Keesokan hari kemudian ....
Ferdi bangun dengan tubuh yang segar bugar dan sangat semangat, padahal dia semalam tidak makan pun. Kalau dipikir-pikir Ferdi kemarin hanya makan satu kali, yaitu Soto Betawi dan terburu-buru saat menyantap. Hari Ini dia mengira kalau pertama kalinya membuka mata dengan keadaan rumah sudah tertata rapi serta sarapan sudah tersedia karena ada empat pekerja di rumahnya yang sangat besar dan mewah. Tentu saja hal itu membuat Ferdi senang dan juga bangga, padahal dia belum turun untuk melihat secara langsung. Segala kemudahan dan harta kekayaan yang dia miliki secara instan itu membuat Ferdi merasa bahwa memang pepatah roda pasti berputar adalah benar.
“Selamat pagi dunia! Mandi dulu, ah, seger!” kata Ferdi yang merenggangkan kedua tangannya ke atas lalu ke samping kanan dan kiri. Kemudian langsung bergegas bangkit dari ranjangnya untuk ke kamar mandi.
Hari ini Ferdi sudah memiliki segudang rencana untuk dijalani. Pertama, dia akan membeli pakaian-pakaian bermerek mahal dengan berbagai jenis yang akan digunakan sehari-hari maupun saat bepergian. Kedua, dia akan membeli sepatu dan juga berbagai keperluan lain seperti jam tangan maupun kacamata yang keren. Ketiga, dia berencana untuk mencari tempat yang strategis untuk membuka bisnis. Entah apa bisnis yang akan direncanakan Ferdi masih memikirkan masa-masa karena hal itu menjadi kedok dari segala kekayaan yang dimiliki olehnya, jadi usaha itu harus maju pesat dengan cepat.
Ferdi melepas pakaian satu per satu dan segera mandi dengan bersih dan cepat karena hari ini jadwalnya sangat padat. Dia kemudian keluar dari kamar mandi serta mengeringkan badannya dan menggunakan pakaian casual untuk pergi ke beberapa tempat sekaligus nanti. Tentu saja Ferdi akan diantar oleh Pak Jono sebagai sopir pribadinya yang juga hendak menemani dia berbelanja di dalam mall.
Lelaki itu pun keluar dari kamar sambil bersiul dan berjalan perlahan menuruni anak tangga menuju ke ruang makan. Terlihat jelas lantai baru saja selesai di pel dan juga semua area rumahnya terlihat bersih. Ferdi yakin kalau Bu Jainun pasti sudah memasak sesuatu dirinya.
“Pagi, Bu Jainun! Masak apa sekarang?” sapa Ferdi yang langsung dengan gesit duduk di kursi meja makan tersebut.
“Pagi, Tuan. Ini Tuan, oh iya, panggil Bibi saja. Bibi sama dengan Mbak pembantu. Kalau panggil ibu rasanya nggak enak, Tuan.” Bi Jainun ternyata menyiapkan omelette telur dan roti bakar dengan aneka selai tersedia di sana, serta secangkir kopi untuk menemani sarapan Ferdi.
“Ya, Bi. Tapi ini ... Kok, sarapannya begini? Nggak kenyang, Bi. Biasanya aku makan bubur ayam dua porsi atau soto Betawi atau nasi uduk atau makanan apalah gitu. Kalau cuma roti ini buat ganjel perut,” keluh Ferdi yang lapar sambil menyantap omelette di hadapannya. Mungkin dia belum terbiasa dengan hidup sebagai orang kaya di mana sarapannya pun seperti itu.
“Eh, maaf, Tuan. Bibi kira Tuan suka begituan seperti di tivi-tivi itu. Kalau gitu, Bibi buatin nasi goreng, ya, Tuan. Tadi malam Tuan juga belum makan,” kata Bi Jainun ketakutan karena ini kesalahan pertama yang dia buat saat bekerja.
“Udah nggak usah, Bi. Nanti bisa beli di luar sama Pak Jono. Nanti aku mau beli beberapa barang kalau ada yang anter atas nama Ferdi Setiaji diterima aja, ya? Udah, ini telur aku habisin dulu sama kopinya.” Ferdi melanjutkan mengunyah makanan tersebut dengan terburu-buru.
Entah saat ini Ferdi seperti tidak mempunyai waktu untuk menikmati makanan yang dikonsumsi. Selalu saja terburu-buru seperti dikejar oleh sesuatu dan terlihat memang seakan tidak merasakan makanan itu panas atau dingin. Semua itu efek yang diberikan oleh Marry Ann. Ferdi bisa mendapatkan semua harta dan kekayaan, tetapi tidak bisa menikmatinya secara benar-benar. Hanya bisa menghabiskan dan membuat orang-orang yang ikut menerima harta kekayaan dalam teror juga.
“Pelan-pelan yang makan, Tuan. Nanti keselek,” ujar Bi Jainun memperingatkan.
“Uhmm ... Iya, Bi. Pak Jono, mana?”
“Sudah di luar, Tuan. Sudah stand by dari tadi jam delapan,” jawab Bi Jainun sambil mengelap tangannya yang basah karena baru saja mencuci teflon.
“Iya, Bi.”
Ferdi berkas menghabiskan secangkir kopi yang sudah hangat lalu berpamitan pergi untuk keluar dari ruang makan menuju ke teras. Terlihat Mas Danar pun sedang memangkas dahan-dahan pohon kecil yang ada di taman. Rencananya Ferdi juga akan meletakkan ayunan di taman tersebut serta membuat sebuah kolam ikan dengan pancuran yang di desain sesuai dengan interior bangunan rumah miliknya. Semua akan ia wujudkan satu persatu karena bantuan listrik gaibnya tercinta.
“Pagi, Tuan,” sapa Mas Danar dengan senyum ramah.
“Pagi juga Mas Danar. Pak Jono, ayo berangkat. Nanti aku kasih tahu kita mau ke mana aja,” ujar Ferdi yang kemudian masuk ke kursi depan mobilnya.
“Ya, Tuan. Lah, kok, di depan? Biasanya bos ‘kan duduk belakang,” kata Pak Jono yang segera ready di kursi kemudi mobil.
“Lah, itu ‘kan bos-bos lain di film atau orang high class. Aku suka di depan gini sama Pak Jono aja. Udah, Pak. Ayo jalan ke Central Park Mall. Borong pakaian dulu,” ucap Ferdi sambil tersenyum girang.
“Ya, Tuan," jawab Pak Jono yang tidak mau banyak berargumen lagi.
Pak Jono hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan karena memang dia adalah bosnya. Di dalam benak Pak Jono melihat kalau Ferdi ini tidak seperti orang kaya raya pada tingkatnya. Kalau dilihat orang yang memiliki rumah di Angel Residence ini bukan orang biasa atau orang kaya yang tanggung. Justru mereka yang bisa membeli rumah di kawasan elite dengan interior bangunan Eropa ini adalah orang-orang miliarder atau yang disebut dengan pengusaha sukses seperti CEO di tempat-tempat tertentu. Namun terlihat jelas, Ferdi seperti orang yang baru saja mendapatkan jackpot dan kaya mendadak. Dari gaya bahasa hingga cara tingkah lakunya pun terlihat kalau bukan dari kalangan elite. Begitu pemikiran Pak Jono yang memang sudah memiliki pengalaman hidup yang banyak dan melanglang buana dengan banyak bertemu tipe-tipe orang.
Saat dalam perjalanan cukup jauh, ponsel Ferdi pun bunyi notifikasi. Ternyata Dimas yang mengirim pesan untuk Ferdi. Jelas saja Ferdi langsung membalas pesan dari sahabatnya itu. Memang Ferdi dari kalau hanya Dimas yang bersahabat tulus dengan dirinya.
Dimas: [ Assalamualaikum ... Lagi apa, Fer? ]
Ferdi: [ Wa’alaikumsalam ... Lagi mau ke Central Park Mall. Gimana, Bro? ]
Dimas: [ Mau kerja, kah? Ga gimana-gimana. Cuma mau pastiin kalau kabarmu baik. Tadi Ibumu nelpon dan tanya. ]
Ferdi: [ Astaga ... Iya, gue lupa nelpon Ibu. Tadi malam Bapak udah nelpon gue, sih. Oh iya, mumpung lagi chat, loe ada ide bisnis untuk daerah Jakarta, nggak? Gue mau buka bisnis, butuh ide. ]
Dimas: [ Duit dari mana, bro? Sorry bukannya gimana-gimana tadi Ibumu tanya soal kerajaanmu dan aku ga tahu sama sekali. Terus, baru aja Bapakmu telepon juga khawatir. Malah ngira kamu jual diri ke tante girang atau o*******g. Parah, Bro. Kalau kerja di mana cerita aja ama orang tua biar nggak jadi beban pikiran. ]
Ferdi: [ Iya, oke, Bro. Ini slaah paham doang. Gue bener-bener udah nemuin jalan bagus. Ada investor mau tanam modal untuk usaha dan gue suruh kelola makanya gue tanya prospek bisnis apa yang bagus di Jakarta. Mau bantu nggak, Bro? ]
Ferdi tertawa melihat chat dari Dimas soal orang tuanya yang khawatir berlebihan hingga bapaknya menganggap jadi simpanan om-o*******g atau Tante girang. Heran saja kenapa bapak Ferdi bisa berpikir sejauh itu tentang anaknya yang tampan dan manis macam gulali. Ferdi kembali membahas rencana bisnis karena berharap Dimas mau memberi masukkan karena sahabatnya itu pintar dan banyak skill, beda jauh dengan Ferdi.
Dimas: [ Tergantung lokasi, Bro. Kalau ide sih ada ... All you can eat grill pan lengkap dengan berbagai macam paket dan kelas. Jadi restorannya juga dibedakan tempat makan paket dan kelas bawah, menengah, dan high class. Minimal tingkat tiga, lah, bangunannya. Terus alat-alatnya juga dipisah menurut kelas. Ada, kok, alat yang murah meriah dan mahal. ]
Ferdi tersenyum membaca penjelasan dari sahabatnya itu. Dia tidak salah pilih untuk mencari ide dan masukan dari Dimas.
Ferdi: [ Oke, Bro. Ide bagus. Gue cari lokasi dan bangunan dulu. Ntar soal lain-lain kita bicarain via telepon. Oh iya, bisa bikin rancangan atau konsep, nggak? Ntar gue bayar juga. Sekalian kalau mau, bantu kelola di sini seminggu sekali. Tiket pesawat pulang pergi gue yang tanggung, deh. Ada gaji juga. ]
Dimas: [ Aku pikir dulu, Bro. Butuh waktu untuk memutuskan hal itu. Dah dulu, ya. Ini ada pembeli. Wassalamu’alaikum. ]
Ferdi: [ Ok. Wa’alaikumsalam. ]
Ferdi tersenyum sambil meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku. Dia berhasil membuat rencana bisnis dan memikirkan langkah selanjutnya untuk mencari tempat dan bangunan yang sesuai dengan apa yang Dimas katakan. Ferdi yakin dan percaya kalau bisnisnya akan berjalan lancar dan sukses.
Lelaki itu sudah mantap hendak membuka bisnis agar terlihat kalau penghasilan besar yang dia peroleh dari bisnis. Dia juga yakin kalau Dimas akan membantunya karena sifat sahabat dari masa kecil itu sangat dia hafal. Padahal bisa saja Ferdi bersantai dan tidak membuka usaha, tetapi hal itu akan berdampak buruk bagi dirinya dalam pandangan orang lain termasuk kedua orang tuanya.
“Kalau bisa santai, kenapa harus kerja keras?! Ya, buat alibi, lah! Biar orang-orang nggak tahu ini duit hasil gaib,” batin Ferdi sambil tertawa dalam hati.