Inge menggeleng-gelengkan kepalanya.
Andai bisa, ingin dia menyampaikan apa yang sesungguhnya terjadi.
Ya ampun, Ma! Daniel itu sudah meninggalkan aku. Dan kalau aku melihat kedekatannya dengan Cewek genit itu, hubungan mereka pasti sudah jauh. Bayangkan, mereka tinggal di satu atap! Cewek itu tinggal di apartemennya, berdua dengannya! Padahal kalau sekilas aku perhatikan, dan juga dari percaya dirinya sewaktu berbicara sama aku, seharusnya Cewek itu bukan Cewek miskin yang butuh tumpangan tempat tinggal. Oke, soal pakaian, soal penampilan, bisa jadi Daniel yang memodali dia. Tapi cara dia bicara, soal kepercayaan diri, ketenangan yang dia perlihatkan sewaktu menghadapi aku tanpa terlihat terintimidasi, itu nggak bisa diperoleh secara instan. Artinya, dasar dia ganjen saja. Dan sialnya, aku belum bisa melacak lebih jauh soal dia bekerja di mana. Aku hanya sempat memergoki mereka tiba di area apartemen, keluh Inge dalam hati.
Inge menelan ludah yang terasa pahit.
Sekarang dadanya juga terasa sesak. Gara-gara dirinya jengkel pada Sang Mama yang dinilainya sok tahu. Rasa jengkel yang tak mungkin untuk dilampiaskannya. Nyaris satu tahun terpisahkan oleh jarak, rupanya membuat gaya berinteraksi mereka sedikit mengalami pergeseran. Yang jelas, Inge mendapati bahwa Sang Mama menjadi lebih dominan ketimbang terakhir kali mereka berinteraksi secara langsung. Di detik ini dia menengarai, justru sikap dominannya sedikit berkurang, terutama semenjak mengenal Jason.
Karenanya, tidak ada niatnya untuk menyahuti Sang Mama saat ini.
Dan beruntung, ketika Sang Mama hendak berkata-kata lagi, ada pengalih perhatian yang sempurna. Mereka sudah semakin dekat dengan tempat tujuan.
Kendaraan yang mereka tumpangi berbelok ke kiri, lalu memasuki pelataran parkir rumah sakit Sehat Sejahtera.
“Hm. Akhirnya kita sampai juga. Ayo Inge, kita harus cepat karena waktu bezuk sudah lewat,” ujar Bu Chelsea sambil menepuk pundak Inge begitu kendaraan melipir di lobby rumah sakit.
Sang Pengemudi dengan sigap membukakan pintu mobil untuk mereka.
Inge turun tanpa mengatakan apa-apa.
Dia berjalan dalam diam, di sisi Sang Mama.
Saat melewati pintu masuk dan melihat petunjuk arah menuju toilet, dia merasa ingin sedikit membebaskan diri dari Sang Mama.
“Mama duluan saja deh. Nanti aku susul. Aku mau ke toilet dulu,” kata Inge sambil menyodorkan kado yang diperuntukkan kepada Keponakan dari Teman Mamanya itu.
Sang Mama menerimanya.
“Lho, jangan dong. Mama tunggu saja di sini. Nanti kamu malah susah cari kamarnya. Terus malah nggak diijinkan masuk, lagi.”
“Aku kan bisa telepon Mama. Lagi pula, kamarnya kan VVIP. Pastinya agak sedikit longgar lah, aturannya. Sudah, Mama duluan saja.”
“Nggak, Mama di sini saja. Kita sama-sama nanti. Kamu cepetan ya!” tolak Bu Chelsea.
Inge mengangkat bahu.
Disadarinya, betapa pun kerasnya dirinya, dia kaan kalah pengaruh dengan Sang Mama. Jadilah dia memutuskan untuk tidak berdebat. Dibiarkannya Sang Mama duduk menunggu di salah satu dari jajaran kursi yang ada.
Ia meneruskan melangkah.
Inge mendorong pintu toilet dan langsung berbelok ke dekat deretan wastafel. Dia sama sekali tak melirik pada beberapa bilik toilet yang berseberangan letaknya dengan wastafel. Niatnya semula memang hanya ingin sesaat menjauhkan diri dari Sang Mama.
Kala dirinya mencuci tangan dan mencermati refleksi wajahnya pada cermin lebar itu, telepon genggamnya kembali berbunyi.
Tanpa harus melihat Siapa yang menghubunginya, Inge sudah dapat menebak.
Jason.
Ya. Rupanya Cowok itu sedikit terheran sebab komunikasi terakhir mereka adalah satu hari setelah kedatangan Inge di Jakarta. Setelah itu, Inge sengaja mengabaikan panggilan Jason. Tentu saja Jason bingung. Pasalnya, mereka tidak sedang bertengkar.
“Kasihan juga,”gumam Inge pelan.
Digulirnya ikon telepon berwarna hijau.
“Hai, Jason. Maaf, tadi aku sedang di jalan. Dan ada Mama.”
Suara Jason tampak ceria.
“Hallo Inge. Nggak apa-apa. Aku hanya cemas, karena kemarin-kemarin tidak bisa menghubungimu. Kamu baik-baik saja? Kamu sudah sempat mengurus dokumen yang kamu perlukan?” sahut Jason,yang lega mendengar panggilan teleponnya direspons oleh Sang Kekasih.
Inge tercekat.
Inge tak dapat menjawabnya secepat itu. Mendadak saja dia merasa dirinya tengah berada di persimpangan.
Dia teringat, tujuannya semula dengan kembali ke Jakarta memang untuk mengurus hal berkaitan dengan itu, sekaligus ingin mengecek kebenaran firasatnya tentang Daniel. Baru setelah itu dia hendak mengatakan kepada Sang Mama tentang rencananya yang sama sekali tidak berubah. Dan bila memungkinkan, maka dia akan membuka sedikit tentang hubungannya dengan Jason serta meminta pendapat Sang Mama.
Namun tak dapat dipungkirinya, begitu dirinya memergoki, meski dari kejauhan, Sosok Daniel yang tampak bersemangat dan ceria, terkesan begitu bahagia menjalani hari-harinya, egonya terluka. Hingga kini, belum satu kali pun dia mengurus dokumen yang seharusnya menajadi prioritas. Tujuannya teralihkan. Perasaannya teombang-ambing begitu saja.
Inge masih tak rela membayangkan Daniel bahagia dengan Gadis lain.
Pikirnya, jikapun dia harus melihat wajah Daniel sebahagia itu, maka Gadis yang berada di sisi Daniel haruslah dirinya. Bukan Gadis lain.
Inge mengembuskan napas panjang, mulai didera ragu dan bertanya-tanya, apakah dirinya sungguh-sungguh mempunyai rasa cinta kepada Jason, ataukah hanya karena faktor berada jauh dari Keluarga dan Orang-orang yang menyayanginya, dan kemudian terbisa dengan kehadiran Jason di sekitarnya, perhatian Cowok itu, kebaikan hatinya..
“Inge, kamu masih di sana?”
Inge tergeragap.
Dia berusaha untuk menata hati.
Terkenang kembali beberapa momen manis yang mereka lewati berdua.
“Hm. Ya. Aku belum sempat untuk mengurusnya. Terlalu banyak acara keluarga, Jason. Kamu tahu kan, Orang Indonesia itu kalau ada Anak atau Keluarganya yang baru datang dari luar negeri, banyak saja acaranya.”
Jason diam sejenak. Sepertinya dia berusaha mencerna perkataan Inge. Dia toh paham, perbedaan budaya di antara mereka.
“Tidak apa-apa. Aku hanya mau mengingatkan saja. Kamu kan minta ijin hanya sebentar.”
Suara Jason begitu lembut dan penuh perhatian. Terkesan betapa Cowok itu sudah amat mengharapkan kembalinya Inge. Tak urung, hati Inge tersentuh juga.
Inge sampai menahan napas mendengarnya.
Astaga, Jason. Kamu nggak tahu saja apa kata Mamaku. Mama malah berpikir sebaiknya aku nggak usah kembali ke Kaifeng. Dan sejujurnya..., sejujurnya..., aku..., bisik hati Inge.
“I miss you, Inge,” kata Jason kemudian.
“I miss you too, Jason,” balas Inge dengan hati yang berat.
Secuil rasa bersalah mengusiknya. Rasa bersalah yang mendorongnya untuk mengatakan sesuatu kepada Jason. Dia tak tega untuk menyakiti hati Cowok ini.
“Jason, maaf kalau kadang-kadang aku tidak bisa menerima panggilan teleponmu. Aku belum cerita soal kamu ke Mama. Dan Mamaku itu..., kalau bertanya telalu detail. Aku sedang nggak berminat untuk ditanya-tanya.”
Terdengar helaan napas Jason dari seberang sana.
“Aku mengerti,” kata Jason kemudian.
“Aku hanya khawatir. Maafkan kalau aku menghubungimu teus-menerus,” sambungnya.
Hati Inge kembali tersentuh.
Andai saja Daniel bisa sebaik ini! pikir Inge dalam sedih yang bercampur jengkel.
*
Bu Chelsea melirik arlojinya. Dia mulai gelisah dan mengarahkan pandangannya sesuai petunjuk arah ke toilet. Inge masih belum kembali.
“Huh. Anak itu. Apa dia sakit perut? Rasanya kok nggak mungkin.”
Telepon genggamnya berdering.
Segera dilihatnya layar perangkat benda kecil itu. Dipikirnya Inge yang menghubunginya, ternyata Pak Victor.
“Hallo, Pa,” sapa Bu Chelsea.
“Ma, Mama jadi ajak Inge belanja?”
“Jadi, Pa. Ini sekarang sudah di rumah sakit. Mau tengok Si Susy, Keponakannya Jeng Rini.”
“Oh. Oke. Dia enjoy selama belanja tadi?”
“Hm. Kelihatannya enggak, Pa. Mama sudah berusaha mengorek-ngorek cerita, padahal.”
“Sabar, Ma. Dan jangan desak dia. Nanti yang ada dia malah meneruskan rencananya untuk kembali ke Kaifeng.”
“Nggak akan Mama ijinkan dia pergi. Kecuali kalau hanya meneruskan programnya yang sekarang lalu segera kembali lagi.”
Pak Victor diam.
Memangnya seorang Inge perlu ijin dari Mamanya? Dulu juga tahu-tahu dia sudah mengurus sendiri semuanya, batin Pak Victor.
“Pa, Papa curiga nggak, kok Daniel nggak jemput dia dari bandara?”
“Mungkin dia sibuk. Atau Inge memang tidak minta untuk dijemput.”
“Mama rasa enggak. Terus ya, ini kan sudah sekitar satu minggu Inge di sini, tapi kenapa Daniel belum satu kali saja ke rumah kita? Kan aneh.”
Tidak ada sahutan dari Pak Victor.
“Pa, kemungkinan Inge masih kesal karena Daniel datang ke Kaifeng dan menyampaikan pesan Mama untuk pulang. Tapi kok harus selama ini? Apa Mama tanya ke Daniel saja, ya?”
“Ma!”
Pak Victor menyela.
“Apa, Pa?”
“Apa Mama yakin, mereka berdua masih punya hubungan?”
“Pertanyaan Papa aneh. Ya tentu saja. Kalau nggak, buat apa Daniel mau menuruti permintaan Mama di tengah kesibukannya? Dan kalau memang nggak ada hubungan, but apa Inge mendengarkan permintaan Daniel untuk balik ke Jakarta?”
“Sebaiknya kita jangan terlalu berharap, Ma.”
“Maksud Papa apa?” tanya Bu Chelsea, tak sadar suaranya mulai meninggi.
Pak Victor menghela napas panjang, terkenang percakapannya dengan Daniel di Morning Dew Cafe dulu.
“Yang terpenting itu, hubungan mereka membaik. Itu sudah paling bagus. Kita nggak usah terlalu berharap hubungan mereka berlanjut.”
“Papa ini bicara apa?”
“Mama, yang patut kita syukuri, Inge sudah mau pulang. Itu sudah cukup, Ma.”
“Papa kenapa sih?”
“Kita nggak usah terlalu mendorong-dorong mereka untuk melanjutkan hubungan yang dulu.”
“Papa bikin Mama bingung. Kenapa berubah sikap?”
Selintas terbit keinginan Pak Victor untuk sedikit mengungkap apa yang ditangkapnya selama pembicaraan dengan Daniel yang berujung dirinya memberikan alamaat asrama Inge kepada Daniel, mengamati bagaimana Daniel juga tak terlalu banyak bicara sepulangnya dari menemui Inge kecuali mengabarkan bahwa dirinya sudah menemui Inge dan menegaskan kemungkinan Inge akan menghubungi Sang Mama, serta fakta sesuai yang dilontarkan Sang Istri barusan, bahwa Daniel belum juga datang ke rumah mereka hingga kini.
Hal yang sebenarnya sempat digumamkan Sang Istri saat sarapan pagi tadi, dan dia hanya menyahut, “Mungkin mereka berdua bertemu di luar. Mereka kan sudah dewasa.”
Namun balasan Sang Istri yang berkata, “Inge kalau pergi selalu sebentar-sebentar. Lagi pula kok Daniel nggak punya inisiatif datang kemari sih?” setelahnya membuat Pak Victor tak ingin membahas lebih jauh.
“Nanti kita obrolkan di rumah saja. Mama tolong jangan terlalu ikut campur. Mereka sudah dewasa,” kata Pak Victor akhirnya.
“Mama mau cari tahu dari Daniel saja. Rasanya memang lebih mudah mengorek keterangan dari Daniel ketimbang dari Inge.”
“Jangan, Ma!”
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $