Moment Of Truth

1918 Kata
“Siapa sih?” keluh Stephanie sambil bersiap bangkit dari pembaringan. Ada rasa enggan yang menggayut. Dikuceknya matanya, demi mengusir rasa kantuk yang masih tersisa. Kepalanya sudah jauh lebih ringan setelah tidur beberapa jam barusan. Entah sudah berapa kali ketukan di pintu terdengar. Dia tak tahu pasti. Hanya saja ketika ketukan itu tak kunjung berhenti dan dia sudah amat terganggu, dia memang memutuskan untuk segera mencari tahu Siapa yang mengetuk pintu kamarnya. Meskipun semuala, dia sempat berharap suara ketukan pintu itu berasal dari kamar lain di sekitarnya. Tangan Stephanie meraih gelas s**u di meja nachas dan menghabiskannya dalam sekali teguk. Sudah dingin, tetapi setidaknya dia merasa tubuhnya sedikit lebih segar sekarang. Karena ketukan masih saja terdengar, diseretnya langkahnya dan mengintip melalui view vinder terlebih dahulu. Tampak olehnya Seorang yang mengenakan seragam Room Boy berdiri tepat di depan pintu dan membawa nampan. “Selamat malam, Ibu Stephanie. Boleh saya taruh ini di dalam?” tanya room boy dengan sopan begitu pintu sedikit terkuak. Stephanie melepaskan rantai pengait sehingga daun pintu dapat terbuka lebar. “Eng..., saya nggak pesan apa-apa. Belum, tepatnya,” kata Stephanie sambil mengingat-ingat. Sang Room Boy tersenyum santun. “Tadi Pak Daniel, Saudaranya Ibu Stephanie berpesan ke saya untuk mengantarkan ini. Mohon diterima, Bu,” jawab Room Boy itu dengan sopan. Stephanie terenung sesaat. Pasti dia memesankan ini buatku sebelum pergi tadi dan memberi tahu sekitar jam berapa sebaiknya diantarkan ke kamarku. Ah, dia selalu begitu. Atau mungkin, memang ini saat yang tepat untuk membuka hati buat dia? pikir Stephanie. Mau tak mau, hatinya tersentuh juga. “Oh, boleh, taruh saja di meja,” kata Stephanie kemudian. Sang Room Boy mengangguk dan melangkah masuk. Lalu Sang Room Boy meletakkan sup ayam, bubur, kentang goreng, salad sayuran dan jus buah di atas meja. Stephanie baru akan mengucapkan terima kasih dan memberi tip, ketika melihat Sang Room Boy menaruh juga sebuah tas karton yang rupanya tadi digantungkan di sikunya. Sesuatu yang terluput dari pengamatannya tadi. “Itu apa?” tanya Stephanie. “Saya kurang tahu, Bu. Tadi hanya dititipi pesan untuk mengantarkan ini semua sekitar jam segini. Mari Bu, saya permisi,” kata Room Boy tersebut. Stephanie tak bertanya lagi. Stephanie mengucapkan terima kasih dan memberikan tip yang diterima dengan suka cita oleh Room Boy tersebut. Dia tidak tahu, ada Seseorang yang mengamati semua itu dari view finder di balik daun pintu kamar yang berseberangan dengan kamarnya. Sosok yang menarik napas lega karena menilai sikap Stephanie sudah jauh lebih tenang.   “Aku nggak akan buang waktu lagi, Steph. Sorry, aku nggak akan membiarkanmu terlalu lama menghadapi semuanya sendiri,” tekad Daniel saat mendapati Stephanie menutup pintu.   Usai mengunci pintu kamar, Stephanie mengabaikan rasa lapar yang menggoda karena penasaran isi tas karton yang ditinggalkan oleh Room Boy tadi. Stephanie melepas seal dan mengeluarkan satu persatu isi tas karton. Ada beberapa jenis suplemen kesehatan, biskuit rendah kalori serta sekotak coklat berpita cantik yang ditempeli tulisan : Semoga coklat ini bisa menceriakanmu kembali. Stephanie menahan napas sesaat dan mendapati masih ada satu kotak lainnya di bawah kotak coklat. Kotak berisi telepon seluler yang jelas masih baru, namun kotak itu tampaknya sudah dibuka. Saat membuka kotak tersebut, Stephanie menemukan secarik kertas. Ada tulisan tangan di sana. Steph, aku sudah berusaha menahan diri untuk tidak mengusikmu. Tapi, aku nggak yakin aku bisa bertanya-tanya tanpa jawab mengenai kondisimu. Enggak, Steph. Yang kemarin-kemarin itu sudah lebih dari cukup. Kamu pakai telepon seluler ini ya. Aku sudah simpan nomorku di dalamnya. Kapan pun kamu merasa sudah siap untuk berbagi cerita dan mendengarkan semua penjelasanku, bilang ke aku, ya. Love you, Steph, demikian tulisan pada kertas yang dibaca Stephanie dengan perasaan campur aduk.   Stephanie menggeleng-gelengkan kepalanya ketika dia menyalakan telepon seluler tersebut dan sudah ada pesan masuk. From : Daniel Marcello Sanjaya Jaga kesehatan ya, Steph. Kabari aku kapan mau balik ke Jakarta, ya. Kamu nggak bawa mobil, kan? Aku lihat mobilmu ada di car port rumahmu.   Stephanie melayangkan pandang ke langit-langit kamarnya. Diam-diam, dia menghitung telah sekian lama membiarkan Keluarganya tanpa kabar. Sejumput sesal menyapanya.   Pa, maafkan Steph, ya. Selama di sini, Steph sudah pikirkan pesan Papa ke Om Danny. Tapi sampai sekarang, Steph ragu apakah Steph layak untuk menerimanya. Steph ini anak durhaka, Pa. Steph juga nggak mau memperkeruh suasana yang memang tengah ruwet ini. Apa reaksi Kak Hera kalau tahu mengenai hal ini nantinya? batin Stephanie bersamaan terdengarnya bunyi dari telepon seluler barunya, yang mengindikasikan telepon seluler dalam keadaan low bat. Ia tersadar, mungkin Daniel belum sempat mengisi daya bateray sebelum menitipkan telepon seluler itu ke Pihak hotel untuk diberikan kepada Stephanie. Selintas kesadaran menggerakkan Stephanie untuk sekadar mengirimkan pesan balasan, “Thanks, Dan. Kamu berlebihan sekali menitipkan semuanya ini,” sebelum telepon seluler benar-benar mati. ** Dari sekian malam yang dilewatinya di hotel tersebut, baru pagi ini Stephanie terbangun dengan sebuah kemantapan hati. Semalaman dia merenungkan semua yang terjadi, semalaman pula dia berdoa lebih sungguh-sungguh, memohon petunjuk pada Yang Kuasa. Dan setelah dia benar-benar berserah, dia merasa hatinya jauh lebih tenteram. Karenanya Stephanie dapat tidur dengan nyenyak tadi malam. “Rasanya aku perlu memberikan Daniel kesempatan. Aku mau tahu kebenaran tentang masa lalunya. Kupikir, aku bisa minta pendapat mengenai wasiat Papa juga kepadanya? Ya, kurasa dia merupakan Orang yang tepat untuk itu. Karena aku sudah tahu sikap Keluargaku. Tidak ada jawaban, yang ada hanyalah keputusan,” gumam Stephanie sambil menyisir rambutnya. Dia menoleh ketika ada sebuah pesan masuk. Tanpa perlu berpikir, dia sudah tahu dari Siapa. Daniel seorang yang tahu nomor teleponnya kan? Isi pesan itu singkat saja.   From : Daniel Marcello Sanjaya Hai, Selamat pagi! Steph, sudah sarapan belum? Jangan sampai nggak sarapan ya. Kamu sudah lebih fit, dari kemarin?   Stephanie mengetik jawaban singkat, “Ya, Dan. Thanks, nanti aku telepon, ya.”             Stephanie melirik kopernya yang terletak di sudut kamar. Dia tersenyum samar dan teringat sesuatu.               “Astaga! Tante Meily! Pasti mereka kebingungan karena aku main pergi begitu saja,” ditepuknya jidatnya dan mengirimkan sebuah pesan ke nomor Tantenya itu. Untung saja dia masih hafal nomor telepon Sang Tante. Buru-buru dia menyimpan dulu nomor itu agar tidak terlupa.               To :  Tante Meily             Tante, ini Steph. Maaf baru kasih kabar. Keadaan Steph baik-baik saja. Secepatnya Steph akan hubungi Tante Meily dan Om Danny, ya. Secepatnya Steph juga akan hubungi Kak Bobby, Kak Ardi serta Ryan. Jaga kesehatan Om dan Tante. Terima kasih Tante.               Jawaban dari Tante Meily cukup panjang. Dan masuk ke telepon selulernya hanya berselang dua hingga tiga menit saja. Sepertinya Tante Meily memang tengah memegang perangkat telepon seluler kala menerima pesan teksnya dan merasa lega luar biasa. Karenanya Tante Meily segera memanggapi.               From : Tante Meily             Steph, akhirnya kamu kontak Tante. Kamu sungguh-sungguh baik-baik saja, kan? Jangan menghukum dirimu seperti itu, Sayang. Semuanya sayang sama kamu. Semuanya juga gelisah karena kamu belum juga berkabar. Bobby, Ardi dan Ryan sulit melacak keberadaanmu karena telepon selulermu yang ketinggalan di suite-nya Om Danny, ada di Ardi. Cepat kembali ke rumah ya, Sayang. Jaga terus kesehatanmu. Tante boleh telepon kamu? Boleh kasih nomor kamu ini ke Bobby dan lainnya?               Stephanie segera membalasnya.             To : Tante Meily             Tante, tolong kasih Steph sedikit waktu lagi, ya. Nanti Steph yang akan menghubungi semuanya. Terima kasih, Tante.             Lantaran tak ingin terlalu lama bertukar pesan lagi, Stephanie memutuskan untuk mematikan telepon seluler itu dan melihat ke arlojinya. Sudah pukul 08.10 wib sekarang, karenanya Stephanie bergegas meninggalkan kamarnya untuk turun ke restaurant. Di restaurant yang luas itu, Stephanie menikmati sarapan pilihannya. Dia sengaja mengambil tempat duduk agak di sudut. Selera makannya sudah membaik pagi hari ini, berbarengan dengan kondisi kesehatannya. Baru saja dia menyudahi makan paginya, dia dikejutkan oleh Seseorang, yang berjalan ke arahnya. Seseorang yang dengan percaya diri menarik kursi di depan mejanya lantas duduk tanpa meminta persetujuannya lebih dulu. Seseorang, yang sejak kemarin kembali mengaduk-aduk perasaannya lewat kehadirannya yang tak terduga. Seseorang, yang diam-diam dirindukannya. “Dan, kamu? Kamu menginap di sini? Atau langsung, dari Jakarta? Sepagi ini?” tanya Stephanie bingung. Dia yakin sekali, hanya tamu hotel yang menikmati makan pagi di restaurant tersebut pada jam-jam seperti sekarang ini.   “Kamu bisa istirahat, tadi malam? Masih demam nggak, Steph?” bukannya menjawab pertanyaan Stephanie, Daniel malah balik bertanya. Stephanie menggeleng, lalu berkata, “Thanks, ya. Kamu pakai repot beli ini itu segala.” Daniel mengibaskan tangannya. “Sama sekali nggak repot. Ngomong-ngomong kenapa kamu bisa sampai pingsan, kemarin itu?” Senyap beberapa saat. Hati Stephanie bagai menjerit ketika berkata lirih, “Lelah jiwa raga, Dan. Sulit memaafkan diriku sendiri yang sudah men-judge Papaku seburuk itu, selama ini.” Daniel memejamkan mata. “Steph, mau cerita ke aku, apa sebenarnya yang terjadi? Kamu nggak akan membiarkan aku menebak-nebak, kan?” tanya Daniel. Stephanie tercekat. Ia mengalihkan pembicaraan dan bertanya, “Kamu nggak makan?” Sekarang dia benar-benar yakin bahwa Daniel menginap di hotel tersebut, bukannya sengaja meluncur pagi-pagi benar dari Jakarta, meski semenjak tadi Daniel tak menjawab pertanyaannya. “Sudah, tadi,” jawab Daniel pendek, lalu mencermati air muka Stephanie. Diam-diam Daniel bersyukur, mendapati wajah itu jauh berbeda dengan wajah yang dilihatnya di dalam pesawat menuju ke Hong Kong, lebih dari seminggu lalu. Bahkan juga berbeda bila dibandingkan kemarin. Dia terlihat tenang. Aku nggak mau buang waktu, tekad Daniel. “Steph, kamu nggak tanya, bagaimana aku menemukanmu?” tanya Daniel, mengusik Stephanie.   Stephanie mengangkat wajahnya dan menyahut, “11-12 dengan Kak Bobby, kan? Mengerahkan sejumlah Orang untuk melacak keberadaanku?” Stephanie paham, dengan uang dan kekuasaan yang ada pada Daniel, tentu menemukan dirinya itu semudah menjentikkan ibu jari. Akan tetapi Daniel menggeleng, membuat Stephanie terdiam. “Mamaku. Waktu rasanya sudah begitu mentok, nggak ada informasi sedikitpun soal keberadaanmu, aku terbayang Mamaku. Sampai dua kali malahan. Tadinya  aku berpikir, itu karena aku sudah agak lama nggak berziarah ke makam Mama. Tapi ternyata, setelah berziarah, aku seperti terdorong utnuk melewati lokasi makam kedua Orang tuamu. Dan sebenarnya..., aku punya waktu cukup untuk mengamatimu,” terang Daniel. Stephanie membeku mendengarnya. Dia mencari keseriusan di wajah Daniel. Ditemukannya. Karenanya Stephanie yakin, Daniel tidak sedang mengada-ada.   “Steph,” panggil Daniel, yang tak tahan melihat keterdiaman Stephanie. “Ya,” sahut Stephanie pelan. “Sikapmu waktu kita ketemu di pesawat, apakah ada hubungannya sama..” Daniel mendengus pelan. “Sikap pengecutku yang seenaknya ghosting dan bikin kamu bingung sendirian dan nggak tahu harus bagaimana? Ataukah karena sejumlah link yang entah darimana didapatkan Kak Ardi? Atau..., lantaran Kak Ardi melarangmu juga untuk berhubungan denganku? Atau..., adanya masalah Keluarga, yang kamu sebutkan saat itu?” tanya Daniel bertubi-tubi. Stephanie menghela napas panjang berkali-kali sebagai jawabannya.   “Kamu belum siap buat menjawabnya?” Stephanie mengedikkan bahu dengan gerakan yang amat samar. Hanya karena mata Daniel terlampau awas, maka dirinya memergoki gerakan halus tersebut. Daniel mengambil keputusan. “Oke. Kalau begitu biar aku yang bicara. Aku salah, karena sudah mengombang-ambingkan perasaanmu. Aku salah, karena terlalu mudah berjanji pada Orang tuanya Inge, sampai mau-maunya melakukan perjalanan ke Kaifeng padahal hubungan Keluargaku dengan mereka juga sudah membaik seusai... hhh! Kamu tahu kan, ‘jalinan pertunangan’ yang umurnya hanya sekitar dua jam itu?” Daniel kembali melanjutkan. “Step, kamu ingat, kan. waktu kita ketemu di pesawat kapan hari? Tapi mungkin sudah jalannya seperti itu. Kalau aku nggak pernah menemui Inge di sana, aku nggak akan pernah tahu, betapa besarnya rasa takutku kehilangan kamu,” urai Daniel.   Inge. Mendengar nama itu disebut, mau tak mau selintas rasa cemburu mengusik Stephanie. Dia sudah tahu siapa Inge dari sejumlah link yang ditunjukkan oleh Ardi. Apalagi Daniel juga sudah menyebut-nyebut tentang ‘Pertunangan yang umurnya dua jam saja’ itu. * ^ *  Lucy Liestiyo  * ^
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN