1. Impian

1799 Kata
Sudah dua minggu, Gyandra, suami dari Shireen pergi ke luar negeri. Dia memang biasa pergi ke luar kota atau luar negeri satu bulan sekali. Namun tidak biasanya dia tidak memberi kabar bagi wanita yang perutnya telah membuncit ini. Shireen tengah hamil delapan bulan, bulan depan harusnya menjadi bulan kelahiran putra pertama mereka yang sangat mereka cintai. Sejak Gyandra pergi ke luar negeri, Shireen merasa sangat cemas. Perasaannya campur aduk. Arumi, ibu dari Gyandra biasanya menemani di rumah, namun sudah seminggu lebih sejak kepergian Gyandra, dia pun tak kunjung datang. Shireen selalu bertanya kabarnya dan hanya dibalas singkat. Pernah dia menelepon Arumi dan terdengar isakan dari seberang sana, lalu Bima, ayah mertuanya yang menerima telepon dan mengatakan bahwa istrinya tengah kurang enak badan sehingga dirawat di rumah sakit di luar kota. Setelah itu Arumi tak pernah menerima panggilan dari Shireen. Sehingga wanita itu hanya bisa menunggu suaminya sambil memunajatkan doa setiap harinya. Dia mencoba membunuh waktu dengan bekerja, dan merajut setiap pulang kerja. Bel rumah berbunyi, Shireen yang tengah merajut itu melihat jam dinding. Astaga sudah pukul sepuluh malam namun dia belum tidur. Dia mengintip dari balik tirai jendela. Tampak seorang pria memakai pakaian serba hitam tengah menunduk memperhatikan sepatunya. “Abang Gyandra?” tanya Shireen menyebut nama suaminya. Keningnya berkernyit, mengapa suaminya tidak masuk saja? Bukankah dia punya kunci rumah dan gembok pagar? Shireen pun membuka pintu, lalu berjalan menuju pagar untuk membuka pagar. Pria itu mendongak menatap Shireen yang tersenyum lebar seraya melompat kecil memeluknya. “Abang, akhirnya pulang juga, adek khawatir tahu enggak sih? Kemana aja? Ih sebel banget. Eh koper abang mana?” tanya Shireen memberondong. Pria yang tidak membalas pelukannya itu hanya berdiri membeku, perutnya terkena perut buncit wanita itu. Ada rasa aneh menyergapnya. Shireen melepas pelukannya dan menangkup kedua pipi suaminya. “Abang, enggak apa-apa kan?” tanya Shireen. Netra mereka saling beradu, manik hitam milik pria itu terlihat membesar, lalu dia berdehem seketika. “A-abang capek,” ujarnya, lalu Shireen tersenyum lagi, memegang lengan suaminya dan mengajaknya masuk. “Wah abang, ganti jam? Lebih bagus kayaknya,” tutur Shireen, “abang mau makan dulu apa mandi dulu? Adek siapin baju ya,” ucap Shireen. Suaminya itu melepas tangan Shireen dengan pelan lalu berjalan seolah menghapal rumah itu. Menuju kamar mereka dan masuk kamar mandi. “Abang pasti capek banget,” gumam Shireen, dia menyiapkan baju untuk suaminya kenakan, dia membuka pintu kamar mandi, pria yang tengah membuka baju itu tampak terperanjat dan melemparkan tatapan nyalang. “Ups maaf, ini baju dan handuknya, kebiasaan sih enggak bawa baju ganti,” kekeh Shireen, dia pun meletakkan baju itu dan keluar dari kamar mandi seraya menutup pintunya. Pria itu melepas celananya dan mengunci pintu kamar mandi, menyalakan kran shower dan membasahi kepalanya. “Gyandra sialan!!!” ujarnya memaki, memukul dinding dan menunduk dalam. Shireen membereskan rajutannya, dia bersenandung riang. Suaminya telah pulang, ah dia lupa memberi kabar pada ibu mertuanya. Pasti ibu mertuanya pun senang. Dia mengambil ponsel dan mengirim pesan pada ibu mertuanya. “Ma, Abang sudah pulang dengan selamat hehehe,” tulis Shireen. Tak lama dia mendapat balasan. “Shireen anakku sayang,” tulis mertuanya yang memang selalu memanggilnya sayang, “jangan tanya apa-apa pada suamimu ya, dia pasti sangat lelah dan habis mengalami hal yang sangat berat, dia mungkin akan sedikit linglung, jangan paksa dia melakukan hal yang biasa dia lakukan ya, Nak. Istirahat yang cukup, makan yang banyak dan vitaminnya jangan lupa diminum, titip salam sayang untuk dede bayi,” sambungnya. Shireen menatap ponsel itu dan tersenyum, dia pun membalas, “iya mama Sayang, selamat malam.” Shireen kemudian menyiapkan wedang jahe kesukaan Gyandra, biasanya jika suaminya pulang larut malam dia akan meminta wedang jahe. Wedang jahe dan biskuit sudah disiapkan oleh Shireen di meja makan, benar dugaannya, suaminya keluar dari kamar seraya menyugar rambut yang basah dengan handuk kecil. Dia duduk di kursi meja makan dan melihat cangkir berisi cairan berwarna cokelat pekat, dia menghirupnya. “Huwekk apaan ini!” tanyanya membuat Shireen yang duduk di seberangnya terkejut. “Wedang jahe kesukaan abang, kok kaget?” “Aish! Tolong buatin kopi,” tuturnya menjauhkan cangkir itu. “K-kopi? Tapi abang enggak suka ngopi, jadi kita enggak punya stok kopi,” ucap Shireen dengan raut ketakutan. Apakah suaminya tengah kesurupan? Dia segera membaca doa dan mengusap perutnya. Suaminya itu hanya meliriknya sekilas. “Duduk yang tenang,” ujarnya dengan suara berat. Suaranya agak berbeda, namun Shireen memaklumi, mungkin memang dia sedang terserang flu. “Ada apa, Bang?” tanya Shireen melihat suaminya yang sepertinya ingin mengucapkan sesuatu. “Dua minggu ini, aku mengalami hal yang berat. Aku harap kamu mengerti kalau kebiasaanku berubah, kata-kataku berubah, atau segalanya. Tapi aku tetaplah aku, jadi jangan takut ya.” “Tapi abang kenapa pakai kata aku dan kamu? Biasanya pakai kata abang dan adek?” ringis Shireen hampir menangis. “Ah iya, maafin abang ya Dek,” ucap suaminya itu. Shireen tersenyum lebar dan menghampiri suaminya, dia memeluknya erat. “Bang, tidur yuk, Adek kangen. Abang enggak mau jenguk dede bayi?” tanya Shireen sambil menggigit bibirnya sensual. Suaminya menatap takjub dengan wanita yang menggelayut manja itu. Dia kini yang dicekam ketakutan! *** Semuanya bermula sejak dua tahun lalu. Shireen Queenza, wanita manis berusia dua puluh dua tahun ini, merupakan karyawan bagian administrasi di PT. Enerson. Perusahaan yang menyediakan bahan untuk membuat bangunan yang cukup modern. Segala macam perbesian, material dari rangka baja ringan, dan lain sebagainya ada di perusahaan yang terdiri dari lima lantai tersebut. Di lantai satu merupakan bagian penjualan dan ada gudang di bagian belakang. Sejak lulus SMA, Shireen sudah bekerja di sana, hingga dia lulus kuliah dia masih bekerja di tempat itu, bisa dibilang dia menjadi anak buah yang cukup disayangi atasan karena kepiawaiannya. Dia tak serta merta menjadi staff kantor, pada awal masuk dia menjadi kasir di lantai satu, lalu ketika dia kuliah dia mulai naik hingga kini menjadi admin bagian penagihan. Shireen memiliki rambut panjang sepunggung, tubuhnya langsing meski terbilang kurus. Warna kulit kuning langsat dan mata yang besar. Hidungnya mungil sama seperti bibirnya. Cukup tinggi untuk ukuran seorang wanita, seratus enam puluh tiga senti meter. Sejak SMA dia sudah mengadu nasib di kota, orang tuanya telah meninggal sejak dia kecil. Dia dirawat oleh neneknya yang juga meninggal ketika dia kelas tiga SMP. Sehingga dia dirawat oleh salah satu kerabat neneknya di ibu kota. Dia tak hanya diberi tempat tinggal, namun juga diberi uang jajan. Namun tetap saja dia merasa tak betah karena semua pekerjaan rumah harus dia kerjakan. Karena itu, setelah lulus SMA dia memilih pindah ke bagian selatan ibu kota, bekerja sambil kuliah. Di SMA itu lah dia mengenal, Ayana. Sahabatnya yang benar-benar sangat baik terhadapnya. Ayana berasal dari golongan keluarga mampu, orang tua Ayana pemilik perusahaan Enerson sehingga dia yang meminta ayah ibunya memasukkan Shireen bekerja di sana. Ayana juga ikut bekerja di perusahaan itu, karena sejak SMA orang tuanya sudah mengajarkan Ayana untuk hidup mandiri. Di kantor dia tak pernah dibedakan dengan karyawan lain, termasuk dengan Shireen meskipun beda jika di luar kantor. Jika Shireen memegang bagian penagihan, maka Ayana memegang bagian keuangan membantu ibunya yang sebelumnya memegang bagian itu. Mata Shireen yang bulat besar sangat beda dengan mata Ayana yang sipit dan kulitnya yang sangat putih karena dia keturunan China-Indonesia. Tubuh Ayana lebih pendek dari Shireen dan pakaiannya jelas lebih terbuka. Meskipun begitu, Ayana adalah wanita paling baik yang pernah Shireen kenal. Pulang kerja, Shireen dan Ayana biasa mampir ke toko roti yang menjual roti dengan diskon tiga puluh persen. Keduanya memang penggila diskon. Perhitungan Ayana benar-benar sangat mantap dan Shireen sering belajar darinya, karena itu sejak kuliah sambil kerja, Shireen sudah memiliki tabungan yang cukup lumayan yang digunakan untuk membayar uang muka perumahan bersama kekasihnya yang bernama Danna. Shireen dan Danna berpacaran sejak tiga tahun lalu, sejak Danna baru lulus kuliah dan bekerja di perusahaan dekat dengan PT Enerson. Shireen dikenalkan dengan Danna oleh Steffani, yang seusia dengannya. Steffani adalah tetangga Shireen di tempat Shireen tinggal dulu. Sehingga mereka cukup dekat, dan Steffani bekerja di perusahaan yang sama dengan Danna. “Sepuluh menit lagi,” tutur Ayana sambil melihat jam tangannya. Mereka menghitung waktu hingga karyawan toko mengeluarkan papan bertuliskan diskon tiga puluh persen. “Hmmm kita kecepatan jalannya,” tutur Shireen melirik motor yang baru saja lunas itu di parkiran. Lihat kan? Dia tak hanya bisa membiayai kuliahnya sendiri, namun juga bisa membeli motor dan patungan membayar uang muka rumah dengan kekasihnya. “Kamu terlalu ngebut sih,” celetuk Ayana seraya membetulkan kaca matanya membuat Shireen tertawa. Seorang karyawan toko membawa papan diskon dan meletakkan di depan toko. Shireen dan Ayana membulatkan mata dan berjalan cepat menuju rak kue itu. “Haduh kalian lagi,” celetuk karyawan pria yang cukup tua itu. “Haha sampai hapal si Mamang,” ujar Shireen yang diangguki oleh Ayana, mereka langsung mengambil baki dan mengisi dengan roti-roti. “Yang itu enggak diskon,” celetuk Mamang karyawan tersebut. “Yah, padahal ini enak,” sungut Shireen seraya meletakkan roti yang dia taruh tadi di baki. “Ya sudah ambil, nanti pakai diskon kartu karyawan Mamang,” ujar karyawan itu ramah membuat Shireen kembali meletakkan roti itu di bakinya. “Buat saya diskon juga, Mang?” tanya Ayana. “Ini lagi anak engkoh! Minta diskon,” sungut Mamang membuat Ayana mendengus, memang toko roti itu berada tak jauh dari PT Enerson sehingga mereka saling mengenal. “Yaelah Mang, masa Shireen aja yang dapet diskon,” cibir Ayana. “Ya sudah ambil deh, satu aja.” “Tiga ya?” “Satu atau enggak usah sekalian?” celetuk Mamang membuat Shireen tertawa. “Mang, goceng doang pelit amat,” ujar Ayana. “Lha elu dapet potongan goceng aja mata sampe melotot dari tadi,” ujar Mamang tak mau kalah, lalu mereka justru tertawa setelahnya karena menyadari kepelitan mereka. Setelah membayar roti-roti itu, Ayana dan Shireen keluar dengan senyum puas, mereka membawa paper bag berisi roti tersebut. “Banyak banget?” tanya Ayana melihat Shireen yang tak biasanya membeli banyak roti. “Buat calon mertua,” kekeh Shireen. “Cieee, oiya jadi akhir bulan kalian lamaran?” tanya Ayana. “Jadi dong, ibu dan ayah mas Danna mulai baik ke aku,” tutur Shireen. “Syukurlah aku ikut senang dengernya, ayo kita balik ke kost kamu,” tutur Ayana. Shireen duduk di motor maticnya dan memakai helm, begitu pula Ayana duduk membonceng Shireen. Mereka jalan sambil ngobrol hingga tak sengaja melihat motor lain yang sangat Shireen kenal. Motor Danna! Mengapa motor Danna melewati tempat itu? Dan siapa yang diboncengnya? Roknya sangat pendek dan duduknya nempel banget? Apa motornya dipinjam temannya? “Ren, itu Danna kan?” tanya Ayana. Shireen mengeraskan cengkaram di stang motor. “Kita ikuti sebentar ya!” ujar Shireen yang memacu kecepatan mengejar motor itu. Ayana memeluk Shireen erat. Satu sisi takut jatuh, satu sisi penasaran! ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN