Dihembuskannya napasnya.
Tapi setidaknya, Ryan ini kelihatannya bisa membantuku. Sikapnya jelas lebih lunak dibandingkan sama Dua Orang Kakaknya, harap Daniel dalam diam. Ia terkenang pembawaan Ardi yang tenang namun tegas dan perkataannya sulit untuk dibantah. Setelah itu dia mengingat-ingat betapa berangasan-nya perilaku Bobby. Tiga Orang Laki-laki. Hasil didikan dari Sepasang Orang tua yang sama, tetapi dengan perangai dan cara bertindak yang berbeda-beda.
Tak hendak mencela dan tersadar akan bagaimana dirinya juga berlainan dengan Gina dan Brenda, Danielpun tergerak untuk merendahkan hatinya. Dia paham, setiap keluarga mempunyai konflik dan dramanya sendiri.
“Bagian mana lagi yang harus dijelaskan?”
Ryan mengembangkan kedua lengannya.
“Semuanya. Serinci mungkin. Sampai ke kejadian hari ini. Kak Ardi saja kecewa ketika tahu selama ini Steph ada di apartemenmu.”
Daniel menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sampai di detik ini Daniel sudah merasa kegerahan sebenarnya dengan situasi yang membelitnya.
Namun Daniel tahu dia tak punya pilihan lain.
Semua demi Steph. Demi kelangsungan hubungannya dengan Gadis tersayang itu.
“Oke. Ternyata saat itu Steph menginap di sebuah hotel dan dia tidak tahu kalau aku juga memutuskan menginap di sana. Aku memberi dia ruang dan waktu yang dia minta. Sampai suatu saat saku temui dia karena aku merasa bahwa dia sudah cukup tenang. Mulanya dia mau menghindar, tapi kemudian dia menceritakan apa yang terjadi dengan dia. Termasuk…, soal kejadian di Hong Kong.”
“Teruskan.”
“Di situ dia bilang kalau dia akan mencari apartemen sebagai tempat tinggalnya sementara, karena merasa belum cukup siap untuk kembali menghadapi kalian. Dan di situlah, aku menawarkan dia untuk tinggal di unit yang aku tempati, kaena aku bisa tinggal di unitku yang lain, yang juga satu tower dengannya. Mulanya dia nggak mau, tapi karena berbagai pertimbangan akhirnya dia mau.”
“Mengapa aku harus percaya kalau benar kamu nggak tinggal di unit itu? Buktinya, Kak Bobby menemukanmu di sana? Ada penjelasan yang masuk akal?”
Daniel mengeluh dalam hati.
“Asal kamu tahu, hari ini Steph mengatakan ada yang perlu dia sampaikan kepadaku. Ada sedikit persoalan internal di antara kami yang harus lekas diselesaikan. Dan selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa siap atau tidak siap, sekarang ini saatnya dia untuk kembali ke rumahnya dulu. Makanya tadi aku datang dan kami membicarakan tentang hal itu. Dan memang dia sudah merencanakan untuk kembali ke rumah.”
“Benar Seperti itu?”
“Pikirmu bagaimana?”
“Mana aku tahu. Teruskan saja.”
Daniel sudah mulai bosan.
“Sayangnya, semua tidak berjalan sebagaimana mestinya.”
Ryan manggut-manggut.
“Hm. Cukup masuk akal. Berarti sekarang barang-barangnya Steph masih ada di unitmu?”
Daniel mengangguk singkat.
“Terus terang ya, jalan kalian nggak akan mudah.”
“Aku tahu. Tapi aku sama Steph sudah sepakat untuk menjalaninya bersama.”
Ryan tertawa kecil.
“Jangan kegeeran dulu. Aku sama sekali belum selesai ngomongnya. Dan sebetulnya aku belum sepenuhnya bisa mempercayaimu. Jujur saja aku lebih percaya dengan perkataan Kak Ardi. Ngomong-ngomong soal pertunanganmu yang super singkat itu bagaimana? Aku nggak mau Steph terbeban dengan hal itu. Apalagi ada dugaan kamu sama Tunanganmu masih menjalin hubungan.”
Daniel mendesah dengan perasaan lelah.
“Ryan, aku tahu kekhawatiranmu. Aku juga punya Dua Saudara Perempuan. Tapi aku nggak bisa sedikit-sedikit menjelaskan melalui kata-kata. Yang pasti, sudah nggak ada lagi hubungan antara aku sama Mantan Tunanganku. Ya biarpun..,” Daniel menggantung kalimatnya. Dia teringat peuturan Stephanie yang dilabrak oleh Inge.
“Biarpun apa?”
Tatap curiga Ryan mengiringi pertanyaannya ini.
Daniel mengibaskan tangannya.
“Ryan. Ini urusanku dengan Steph. Bisa kita sudahi pembicaraan ini?”
Ryan menggeleng tegas.
“Sekarang jadi urusanku juga, bukan cuma urusannya Steph. Karena aku juga nggak rela kalau Steph kenapa-napa.”
Daniel menelan ludah.
“Nanti aku buktikan saja, ya.”
“Oke. Kalau begitu, maaf. Aku nggak bisa mempertemukanmu sama Steph. Nggak ada tempat untuk Laki-laki peragu yang akan berada di sebelah Steph. Tuntaskan urusanmu dulu, apa pun jenis urusan itu, sekiranya akan menyusahkan Steph ke depannya.”
“Ryan!”
Ryan bangkit dari duduknya dan berkata dengan tegas, “Tadi sepanjang pembicaraan, aku masih sempat berpikiran positif dan menaruh harap kalau kamu akan bisa membahagiakan Steph nantinya. Tapi menyksikan secara langsung keraguanmu barusan, maaf, aku berpemikiran berbeda. Kamu tuntaskan dulu semuanya. Hal-hal yang menghalangi kelancaran hubunngan kalian. Jangan membebani Steph. Titik.”
“Ryan..”
“For your information, Steph itu satu-satunya Saudara Perempuanku. Sudah menjadi tanggung jawab kami bertiga untuk melindungi dia setelah Orang tua kami tiada. Karenanya, kami harus sangat berhati-hati memercayakan dia pada Pria yang tepat. dan Aku nggak akan membiarkan dia mengambil resiko yang bakal membahayakan dia.”
Usai berkat begitu, Ryan membalikkan badan dan berlalu. Dia melangkah cepat meninggalkan kafetaria, meninggalkan Daniel yang termangu menatapnya.
Ketika tersadar kesempatannya untuk menemui Stephanie semakin menipis, Daniel sampai memukul meja dengan gemas.
Seorang Pelayan menatapnya.
Daniel tidak peduli. Dia melangkah keluar dari kafetaria.
Aku harus bisa menemui Steph. Aku harus tahu secara langsung kondisinya. Harus bisa, pikir Daniel.
Dan seolah tidak pernah ada pembicaraan antara dirinya dengan Ryan barusan, Daniel kembali berjalan ke koridor yang berada di depan ruangan rawat Stephanie.
Ryan yang sudah lebih dulu tiba di sana, sudah melihatnya dari kejauhan.
Senyum tipis Ryan terulas.
Hm. Boleh juga. Tetapi itu belum cukup, Bro! ucap Ryan dalam hati.
“Mas Ryan, itu Pak Daniel kok kemari lagi?” Bi Sum yang duduk di sebelah Ryan bertanya. Rupanya dia terusik mendapati Daniel berjalan ke arah mereka. Padahal ketika Ryan kembali sendirian, Wanita setengah baya itu sudah menyangka bahwa Daniel sudah berhasil ‘diusir’.
“Biar saja.”
Bi Sum tampak kurang setuju dengan sikap Ryan terhadap Daniel. Bayangan Daniel mencium yang menyuruh dirinya lekas masuk ke dalam rumah seusai membukakan pintu pagar, lantas mencium Nona majikannya yang tampak terlelap di dalam mobil, rasanya masih begitu segar di ingatannya.
“Tadi itu kok Mas Ryan baik sekali sama Pak Daniel? Kalau Bibik sih masih takut. Bibik takut kalau Pak Daniel akan menyakiti Non Steph. Kasihan, Non Steph itu kan dari kecil sudah…,” gumaman Bi Sum terjeda. Ia melihat, langkah Daniel kian mendekat jua.
Ryan tak sanggup menjawab. Selaksa kenangan akan masa kecil mereka bersama, bagai tayangan film yang diputar kembali di pelupuk matanya.
Cowok itu tersenyum pahit.
*
Sementara di dalam kamar rawat, suasana terasa agak canggung semenjak Bobby masuk berdua dengan Ardi.
Stephanie membisu, sedangkan Bobby tak tergerak untuk memulai pembicaraan antara mereka berdua. Jadilah hanya Ardi dan Cleo saja yang berbincang. Itu juga sedikit sekali.
Cleo menyadari hal itu. Dan ia berpikir untuk memberikan sedikit waktu kepada Bobby dan Stephanie setelah apa yang terjadi.
“Steph, kamu mau ngobrol berdua sama Kak Bobby? Aku sama Kak Ardi ke depan dulu, ya,” bisik Cleo.
Meski dirinya harus memerangi rasa sakit di kepalanya yang masih hilang timbul, Stephanie buru-buru menggeleng dan mempererat pegangan tangannya kepada Cleo.
Bobby memergoki gerakan Stephanie itu.
Sekuat hati dia berusaha menekan rasa tersinggungnya.
Ia tergugah dan mendekati Sang Adik. Lekas Bobby mengulurkan tangannya. Disentuhnya kepala Sang Adik yang jelas-jelas menghindar dengan cara memalingkan wajah ke arah lain.
Bobby tidak menyerah.
“Sakit sekali ya, Steph? Aku benar-benar minta maaf, ya. Aku nggak ada maksud sama sekali buat menyakiti kamu. Ini semua gara-gara Cowok b******k itu,” kata Bobby.
Rasa perih menjalari benak Stephanie mendengarnya. Kekasihnya yang tercinta disebut Cowok b******k, dan dipersalahkan pula atas semua yang menimpanya.
Malangnya, Bobby tidak paham juga. Dia terus saja berbicara.
“Steph, aku minta maaf. Aku cuma terlalu khawatir memikirkanmu. Kamu itu sudah terlalu lama pergi dari rumah. Sudah begitu, ternyata kamu malah tinggal di tempatnya dia. Seperti tidak ada tempat lain saja. Entah apa yang sudah dikatakan dia ke kamu, sampai kamu mau-maunya tinggal di sana.”
Stephanie mengigit bagian dalam pipinya. Stephanie diam tak bereaksi.
Ingin benar dia meminta agar Bobby berhenti bicara saat ini. Karena setiap kata yang diucapkan oleh Bobby, membuat kepalanya berdenyut lebih keras. Namun sebelum dia mengucapkannya, suara Kakak tertuanya itu kembali terdengar.
“Aku takut kamu diperalat, dimanfaatkan dan diperdaya sama dia di saat kamu sedang dalam keadaan galau. Aku nggak rela, Steph. Makanya..,” Bobby menggantung kalimatnya.
Kali ini rasanya Stephanie sudah tak tahan lagi.
Tatap matanya beradu dengan tatap mata Ardi. Seolah dia meminta perlindungan. Bayangan kemurkaan Bobby pada Daniel yang sampai mengamuk membabi buta beberapa waktu lalu, sungguh mengganggu perasaannya. Bagi Stephanie, itu benar-benar tindakan yang brutal dan tak semestinya dilakukan. Sudah begitu, pilihan kata yang diucapkan oleh Bobby barusan juga jelas-jelas terkesan membenarkan tindakannya dan menaruh semua kesalahan di Pihak Daniel. Bagaimana Stephanie tidak terganggu?
Untung saja, Ardi menangkap isyarat itu.
Ia menggelengkan kepalanya dengan gemas.
“Bisa nggak sih, bahas yang lain dulu, Kak? Kalau soal Daniel, biar aku sama sama Ryan yang ngomong ke dia, setelah ini. Sebaiknya Kak Bobby jangan dulu berkomunikasi sama dia deh. Yang ada nanti gontok-gontokkan lagi,” pinta Ardi sambil menekan rasa kesalnya.
Hampir saja mulutnya yang terasa gatal hendak menambahkan, “Dan kalau Daniel mau cari gara-gara, sebetulnya bisa saja dia berbalik sikap, melaporkan peristiwa pemukulan atas dirinya. Bagaimanapun, tindakanmu yang masih saja suka grusa-grusu itu nggak bisa dibenarkan. Datang ke tempat Orang yang menyerang. Ck ck ck!”
Sentuhan tangan Sang Istri di lengannya membuatnya batal melontarkannya.
Bobby diam sejenak mendengar perkataan Ardi. Dia tampak menimbang-nimbang.
“Biar aku suruh dia untuk pulang saja supaya aman. Di, kamu harus pastikan, Ryan benar-benar ada di sini, nanti malam. Aku nggak yakin Anak itu becus jagain Stephanie. Terus terang saja aku kurang percaya sama dia. Bagaimana kalau nanti malam Ryan malah membiarkan Cowok b******k itu kemari? Bagaimana kalau sampai si Bad Guy itu tahu-tahu mengurus surat keluar paksa dari rumah sakit dan menyembunyikan Stephanie lagi, entah di mana dan kali ini nggak terlacak?”
Usai berkata begitu, Bobby segera beranjak keluar dari kamar perawatan tanpa menunggu reaksi yang lainnya.
Entah tengah memikirkan apa, Ardi malah terpaku.
“Kak!” kali ini Stephanie berteriak.
Cleo jadi kasihan.
Ia mengguncang lengan Ardi dan berkata lirih, “Di, tolong Di. Tolong susul Kak Bobby. Kita semua itu ada di sini untuk menjaga Stephanie dan berharap keadaannya segra membaik. Bukan malah membuat Stephanie jadi sedih. Dia nggak boleh banyak beban pikiran. Tadi Dokter sudah bilang, kan? Itu akan memperlambat pemulihannya.”
Ardi tergeragap.
Ia segera mengangguk dan mengelus tangan Sang Istri dengan sayang. Diusapnya pula perut Cleo tanpa mengatakan apa-apa. Dia langsung keluar dari kamar.
Sepeninggal Ardi, tinggallah Stephanie dengan Cleo saja di kamar rawat.
Cleo membelai lembut rambut Stephanie dan berkata, “Sabar ya, Dek. Sudah, jangan banyak pikiran dulu. Dicoba untuk istirahat saja.”
Hati Stephanie tersentuh dengan ketulusan yang diperlihatkan oleh Cleo.
Seketika mata Stephanie memanas.
Bayangan Hera, Kakak Iparnya yang satu lagi melintas.
Kak Hera sama Kak Cleo beda banget. Bagaikan langit dan bumi bedanya. Kak Cleo itu kelihatannya benar-benar sayang dan perhatian sama aku dan Ryan, batin Stephanie.
Lalu ketika semua perkataan Bobby barusan terngiang di telinganya, rasa perih itu mengamuk di d**a Stephanie.
Ia berusaha memejamkan mata, namun setetes air mata bergulir di pipinya.
Cleo panik dan buru-buru mengusap air mata Stephanie.
“Dek, kenapa? Kepalanya sakit lagi ya? Kamu nggak boleh nangis, nanti tambah sakit.”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $