Motor Danna memasuki kawasan perumahan yang dibeli Shireen dan Danna, mereka memang mengambil perumahan ini karena letaknya tak terlalu jauh dari tempat mereka kerja. Rumah yang rencananya dikredit selama lima belas tahun dengan cicilan flat ini membuat Shireen dan Danna yang memang berniat melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan bergegas melakukan akad kepemilikan atas nama Danna.
Meskipun uang muka yang diberikan cukup besar, namun tak mengapa? Toh mereka memiliki uang untuk itu. Shireen dan Danna sama-sama memberikan lima puluh persen untuk uang muka. Dan katanya bulan ini rumah itu telah selesai dibangun, karenanya bulan depan mereka bisa menikah dan menempati rumah itu.
“Ngapain Danna ke sini? Dan benar itu Danna? Ketutupan cewek itu sih,” gumam Shireen meskipun detak jantungnya berpacu tak menentu.
“Stop, Ren, jangan diikuti terlalu dekat, kalau memang itu Danna pasti dia ke rumah kalian,” ujar Ayana. Shireen menghentikan motor di dua blok sebelum rumah mereka. Hampir semua rumah sudah jadi, bahkan ada beberapa yang sudah ditempati.
Untuk rumah Shireen dan Danna sendiri memang sudah jadi, hanya saja baru ditaruh satu kasur lantai karena Danna terkadang menginap di sini sambil merenovasi sedikit-sedikit.
Setelah lima menit, mereka kembali melajukan motor menuju blok rumah yang diambil Shireen. Benar saja motor Danna terparkir di garasi yang belum diberi pagar itu.
Shireen menghentikan motor di rumah sebelahnya. Dia menoleh pada Ayana yang mengangguk dan mengusap bahunya.
“Bagaimana kalau itu benar Danna?” tanya Shireen sambil meringis.
“Ya kita harus periksa dulu, kalau itu Danna, kita labrak aja sekalian!” ujar Ayana geram.
“Tapi sama siapa dia?” ringis Shireen.
“Entah, ayo kita lihat,” tutur Ayana.
Mereka berjalan pelan menuju rumah tersebut, hari sudah petang ketika mereka berjinjit di depan rumah tersebut. Lampu kamar menyala, tirai belum dipasang sehingga pemandangan dalam rumah terlihat jelas. Dengan merasakan degup jantung yang berpacu cepat. Shireen dan Ayana merapatkan tubuh ke dinding yang membatasi kamar itu. Mereka berjongkok dan mengintip dari jendela.
Tampak pria yang sangat Shireen kenal tengah memeluk seorang wanita yang membelakangi mereka. Keduanya segera berjongkok ketika menyadari orang di dalam memalingkan wajah ke arah luar.
“Ada apa, Sayang?” suara seorang wanita terdengar dari dalam.
“Enggak, sepertinya ada kucing lewat,” jawab Danna.
“Ini hari terakhir kita bersama ya? Kenapa sih kamu masih tetap ingin menikahinya? Kan sudah ada aku yang bisa memuaskan kamu kapan pun? Sementara dia, dicium aja kebanyakan nolaknya, apalagi diajak berhubungan seksual?” rutuk wanita itu, Shireen rasanya mengenal suara itu. Lalu dia kembali mengintip dan matanya memanas ketika menyadari bahwa wanita yang lehernya tengah dicumbu oleh Danna adalah Steffani. Sahabatnya!
“Ah, kebawah Sayang, kita nikmati sore ini,” ujar Steffani. Danna melucuti pakaian Steffani, membuat wanita itu tak berbusana, dia mengecup gunung kembar Steffani dan terus turun menuju liang gairahnya. Dia menghisapnya membuat Steffani melenguh dan menekan kepala Danna lebih masuk, dia bahkan mengangkat sebelah kakinya ke bahu Danna.
Shireen menutup mulutnya dan berjongkok di samping Ayana sambil menangis, menahan tangisannya. Ayana memeluknya erat.
“Kita pulang atau mau labrak dia?” bisik Ayana.
“Ah masukkin, Sayang sekarang, ayo cepat, enggak kuat!” gumam Steffani.
“Jangan keras-keras bicaranya, nanti ada yang dengar,” ucap Danna.
“Kamu bilang belum ada yang nempati rumah-rumah di sekitar sini kan, ah ayo jangan pakai pengaman!”
“Enggak ah, aku enggak mau ambil resiko, sabar ya Sayang,” tutur Danna.
Shireen benar-benar tak kuat lagi, dia pun berdiri dan mendorong kasar pintu depan, lalu dia menendang pintu kamar. Tepat ketika Danna sedang memompa tubuh Steffani, keduanya menoleh ke arah pintu kamar dengan mata membelalak.
“Bagus! Teruskan biar aku tonton!” ujar Shireen. Ayana ikut berlari dan berdiri dengan mata terbuka lebar di belakang Shireen.
“Astaga Tuhan! Amit-amit jabang bayikkk! Mata ku ternoda ampuni aku Tuhan!” ujar Ayana, lalu membalikkan tubuhnya tak mau melihat pemandangan seperti adegan film blue di hadapannya.
Danna segera berdiri sementara Steffani menarik sarung di dekat mereka dan menutupi tubuhnya.
“Ren, aku bisa jelasin,” ucap Danna.
“Mau jelasin atau mau nunggu kamu sampai selesai!” ujar Shireen melihat keperkasaan calon suaminya itu yang semula mengeras mendadak ciut.
Danna mengambil celana pendeknya.
“Steff, gue enggak nyangka elo lakuin ini ke gue! Elo jahat Steff!” ujar Shireen. Ayana sudah keluar lebih dahulu, berdoa agar dia tak terkena dosa dari apa yang dilihatnya.
Danna memegang tangan Shireen dan Shireen menghempaskannya. Dia menampar pipi Danna sangat kencang, Danna memegang pipinya, dan karena terlalu kesal, Shireen pun menendang kejantanan pria itu hingga Danna mengaduh dan terjatuh.
“Ku doain impoten kamu selamanya!!!” geram Shireen sambil pergi.
Dia menyalakan motor dan meminta Ayana segera naik, lalu motor itu melaju cepat, lebih cepat dari sebelumnya hingga Ayana terus berkomat-kamit membaca doa.
***
Shireen mengantar Ayana sampai depan gerbang perumahannya. Ayana turun dari motor lalu memegang tangan Ayana.
“Menginap di rumah saja ya,” ajak Ayana. Shireen menggeleng sambil menangis.
“Aku pengen sendirian,” ucap Shireen.
“Jangan sendirian, aku temenin deh,” ucap Ayana yang ikut menangis, dia sangat sedih melihat sahabatnya menderita seperti ini. Dia tahu betapa besar cinta Shireen untuk Danna. Bahkan tabungannya sudah habis untuk rumah itu. Kini rumah itu justru dijadikan tempat berzina yang membuatnya pasti sangat sakit.
“Enggak, aku butuh sendiri, tenang aja aku enggak akan berbuat hal bodoh, aku masih mau hidup. Aku cuma mau keliling-keliling sebentar,” tutur Shireen.
“Kalau kamu butuh aku, kamu telepon aku ya, aku pasti datang.”
“Makasih ya, kamu selalu baik sama aku, tapi aku benar-benar ingin sendiri,” tutur Shireen. Ayana tak bisa melarang Shireen karena dia tahu Shireen pasti sedang sangat sedih. Motor itu pun melaju meninggalkannya. Ayana menenteng paper bag berisi rotinya dengan kepala masih memakai helm.
Ketika seorang petugas keamanan naik sepeda menghampirinya.
“Mau bonceng, Non? Sayang helmnya enggak kepakai kalau jalan kaki,” ujarnya membuat Ayana mendengus.
“Mending juga jalan, lagian enggak apa-apa safety!” cibir Shireen. Petugas keamanan itu tertawa dan tak sengaja ban sepedanya menginjak batu dan membuatnya terjatuh.
“Tuh kan! Lain kali pake helm!” cibir Ayana sambil terus berjalan meninggalkan pria yang jatuh duduk sambil mengusap kepalanya itu.
***
Shireen mengemudikan motor tak tentu arah, dia kemudian memasuki perumahan mewah dan mengaguminya. Rumah-rumah itu membuatnya bermimpi jika dia bisa menempati salah satu saja. Tiba-tiba kilat terlihat diiringi suara gemuruh petir, dan hujan deras turun.
Shireen awalnya membiarkan dirinya terkena hujan lalu dia ingat dia membawa roti, tak mau rotinya basah, dia pun menepi. Ke rumah dengan gerbang hitam yang ada di depannya. Syukurlah atapnya mampu menghalau hujan deras. Dia memeluk paper bag berisi roti dan turun dari motor, menempel di gerbang itu. Dia memegang gerbang tersebut sambil memperhatikan rumah yang terlihat sangat hangat itu.
Besarnya dua kali lipat dari rumah miliknya, ah pasti rumah itu akan ditempati Danna dan Steffani nanti. Pantas saja ketika dia ke rumah Danna bersama Steffani, orang tua Danna menyambut hangat Steffani, beda dengan Shireen yang sering diperlakukan dingin. Mungkin mereka memang merestui anaknya dengan Steffani yang punya orang tua lengkap?
Shireen membayangkan seandainya dia memiliki rumah ini, mungkin sakit hatinya akan berkurang, dia ingin membuktikan bahwa dia pun bisa memiliki rumah, hal yang menjadi cita-citanya sejak kecil. Karena itu ketika Danna menawarkan untuk mengambil perumahan, dia sangat senang dan tak berpikir dua kali untuk menerima tawaran itu, terlebih dia sangat mencintai Danna.
Kini ... semua hanya tinggal mimpi! Danna berlutut pun dia tak sudi kembali dengannya!
Shireen terus menempelkan wajah di gerbang itu, hingga dia tak menyadari seorang pria dari balik tirai memperhatikannya sejak lima menit lalu.
Pria itu melihat jam tangannya, sudah pukul sembilan malam. Mengapa wanita itu masih berdiri di depan rumahnya? Apa dia tidak membawa jas hujan?
Pria itu pun keluar dari dalam rumah dan membawakan jas hujan.
“Hai,” sapa pria tinggi berhidung mancung itu. Sorot matanya terlihat lembut dan bibirnya tampak agak pucat, atau mungkin memang warnanya yang merah muda? Shireen masih melamun hingga menyadari pria yang berdiri di hadapannya.
“Ah maaf, saya numpang neduh,” ucap Shireen sambil menyeka air di pipinya.
“Kamu enggak bawa jas hujan?” tanya pria yang memakai piyama tidur itu. Shireen pun teringat di box motornya dia memiliki jas hujan. Namun dia tak mungkin bilang kalau dia punya, sedangkan sudah hampir setengah jam dia berdiri di sini.
“I-iya enggak bawa,” ucap Shireen. Pria itu tersenyum manis dan membuka gerbang rumahnya, Shireen melangkah lebih dalam.
“Pakai saja,” ucap pria itu.
“Nanti saya kembalikan,” tutur Shireen.
“Iya santai saja, sini saya bantu pegang paper bagnya,” ucap pria tampan itu.
“Terima kasih,” jawab Shireen yang sudah kepalang berbohong.
“Mas sudah nikah?” tanya Shireen sambil memakai celana jas hujan berwarna navy itu.
“Belum, kenapa?” tanya pria itu ramah.
“Mau nikah?” tanya Shireen.
“Belum ada calonnya,” kekeh pria itu.
“Sama saya mau? Nama saya Shireen,” ujar Shireen setelah berhasil mengancingkan jas hujan tersebut, dia mengulurkan tangan untuk berkenalan.
“Gyandra. Kamu lucu banget, baru juga lihat sekali sudah ngajak nikah,” ucap Gyandra yang membalas jabatan tangan Shireen sambil tertawa.
“Mas, ini rumah sendiri kan?” tanya Shireen seolah mengalihkan pembicaraan. Gyandra menoleh ke rumahnya dan mengangguk.
“Mau nikah?” tanya Shireen sekali lagi membuat Gyandra benar-benar memuntahkan tawanya. Hingga jamnya berbunyi dan terlihat tanda love yang merah menyala.
“Tuh kan jamnya aja sudah ngasih tahu kalau mas jatuh cinta sama saya, ayo nikah aja,” ucap Shireen. Gyandra masih terkekeh dan menyembunyikan jam tangannya.
“Nih rotinya,” ujar Gyandra ketika menyadari paper bag yang sejak tadi dipeluk itu berisi roti.
“Jadi enggak mau nikah sama saya?” tanya Shireen yang sepertinya sudah kehilangan akal sehatnya. Gyandra tampak berpikir dan menggeleng.
“Ah cepat banget nolaknya,” sungut Shireen, lalu dia mengambil dua roti dan menyerahkan ke Gyandra.
“Besok malam saya kembalikan jas hujannya, kabari kalau mas berubah pikiran dan mau menikahi saya ya, ini roti buat mas. Terima kasih banyak,” ucap Shireen. Gyandra mengambil roti itu dan memegangnya. Shireen kemudian ke arah motor, dia mengambil plastik dari box motor dan memasukkan paper bag roti dalam plastik, lalu dia melajukan motor itu, meninggalkan Gyandra yang masih berdiri di dekat gerbang sambil memperhatikan kepergian gadis itu.
Ponselnya berbunyi dan dia melihat nama pemanggil yang merupakan ibunya.
“Hai Ma,” sapa Gyandra.
“Sudah minum obat, Sayang?” suara diseberang sana terdengar lembut. Gyandra menutup gerbang dan menguncinya.
“Belum, ini baru mau minum obat.”
“Jangan telat dong Sayang, besok jadi kontrol jantung kamu kan?”
“Jadi, Ma. Ehmm Ma, menurut mama bagaimana kalau aku menikah?” tanya Gyandra sambil memperhatikan botol obat khususnya.
“Menikah?” tanya ibunya, lalu keadaan hening.
“Mama kok diam? Aku sepertinya ingin menikah Ma, meski hanya sebentar, aku ingin merasakan punya istri sebelum aku meninggal,” kekeh Gyandra.
“Nak, kematian bukan lelucon! Kalau kamu mau menikah ya menikah saja! Mama dan papa akan merestui kamu. Mama yakin kamu akan panjang umur jika punya istri. Oke! Mama tutup!” ujar ibunya dengan suara bergetar.
Gyandra yakin ibunya pasti menangis. Dia mengambil obat dalam botol itu dan meminumnya. Lalu dia duduk dan menatap ponselnya sambil senyum. Dia akan menantikan hari esok untuk bertemu Shireen lagi. Dia bahkan lupa meminta nomor ponselnya tadi.
***