3. Steven's Enemy

1752 Kata
Semua kunci sudah mereka kumpulkan menjadi satu, tinggal satu langkah lagi menuju ruangan rahasia itu. Hari masih siang dan keadaan kampus sedang ramai-ramainya, tidak mungkin mereka ceroboh dengan masuk sekarang. Bisa-bisa mereka tertangkap basah dan terkena hukuman, seperti kemarin-kemarin mereka memilih pergi ke perpustakaan kampus itu tepatnya ke ruangan rahasia saat malam saja. Di mana tidak ada seorang mahasiswa pun yang akan datang ke kampus, mungkin jika ada hanya penjaga kampus dan beberapa dosen saja termasuk Mister Reind. Sampai sekarang rasa penasaran Steven, Lyodra dan Brighteen masih membumbung tinggi, mereka tidak akan pernah berhenti penasaran sebelum ruangan rahasia itu terbuka. Steven tidak bisa fokus pada mata kuliah yang Miss Lyin sampaikan, raganya ada di dalam ruangan, tetapi pikirannya jauh entah ke mana. Berkali-kali Lyodra maupun Brighteen menegur Steven, tetapi Steven masih terfokus pada pikirannya. Hingga ketika Miss Lyin yang menegurnya, barulah Steven berhenti memikirkan hal itu. Ia harus bersabar, malam sebentar lagi akan tiba dan ketika malam tiba maka semua rasa penasarannya akan terjawab sudah. Tinggal menunggu beberapa jam, itu tidaklah lama. Lyodra yang melihat tangan Steven tak henti-hentinya mengetuk di meja pun hanya menggeleng, berteman lama dengan Steven dan Brighteen membuat Lyodra menjadi paham sifat masing-masing dari kedua sahabatnya itu. Si Steven dengan rasa keingintahuan yang tinggi dan Brighteen yang begitu penakut. "Sabarlah, Steve. Malam tidak terlalu lama kok," bisik Lyodra pada Steven. "Iya aku tahu, cuma aku merasa tak sabar saja. Kau juga begitu 'kan?" Lyodra mengangguk, ia memang tak sabar ingin memasuki ruang rahasia itu. Namun ia tidak seperti Steven yang selalu memikirkannya, ada saatnya mereka akan ke sana. Steven memang begitu, Lyodra hanya bisa meminta agar Steven sabar. BRAKK Sebuah gebrakan meja membuat semuanya terperanjat, Brighteen yang sedang enak-enakan tidur pun terbangun. Brighteen mengerjapkan kedua matanya, ia semakin bertambah terkejut ketika melihat Miss Lyin berdiri di hadapannya. Dari raut wajahnya terlihat sekali kalau Miss Lyin marah padanya, Brighteen meneguk ludahnya susah payah. Habislah ia, mengapa tadi ia harus merasa mengantuk? Sekarang bagaimana kalau Miss Lyin menghukumnya? Ia tidak mau dihukum. Sedangkan Lyodra dan Steven hanya bisa menggeleng, bisa-bisanya tadi Brighteen tidur, padahal Brighteen sudah tahu kalau kini yang tengah mengejar merupakan dosen killer, pikir mereka heran sekaligus kasihan bagaimana nasib Brighteen setelah ini. "Kau ini! Enak-enakan tidur di saat dosen sedang menjelaskan, memangnya kau pikir ini kampus nenek moyangmu apa!?" Brighteen refleks memejamkan matanya ketika mendengar teriakan membahana itu. "Sorry, Miss. Aku tak sengaja," ujar Brighteen penuh sesal. Miss Lyin mendengkus keras, sepertinya ia tidak terima dengan permintaan maaf Brighteen. "Seenaknya saja kau meminta maaf heh!? Bukankah semua mahasiswa sudah tahu bagaimana peraturan saya sebelum mengajar!? Tidak ada yang boleh tidur, tidak ada yang boleh makan ataupun minum baik itu permen atau air putih, tidak ada yang boleh mengobrol dan tidak ada yang boleh bermain handphone. Dan kau melanggar salah satu peraturanku." Brighteen itu penakut, ketika ia mendapat pelototan dari Miss Lyin ia meneguk ludahnya kasar, matanya melirik ke arah Steven dan Lyodra yang hanya diam. Inginnya ia meminta tolong, tetapi hal itu pasti membuat Miss Lyin akan semakin marah padanya. "Aku benar-benar meminta maaf, Miss. Aku tak sengaja, sungguh. Tolong maafkan," pinta Brighteen. "Baik, Miss akan maafkan." Brighteen sudah merasa senang dengan persetujuan Miss Lyin. "Tapi bukannya semua tahu aku tidak akan memaafkan seseorang dengan mudah? Kamu akan dimaafkan, asal bantu Miss dalam mengerjakan semua soal-soal di depan." Tak jadi sepertinya Brighteen merasa lega. "S-sekarang, Miss?" tanyanya. "Ya iya sekarang! Tak mungkin Miss meminta kamu maju tahun depan! Cepat lakukan!" Akhirnya dengan langkah ragu, Brighteen maju ke depan. Kini Brighteen berdiri di depan papan tulis, ia bingung apa yang akan ia tulis karena sebenarnya ia tadi tak terlalu menyimak penjelasan dari Miss Lyin. Brighteen menoleh ke belakang, tepatnya ke arah Lyodra dan Steven. Matanya mengedip pertanda kalau ia butuh bantuan, sayangnya Miss Lyin melihat itu. Dosen muda itu pun langsung menghampiri Brighteen, ia memukul kepala Brighteen menggunakan buku di tangannya hingga membuat Brighteen mengaduh sakit. "Apa yang kau lihat, hah!? Kerjakan saja soal di depan, tidak boleh ada yang membantumu. Kau harus mengerjakannya sendiri," ujar Miss Lyin sambil mendelik. "T-tapi, Miss ...." "Tidak ada tapi-tapi, kau harus bisa mengerjakannya. Kau sudah menjadi mahasiswa bukan lagi anak sekolahan yang harus dibantu dengan teman, selesaikan sendiri soal itu." Miss Lyin duduk di kursinya sambil terus memperhatikan Brighteen. "Steve, bagaimana ini? Apakah kita perlu membantu Bright?" tanya Lyodra pada Steven. "Iya, kasihan Bright kalau kita tak membantunya." Lyodra mengangguk, mereka pura-pura sibuk dengan catatan mereka yang pada dasarnya adalah jawaban dari semua pertanyaan yang ada di papan tulis. "Bright!" panggil Lyodra pelan, Bright melirik ke arah Miss Lyin yang ternyata sibuk dengan buku di tangannya kemudian kini beralih pada Lyodra yang menunjukkan secarik kertas berisi jawaban semua soal yang membuat kepalanya pusing. Lyodra mulai membuka kertas itu, ketika terbuka Bright bisa melihat dengan jelas apa yang tertulis karena Lyodra yang menuliskannya dengan huruf besar dan menggunakan tinta yang tebal. Tanpa membuang banyak waktu lagi, Bright mulai menyalin jawaban Lyodra ke papan tulis. "Miss, semuanya sudah dijawab." Miss Lyin yang awalnya sibuk dengan bukunya pun berdiri, ia menatap ke arah papan tulis yang ternyata semua soal sudah dijawab oleh Brighteen dan bahkan semuanya benar. "Mengapa semua jawaban benar?" tanya Miss Lyin merasa heran, pasalnya tadi Brighteen nampak keberatan dan gugup ketika ia minta menjawab semua soal itu. "Tentu saja benar, Miss karena aku mendengarkan penjelasan Miss dengan seksama," jawab Brighteen penuh percaya diri, Lyodra yang mendengar itu hanya mendengkus. Kalau bukan karena bantuannya, Bright pasti tidak akan bisa menjawab semua pertanyaan itu, memang dasar Brighteen suka begitu. "Bukannya saat Miss menjelaskan kau tadi tidur?" tanya Miss Lyin lagi penuh selidik antara tak yakin mengapa brighteen bisa menjawab dengan cepat dan semua jawaban benar. "Aku tidurnya tadi hanya sebentar, Miss." Brighteen menyengir. "Ya sudah sana kembali ke tempatmu, lain kali jangan tidur di kelas Miss lagi. Kalau sampai kembali terulang, Miss tidak akan meminta kau mengerjakan soal, tetapi Miss akan minta kau membersihkan toilet keramat kita!" Ancaman yang begitu mengerikan, toilet keramat konon dihuni oleh banyaknya arwah mahasiswa yang tewas, Brighteen mana berani masuk ke sana. "Iya, Miss. Aku janji tidak akan mengulangi lagi," ucap Brighteen kemudian bergegas duduk kembali ke tempatnya sebelum Miss Lyin kembali menceritakan toilet keramat itu. "Tidak ingin mengucapkan terima kasih padaku, hmm?" tegur Lyodra pada Brighteen. "Hmm, terima kasih," ujar Brighteen singkat. "Hei, tidak ikhlas sekali kau berterima kasih. Berterima kasihlah yang benar, atau kau mau aku katakan yang sebenarnya pada Miss Lyin?" ancam Lyodra yang tak terima dengan kata terima kasih Brighteen yang sepertinya tidak ikhlas. "Ancamanmu menyeramkan sekali, jangan pernah katakan yang sebenarnya atau kita akan dikurung bersama di toilet keramat itu." Brighteen sudah takut kalau-kalau Lyodra mengatakan yang sebenarnya. "Makanya mengatakan terima kasih itu yang benar." "Baik, aku sangat berterima kasih pada sahabatku yang baik sekali ini, yang cantik dan pintar. Sekali lagi terima kasih, apa kau puas sekarang?" Lyodra mengangguk mantap sekaligus tersenyum geli. "Iya, tentu aku sangat merasa puas. Lain kali begitulah kalau kau ingin mengatakan terima kasih pada orang." Brighteen hanya mendengkus keras, ia tahu kalau Lyodra hanya mengerjainya. Namun ancamannya tadi membuatnya takut, sepenakut itu memang dirinya. Waktu mengajar Miss Lyin sudah selesai, akhirnya mereka bisa terbebas dari dosen muda nan killer itu. Steven, Lyodra dan Brighteen berjalan bersisian sambil mengobrol, mereka tak menyadari kalau di depan mereka ada sekumpulan orang yang salah satunya adalah musuh bebuyutan Steven. Hingga ketika mereka melewati sekumpulan orang itu, kaki Steven seperti terjungkal hingga akhirnya Steven terjatuh. BRUK! "Steve, kau tidak apa?" Lyodra membantu Steven berdiri. "Iya aku tidak apa-apa," jawab Steven. Lyodra yang melihat siapa yang melakukan itu pada Steven pun marah, ia menatap ke arah sekelompok orang itu. Tepatnya pada seorang laki-laki yang sudah membuat Steven terjatuh, ia tidak terima Steven diperlakukan seperti itu. "Hei kau! Apa maumu hah!?" Dengan berani, Lyodra menarik kerah baju laki-laki itu. "Wah apa ini? Santai saja." Laki-laki itu menaikkan kedua tangannya di atas kepala, ia menatap Lyodra sambil tersenyum seakan ia. tak pernah melakukan apa-apa. "Kau yang apa hah!? Ada masalah apa kau dengan Steve? Berani-beraninya kau menendang kaki dia hingga terjatuh!" Laki-laki bernama Rionel yang tak lain adalah musuh bebuyutan Steven pun melepaskan cengkraman tangan Lyodra dari kerah bajunya dengan pelan. "Masalahku dengannya, mengapa kau yang ikut campur? Dia saja tidak merasa keberatan," ujar Rionel tak merasa takut dengan gertakan Lyodra. "Ly, sudahlah. Jangan diperbesar," tegur Steven sambil menarik lengan Lyodra. "Aku tidak bisa diam saja, Steve. Dia harus diberikan pelajaran, seenaknya saja dia mengganggumu," ucap Lyodra. "Dasar dianya saja yang lemah, buktinya meminta pembelaan dari seorang wanita. Dasar lemah!" Lyodra semakin geram ketika mendengar itu. "Memangnya kenapa hah kalau aku membelanya? Ada yang salah!? Kau justru yang harusnya malu, kau beraninya pada kami, huh dasar penakut." Rionel yang mendengar itu pun tersulut emosi. "Penakut katamu!?" Rionel akan mencengkram pergelangan tangan Lyodra, tetapi dengan cepat Steven berdiri tepat di antara keduanya. "Hei, Bung! Tidakkah kau merasa malu? Kau bertengkar dengan seorang wanita dan kini banyak pasang mata yang melihatmu dengan tatapan aneh." Mendengar itu, Rionel menatap ke sekelilingnya. Benar apa yang dikatakan Steven banyak pasang mata yang melihat ke arahnya. Rionel menatap ke arah Steven dan Lyodra penuh dendam sambil mengepalkan tangannya erat, ia tidak terima. "Ayo kita pergi!" ajaknya pada kumpulan anak buahnya. "Kau ini ya? Suka sekali cari masalah," ujar Steven sambil menepuk pelan kepala Lyodra. "Dengar itu, kau ini memang suka sekali mencari masalah. Untung saja Rionel tadi kabur, jika tidak aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kita." Brighteen menimpali. "Heh, bukan aku yang mencari masalah duluan, tapi dia. Tidakkah kalian tadi melihat sendiri apa yang dia lakukan? Kau juga, kenapa harus takut padanya hah? Dia hanya seorang mahasiswa biasa, bukan anak monster yang harus kita takuti." Lyodra memukul pelan lengan Brighteen. "Musuhmu itu memang aneh, Steve. Suka sekali mengganggu, kadang aku bingung mengapa kalian bisa bermusuhan? Aneh sekali, karena setahuku kau tidak pernah mencari masalah dengannya." Steven tersenyum, ada satu rahasia yang tidak diketahuinya oleh Brighteen dan Lyodra yaitu alasan mengapa kini Rionel memusuhinya. Yang tahu alasannya hanya dia dan Rionel saja, selebihnya mereka memilih menutup rapat-rapat mulut mereka mengenai alasan itu. "Yuk, lebih baik kita pulang. Bukankah kita harus mempersiapkan semuanya untuk nanti malam?" Steven lebih memilih mengalihkan pembicaraan. "Ah kau benar, ayo kita segera pulang! Aku pun juga tak sabar menunggu malam tiba." Akhirnya mereka berjalan bersisian untuk pulang, mereka tak sabar menunggu malam tiba agar mereka bisa pergi ke ruang rahasia itu. *** Up lagi .... Cerita ini insyaallah akan menemani kalian setiap hari mulai hari ini dan sampai dua bulan ke depan, semoga semangat bacanya ya ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN