Meskipun begitu, keadaan pohonnya nampak kuat dan tidak ada yang roboh. Hanya tidak ada daun saja, semacam tempat yang sedang dalam musim gugur. Jika di sini disebut musim gugur, sepertinya tidak. Karena pohon itu tak nampak sedang gugur daunnya, di bawahnya tidak ada dedaunan kering pertanda kalau daun-daun itu mengalami reruntuhan. "Kau tidak perlu merasa takut lagi, Bright. Sudah ada kami di sini," ucap Lyodra yang jengah pada Bright. Bagaimana tidak? Ia merasa risih karena Bright terus saja menggenggam ujung kemeja yang ia kenakan. "Aku takut sekali, di sini sangat seram. Tidakkah kalian juga merasa takut?" tanya Bright sambil menatap waspada ke segala arah. "Tidak perlu ada yang kau takutkan, Bright. Kami ada di sini, kau terlalu berlebihan tahu? Bisa lepaskan ujung bajuku yang kau genggam ini?" Refleks, Bright melepaskan tangannya dari ujung kemeja Lyodra. Awalnya Lyodra sudah merasa lega, tetapi begitu merasakan genggaman di tangannya ia melotot. "Tidak begini juga maksudku!" ujar Lyodra kesal. "Terus aku harus apa? Tadi kau bilang kalau aku tidak boleh memegangi bajuku, ya sudah aku genggam saja tanganmu. Mengapa serba salah sekali? Tidakkah kau kasihan padaku yang merasa begitu ketakutan?" Mata Bright mengerjap lucu. "Ketakutanmu tidak masuk akal! Ini hutan bukan rumah hantu! Kau tidak perlu takut, lagipula kau ini seorang laki-laki masa iya hanya seperti ini saja takut? Aku tak habis pikir, bagaimana nanti kau akan menjaga dirimu sendiri kalau tak ada kami? Bisa-bisa kau akan terus meringkuk ketakutan seperti tadi," sindir Lyodra. "Ya sudah kalau kau tak merasa takut, sekarang beritahu aku bagaimana kita akan keluar dari sini. A-aku sudah tidak tahan berada di tempat antah-berantah seperti ini." "Hei, kita sudah sejauh ini pergi. Tidak mungkin kita akan kembali, itu namanya kita membuang waktu! Kalaupun nanti kita pulang, di sana ada pintunya" sanggah Lyodra. "Steve! lorong tadi mana!?" pekik Lyodra membuat semua langsung menoleh ke arah tempat yang seharusnya ada goa, tetapi yang terlihat hanyalah hutan yang sama. Hutan yang dipenuhi dengan pohon-pohon yang mati tanpa daun. "Aku pun tak tahu, bagaimana bisa pintu keluarnya menghilang begitu saja? Padahal kita tidak pergi jauh, aku juga yakin sekali kalau pintu tadi ada di sana." Bright mendekati Steven dengan perasaan takut luar biasa. "Sekarang bagaimana, Steve? Tempat ini begitu menyeramkan. Bahkan tidak ada jalan keluarnya, bagaimana kita bisa pulang? Di sini pun sepertinya tak ada tanda-tanda kehidupan. Kita akan meminta tolong pada siapa?" Wajar saja Bright merasa takut, tempat ini begitu sepi dan menyeramkan. Bahkan sepertinya tidak ada tanda-tanda kehidupan, apakah mereka akan selamat nantinya? Bagaimana kalau ada sesuatu yang mengganggu mereka? "Kita cari jalan keluarnya, ayo semua ikuti aku!" Steven berlari membuat Lyodra dan Bright pun ikut berlari menyusul Steven. Mereka berlari menyusuri hutan yang mati ini, sudah lama mereka mencari jalan keluar nyatanya setiap mereka pergi maka mereka akan kembali ke tempat yang sama. Semacam ada sihir yang sengaja menahan mereka, entah sihir apa itu. Intinya mereka tidak bisa keluar dari sini, jalan yang mereka tempuh terus saja berulang. Hal itu pun membuat Steven yang semula tenang ikut panik, Steven tak menyangka kalau di dalam ruang rahasia alias dibalik rak buku itu terdapat tempat seperti ini. Ada rasa penyesalan di hati Steven ketika melihat keadaan kedua temannya yang terlihat kelelahan karena ikut berlari bersamanya yang nyatanya sama sekali tak membuahkan hasil, mereka tidak bisa keluar. "Bagaimana ini, Steve? Kita benar-benar tidak bisa keluar." Lyodra mulai panik, ia pikir akan ada magic di sini. Nyatanya yang ada hanyalah hutan mati dan sekarang mereka tersesat di sini, mereka sama sekali tidak bisa keluar. Bagaimana jika mereka tersesat selamanya? Mereka tidak bisa membayangkan hal itu. Mereka masih ingin hidup, tidak mau mati sia-sia di tempat seperti ini. "Tadi kau menyuruhku tenang, sekarang kau pun sama saja. Ikut panik," ucap Bright. "Diamlah, Bright. Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, aku sedang lelah." Bright hanya mencibir. "Makanya sebelum kau meledekku, pastikan kau pun tak merasakan apa yang aku rasakan. Benar 'kan apa kataku, tempat ini begitu menyeramkan. Menyesal sudah aku ikut kalian memasuki tempat ini, tempat seperti ini. Tidak ada kehidupan yang terlihat, jangan bilang kalau kita nanti akan mati sia-sia di sini? Sungguh menakutkan. Setidaknya kalau aku mati, aku mau dikuburkan dengan layak. Aku tidak mau mayatku hancur begitu saja." Bright bergidik, bayangan menyeramkan itu langsung membuatnya kembali takut. "Bright, kau bisa diam tidak? Jangan menakut-nakuti," ujar Lyodra kesal. "Hei! Aku tidak menakuti-nakuti itu 'kan kenyatannya, aku benar-benar tidak mau mati di sini. Kalau kita tidak segera keluar dari sini, bisa-bisa kita benar-benar akan mati. Di sini tidak ada makanan, tidakkah kalian berpikir kalau kita akan mati tanpa makanan? Tahu aku akan tersesat begini, aku akan membawa banyak makanan ke sini. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan aku tidak kelaparan." Ucapan Bright semakin aneh, Lyodra menarik rambut Bright karena kekesalannya sudah tidak dapat dibendung lagi. "Kau ini kalau bicara tidak disaring dulu, mau aku saring pakai jaring ikan mulutmu itu? Menyebalkan sekali, bisa tidak diam sebentar saja? Aku dan Steve sedang mencari cara agar kita bisa keluar, tapi kau malah membuat rusuh saja." "Auu! Sakit, hei lepaskan tanganmu dari rambutku. Kau menyebalkan sekali!" Disentakkannya tangan Lyodra dari rambutnya, gadis satu ini memang hobi sekali menyiksanya. "Masih mending aku menarik rambutmu bukan mulut lemasmu itu, punya mulut tapi tidak bisa diam. Rasanya kalau di sini ada cabai atau kotoran mau aku masukkan ke dalam mulutmu biar kau diam," ujar Lyodra sambil bergidik. "Sadis sekali kau, sepertinya tidak akan ada orang yang mau denganmu kalau begitu caranya. Beruntung kau di sini, tidak ada lagi gadis yang jahat seperti kau lagi. Kalau kau mati 'kan kau tidak akan menikah dan laki-laki yang nantinya mendapatkanmu akan merasa bersyukur karena tidak jadi berjodoh denganmu." Sabar ... sabar .... sabar, Lyodra. Abaikan Bright si mulut lemas yang tidak punya tata krama itu. "Kalau aku mati, kau pun akan mati. Jadi, tidak akan ada laki-laki menyebalkan sepertimu lagi dan gadis yang tidak jadi berjodoh denganmu akan merasa senang. Lagipula siapa yang mau menjadikanmu suami mereka? Sepertinya tidak ada karena kau itu memiliki mulut yang tidak disekolahkan, tidak ada akhlak sekali. Huh, beruntung kau sebentar lagi ikut mati." Lyodra tak mau kalah, ia membalas semua perkataan Bright tak kalah pedas. "Kau ...." "Sampai kapan kalian akan bertengkar?" Pertanyaan Steven menginterupsi dua orang yang sedang bertengkar itu. "Lyly duluan yang memulai, Steve. Aku hanya membalas karena aku tidak mau kalah dengannya," ujar Bright membuat Lyodra mendelik. Siapa yang memulai siapa yang disalahkan? Dasar laki-laki menyebalkan. "Steve, tidakkah kau tadi mendengar siapa yang memulai duluan? Sudah jelas-jelas Bright yang memulai. Dia yang cari masalah denganku." Lyodra tidak mau kalau ia disalahkan karena memang itu 'kan bukan kesalahannya. "Jujur aku lelah mendengar perdebatan aneh kalian, tidak bisakah kalian duduk tenang? Aku sedang berpikir dan aku tidak bisa berpikir kalau kalian terus saja berisik. Daripada kalian meributkan hal yang tidak penting, lebih baik kalian duduk di sampingku. Mari kita memikirkan jalan keluarnya," ujar Steven. "Baik, Steve." Lyodra dan Bright duduk di sebelah kiri dan kanan Steve yang sudah duduk terlebih dulu saat keduanya tadi berdebat. "Aku tidak menyangka kalau ruang rahasia itu akan membawa kita ke tempat ini, aku minta maaf pada kalian karena aku sudah membawa kalian ke situasi seperti ini. Aku benar-benar menyesal, karena rasa penasaranku kalian ikut terjebak di sini dan sekarang kita tidak tahu bagaimana akan keluar." Steven berbicara, nada suaranya terdengar penuh sesal. "Tidak perlu meminta maaf, Steve. Kau tidak salah, yang mau ikut kami. Kau sama sekali tidak memaksa, jangan merasa bersalah. Sekarang yang harus kita lakukan adalah mencari jalan keluar dari sini." Steven mengangguk hingga mereka bertiga berpelukkan atas nama persahabatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN