Kecurigaan Bu Chelsea ( 1)

1481 Kata
Beberapa saat sebelumnya, di tempat yang berbeda.   Telepon genggam Inge berbunyi lagi. Ini sudah untuk ketiga kalinya. Gadis itu hanya melirik sesaat dan tak merespon setelah mendapati nama Sang Penelepon. Sepertinya Orang yang sama. Namun Inge tidak menolak panggilan telepon tersebut, juga tidak menjawabnya. Sang Mama yang duduk di sebelahnya mengerling kepadanya. Dia terheran. “Siapa sih yang telepon kamu, Nge? Kok dari tadi nggak kamu respons? Cuma kamu lihat sekilas begitu?” Inge diam saja. Enggan menjawab. “Daniel, ya?” tanya Bu Chelsea lagi. Mendengar nama Daniel disebut, rasanya Inge ingin menjerit untuk melepas rasa kesalnya. Boro-boro, gerutu Inge dalam hati.             Kali ini Sang Mama menatap curiga.             “Kalian berdua lagi marahan, ya? Kamu kesal karena Daniel menyusulmu ke Asrama dan memintamu untuk pulang? Nggak apa kan, sudah hampir beres juga kan urusanmu di sana? Lagi pula Nge, kamu nggak usah balik lagi ke sana juga nggak apa. Apalah artinya selembar sertifikat. Dan apa artinya barang-barang yang kamu tinggalkan di sana. Lupakan saja. Nggak terlalu berarti, kan?”             Inge hanya berdecak dan mengarahkan pandangan matanya kepada satu-satunya tas karton hasil hunting-nya di Plaza Paregon Tiga, hari ini. Satu-satunya. Sungguh berbanding terbalik dengan hasil hunting Sang Mama yang memenuhi bagasi. Itu karena dia sedang tidak mood untuk berburu barang bermerk hari ini. Tapi apa daya, tadi itu Sang Mama terus saja memaksanya untuk menemani berbelanja. Alasan Sang Mama, sudah lama mereka berdua tidak menghabiskan waktu bersama. Karenanya, dia lantas berpikir, mungkin melihat-lihat tas tangan edisi terbaru dari merk Charens Lou yang dulu selalu menjadi salah satu favoritnya, dapat sedikit menghibur hatinya yang sudah dibuat begitu kesal oleh Stephanie tadi pagi. Peristiwa yang menyakitkan hatinya dan memancingnya bertindak macam orang gila. Betapa bencinya Inge mengenang ketenangan Stephanie. Makanya, dia butuh pelipur lara yang bernama ‘shopping’. Lagi pula dia juga berpikir, selama berada di Kaifeng, dia kan juga jarang memburu barang mahal. Rutinitasnya selama berada di kota tua tersebut tak jauh dari belajar budaya dan bahasa dengan tekun, demi dapat mengungguli kepiawaian seorang Ferlita dalam berbahasa Mandarin. Yang jelas, dia begitu total, rela untuk melebur dengan kehidupan sehari-hari di asrama. Bahkan bukan satu dua kali dirinya juga ikut-ikutan membantu Rekan sekamarnya, Lorina, yang gemar memasak dan memakai fasilitas dapur asrama. Inge juga mempunyai pertaimbangan yang lainnya, mengapa sampai mau-maunya menemani Sang Mama hari ini, walau pagi-pagi saja harinya sudah dibuat mendung karena perilaku Stephanie. Inge tak mau bercerita kepada Sang Mama mengapa dirinya langsung masuk ke kamar tadi pagi. Komunikasi yang agak merenggang dan bebrapa hal yang masih disembunyikannya dari Sang Mama, membuat dirinya belum yakin sepenuhnya bahwa Sang Mama akan berada di Pihaknya, sebagaimana dahulu. Dia tidak yakin. Terlebih sekarang ini dia juga sudah memiliki Jason. Rahasia yang disimpannya rapat-rapat dari pengetahuan kedua Orang tuanya. “Nge, ayolah temani Mama. Kamu ini apa nggak bosan di rumah saja?” seperti itulah bujukan Sang Mama ketika mengetuk pintu kamarnya berkali-kali tadi. Dia tidak tahu saja, Sang Mama sebetulnya bingung, merngapa Inge rutin keluar dari rumah di pagi dan sore hari, kadang juga malam hari, namun tidak terlalu lama. Pulangnya juga dengan raut muka masam. Sang Mama tidak tahu saja, sebenarnya Inge tengah memantau kegiatan Daniel tanpa setahu Cowok itu. Kadang di Sanjaya Building, satu kali di seberang rumah Pak Agustin, namun lebih seringnya di apartemen tempat Cowok itu tinggal. Dan pemandangan yang sama, yang membuatnya membuntuti Cowok tersebut kala mengantar jemput Cewek yang sama, dari apartemen ke kantor Cewek itu dan sebaliknya, membuatnya kegeramannya mencapai level maksimal. Kurang lebih seperti itu sajalah yang dilakukan oleh Inge semenjak kedatangannya ke Jakarta. Apa yang dia lakukan tak jauh dari mengawasi keseharian Daniel dari kejauhan. Itu juga setelah dirinya yang kembali tak berhasil mendapatkan informasi apa pun tentang perkembangan Daniel, melalui akun media sosial Cowok itu. Akun media sosial Daniel masih seperti dulu, di-set private. Dirinya, yang ketika kalap memutuskan pertunangan singkat mereka langsung meng – unfollow dan meng – unfriend. Akibatnya, ketika Inge bermaksud kembali mem-follow dan mengirimkan permintaan pertemanan kepada Daniel, belum ada reaksi dari Cowok itu. Dua pemikiran terbersit di benak Inge. Yang pertama, dia curiga jangan-jangan Daniel sengaja menahan untuk tidak memberikan konfirmasi. Lantas yang kedua, demi ketentraman hatinya sendiri dan demi menghibur perasaannya yang terombang-ambing, Inge berpikir, barangkali Danie memang masih seperti dulu, yakni tak banyak menggunakan akun media sosial pribadinya. Jadinya, tentu saja belum sempat memberikan konfirmasi kepadanya. Lantaran Sang Mama terus-menerus membujuknya dan setengah memaksa untuk berbelanja, akhirnya Inge menurut. Lagi-lagi dia berharap, ‘udara segar’ di luar akan sedikit menghibur hatinya. Namun nyatanya, selera belanjanya sekarang telah jauh berbeda ketimbang dulu. Dia juga tidak banyak bicara kala Sang Mama meminta pendapatnya soal kado yang tepat untuk diberikan kepada Seorang Ibu yang baru melahirkan. Dibiarkannya saja Sang Mama memilih semaunya. Dari keperluan bayi, hingga gelang kaki yang dibeli di toko perhiasan langganan mereka. Inge tidak tergugah, apalagi terlarut begitu dalam dengan antusias Sang Mama memilih-milih barang. Kemungkinan terbesar hal itu dikarenakan suasana hatinya sulit diajak kompak. Akhirnya untuk sekadar memantaskan diri dan menghindari pertanyaan tak penting dari Sang Mama, Inge memilih sebuah tas tangan yang dia juga bingung akan dipakainya kemana dalam waktu dekat ini. Pasalnya, kedatangannya ke Jakarta juga sejatinya untuk mengurus sejumlah dokumen yang ia perlukan. Ya, itu tujuan semula. Tujuan yang terdistraksi sebab tak rela melihat Daniel begitu sukses move on dan tampak bahagia tanpanya, bukannya merasa bersalah lantaran telah mencampakkan dirinya. “Kamu ini ditanya malah diam saja. Mama sebenarnya penasaran, kenapa Daniel nggak jemput kamu dari bandara tempo hari.” Tenggorokan Inge serasa dicekik mendengar pertanyaan ini. Dia masih belum mempunyai jawaban yang tepat. “Kan Mama sudah jemput. Cukup, kan?” Inge berkelit untuk menetralkan suasana. Sang Mama tertawa kecil. Masih berpikir Inge dan Daniel tengah mengehadapi kendala komunikasi. “Kalian berdua itu jangan seperti Anak kecil, dong. Hubungan kalian itu dulu sudah begitu dalam. Selangkah lagi sudah mau menuju ke gerbang pernikahan. Masa sikap kamu masih begini? Gaya ngambeknya masih nggak ada bedanya sama Anak remaja yang baru saja jadian. Jangan-jangan, Daniel nggak tahu kalau kamu lagi di Jakarta?” Inge mendesah. Dia sudah mulai capek mendengar pertanyaan bertubi-tubi Sang Mama. “Hei, kamu ditanya kok diam saja.” “Daniel itu baik juga ya, mau-maunya menempuh perjalanan sejauh itu untuk menemui kamu. Dia memang nggak bicara sama Papa atau Mama. Tapi diam-diam Mama mengeek ke Personal Asisten-nya. Menurut Personal Asisten Daniel, waktu itu dia sedang cuti karena ada urusan pribadi yang harus diselesaikan. Dan setelah Mama korek, ternyata Daniel pergi ke Kaifeng.” Inge masih membisu. Sang Mama menyenggol lengannya pelan. “Kamu ini kenapa sih? Memangnya kalian berdua belum banyak berbincang selama dia menemui kamu? Mama saja sudah senang pas kamu kasih kabar mau pulang. Daniel itu ternyata bisa diandalkan. Mama jadi berubah pikiran. Ada baiknya kamu kasih dia kesempatan kedua, Nge. Biar Daniel memperbaiki kesalahannya yang dulu. Kalian berdua mulai saja dari awal. Nggak ada salahnya. Dia cukup mendengar apa kata Mama, kok.” Inge mendengkus dengan perasaan lelah. “Inge..” Inge memejam mata sesaat dan akhirnya menoleh. “Ma..” “Apa?” “Mama bisa berhenti sebentar menyebut soal Daniel?” Sang Mama terperangah. Tatap protesnya terhujam ke paras Sang Putri tunggal. “Ada apa? Benar kalian berdua seedang bertengkar?” Inge mengerling sebal. “Bisa di-skip dulu obrolan soal ini? Atau..., aku nggak mau menemani Mama menengok Keponakan dari Temannya Mama yang melahirkan. Aku di mobil saja nanti.” “Lho, jangan begitu dong.” “Makanya.” Inge menatap tak peduli. Sedetik kemudian ia membuang tatapannya ke arah jalanan yang agak padat merayap. Kemacetan khas ibu kota Jakarta yang kembali diakrabinya beberapa hari ini. “Wah, jangan dong. Kamu harus ikut menengok. Supaya setelah ini kamu juga kepengen punya Anak.” “Apa sih, Ma!” Sang Mama terdiam. Wah, benar nih. Pasti Daniel dan Inge sedang bertengkar. Inge ini kadang-kadang terlalu keras kepala. Seharusnya dia paham dan menghargai waktunya Daniel. Pada saat dia sibuk berat sama pekerjaannya saja masih mau ke Kaifeng. Aku tahu dari Asisten Pribadinya. Aku pikir, Inge yang terlalu manja dan aku harus banyak memberinya pengertian. Daniel itu  berbeda, nggak bisa seperti dia. Marah, lalu kabur-kaburan. Mengambil keputusan pada saat sedang galau. Daniel itu kan Penerus clan Sanjaya. Dia ada tanggung jawab, lah... kata Bu Chelsea dalam hati. Bayangan kejadian sekitar setahun lampau, bagaimana Putrinya tercinta ini terpuruk, membayang kembali. Dia mengamati wajah Sang Putri dari samping. Masih berpikir bahwa yang menghubungi Inge adalah Daniel, dengan lirih Bu Chelsea menasehati, “Inge. Kamu ini jJangan terlalu keras hati dong. Kadang-kadang Laki-laki itu berbuat salah. Apa yang dilakukan Daniel dulu memang salah. Tetapi setelah Mama pikir, kesalahannya nggak sebesar itu. Adalah lebih baik kalau kalian berdua itu lebih memperbaiki komunikasi kalian. Kamu boleh mengujinya, tetapi jangan terlalu keras kepadanya. Bagaimana kalau nanti justru Daniel meninggalkanmu karena tak tahan menghadapi sikap kerasmu ini?” Seketika perasaan Inge tertohok mendengarnya. * $ $ Lucy Liestiyo $ $
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN