Stephanie juga sudah sempat menelusuri ‘jejak’ yang tersisa dari masa lalu Daniel dan Inge. Dengan berat hati, diakuinya, profil Gadis itu membuatnya mengangkat alis. Menimbang karakter Daniel yang cukup kuat, sulit dibayangkannya hubungan macam apa yang dulu dijalani dengan Inge, yang karakternya terkesan jauh lebih dominan dari Daniel. Sedangkan dirinya saja, masih kerap merasa bahwa Daniel itu berpotensi menjadi ‘Tukang Paksa’ nomor wahid kalau terus-menerus diberikan kesempatan.
“Steph.., aku benar-benar minta maaf atas semuanya itu. Aku minta maaf, kalau kamu menilai aku sudah mendekatimu di saat urusanku sama Inge belum sepenuhnya selesai. Meski pada faktanya memang sudah usai. Ya, kalau saja Papa dan Mamanya Inge nggak mendesakku untuk membujuk Inge agar kembali ke Jakarta.”
Stephanie hanya mendengarkan saja. Dia sungguh-sungguh membujuk hatinya saat ini.
“Steph, kasih aku kesempatan lagi, please. Mau kan, kita mulai semua dari awal? Aku nggak takut menghadapi Saudara-saudaramu. Aku bakal buktikan ke mereka kalau aku serius. Sekarang, aku perlu telinga kamu buat dengar semuanya, langsung dari aku. Setelah itu, kamu mau tanya apa pun, aku janji bakal jawab. Semuanya. Tanpa terkecuali,” lanjut Daniel, seolah enggan menyia-nyiakan peluang untuk bicara.
Ibarat korban penodongan, Stephanie sudah dalam mode pasrah.
Ia membiarkan cerita Daniel tentang masa lalunya mengalir. Hal-hal yang melatar belakangi kepergian Daniel ke Kaifeng, pertemuan dengan Inge, sampai ketika dia membuntuti Ketiga Saudara Stephanie yang tampak panik dan kebingungan.
Stephanie tak hendak membantah, mendengar penuturan Daniel, membaca ekspresi wajah Cowok itu, mengamati gestur Daniel, asa yang telah lama digerusnya itu, mencuat kembali. Dan kali ini datangnya dengan daya beratus kali lipat.
Rasa nyaman itu mengalir deras memenuhi benaknya, membuatnya membuka sedikit demi sedikit, apa yang terjadi dalam keluarganya. Daniel mendengarkannya dengan penuh perhatian, merangkainya sendiri dengan apa yang pernah disaksikan oleh matanya, serta hasil penelusurannya secara diam-diam, selama ini.
Kala ada sedikit jeda dari penuturan Daniel, mendadak Stephanie teringat akan sesuatu hal yang hendak ditanyakannya.
“Dan, sebentar deh.., tadi kamu tanya ke aku kan, apakah Kak Ardi melarangku juga? Artinya, Kak Ardi pernah melarangmu untuk..,” seolah baru teringat sesuatu, Stephanie menanyakan hal ini.
Daniel tersenyum dan menjawab, “Buatku, itu bukan larangan. Itu hanya peringatan kecil supaya aku cepat menyelesaikan kisah usang yang bisa jadi beban buat langkahku ke depannya.”
Di kejap ini, secara tak sengaja Daniel teringat perkataan Inge kala memutuskan pertunangan mereka, “Seseorang yang masih hidup di masa lalu, tak akan bisa melangkah ke masa depan.”
Dan Daniel mengakui kebenarannya. Mungkin saat itu memang diam-diam dia masih kerap memikirkan Ferlita, dan bisa jadi masih mengharapkan mereka dapat menjalin hubungan kembali.
Ah! Tapi ini beda kasus. Dengan Inge, memang segalanya sudah selesai. Dan semakin terang benderang setelah pembicaraanku dengan Inge, pikir Daniel.
Daniel mengembuskan napasnya perlahan.
“Yang penting, Steph, semuanya sudah terselesaikan dengan baik. Maaf, kalau aku nggak bisa cerita lebih awal soal ini. Kamu tahu kan, bagaimana posisiku waktu itu? Steph, baik Inge, atau Ssiapa pun juga, sudah menjadi masa lalu buatku. Tapi kamu lah masa depanku. Sekiranya semua link sampah itu membuatmu terbeban, akan kuminta orang IT-ku untuk membersihkannya. Semua. Tanpa sisa.”
Hati Stephanie menghangat luar biasa mendengarnya.
Jarum waktu seolah berhenti bergerak. Dia tak menyangka, Daniel sampai tak sabaran begini untuk melangkah maju.
Seorang Daniel Marcello Sanjaya, menyatakan, tepatnya menegaskan perasaan di restaurant hotel, dalam suasana pagi yang sama sekali nggak romantis? Dia ini sudah sangat terdesak waktu, atau justru, ini jawaban doa dan perenunganku belakangan hari ini? pikir Stephanie dalam gundah yang bercampur suka cita.
Jauh di lubuk hati Stephanie, Ia merasa tergelitik, mengingat betapa Daniel telah berusaha membangun suasana romantis ketika mereka berdua makan malam di tepi kolam renang, setelah dirinya kembali dari perjalanan dinas ke Shen zhen kala itu. Apa daya, rencana Daniel memang porak poranda disebabkan adanya sebuah panggilan telepon yang membuat mood-nya hancur.
“Sekarang gantian aku yang tanya. Persoalan apa lagi yang belum kamu ceritakan selain tentang Ryan yang belum sepenuhnya dapat memaafkan Kakakmu, juga yang kutanyakan padamu, bahwa alasan kepahitanmu selama ini adalah karena... sorry, urusan warisan, di mana kamu merasa amat sakit hati karena kamu yang Anak kandung justru tidak mendapatkan hal apa pun? Di bagian mana aku bisa bantu?” tanya Daniel kemudian, memecah sunyi.
Stephanie terdiam sesaat. Rasa perih itu melintas lagi di benaknya. Stephanie berusaha mengundang ketenangan.
Ia melihat arlojinya dan berkata, “Dan, urusan yang berkaitan dengan warisan itu memang belum selesai. Tapi nggak seperti prasangkaku selama ini. Nanti kuceritakan, ya. Aku sudah pikirkan lagi keputusanku ini semalaman. Tapi sekarang, aku perlu siap-siap. Aku mau ke makam lagi. Setelah itu.., eng.., aku mau balik ke Jakarta. Aku mau minta tolong dicarikan kendaraan dulu.”
Mata Daniel berbinar mendengar Stephanie akan kembali ke Jakarta.
“Cari kendaraan apaan sih! Kamu mau berangkat jam berapa? Nanti sekalian saja, aku juga mau ke makam Mamaku. Setelah itu, kuantar kamu pulang,” sahut Daniel.
Stephanie belum menjawab.
“Steph, jangan lari lagi. Jangan pernah, berpikir pun jangan,” pinta Daniel serius.
Stephanie mendesah dengan resah.
“Aku nggak akan mendesakmu, Steph. Aku hanya mau pastikan kamu pulang dengan selamat, ke rumahmu,” tegas Daniel.
Mata Stephanie memejam.
“Dan,” katanya.
“Aku nggak pulang ke rumah. Aku.., belum sepenuhnya siap buat ketemu sama Saudara-saudaraku sekarang. Tadi aku sudah singgung kan, Kak Bobby lagi struggle sama permasalahan rumah tangganya. Istrinya Kak Ardi juga lagi mengandung. Ryan juga belum lama mengalami kejadian nggak enak. Aku nggak mau membebani mereka. Aku mau sewa apartemen sekitar sebulan ke depan. Setelah aku benar-benar bisa kasih jawaban ke Om Danny dan yang lainnya mengenai peninggalan Papa, baru aku balik ke rumah,” sambungnya.
Ya, Semua Saudaraku toh mempunyai persoalan masing-masing. Dengan Pasangan mereka, dengan hidup mereka. Pada akhirnya, aku juga harus menemukan Seseorang yang tepat untuk berbagi. Kamukah orangnya Dan? Mungkinkah kita bisa memperjuangkan hubungan ini tanpa resiko Salah satu di antaranya bakal tersesat di perjalanan nanti? Dan apakah aku punya Pilihan lain jika bukan kamu? Keluh Stephanie dalam hati.
“Sebentar, sebentar! Kamu mau sewa apartemen? Terus, kamu berpikir kamu ini beban? Enggak! Aku nggak setuju! Kamu tinggal di apartemenku saja! Aku nggak mau ya, mengambil resiko kamu ilang-ilangan lagi seperti kemarin,” omel Daniel macam Emak tiri yang mendapati Anak kandungnya kalah bersaing dengan Anak tirinya dalam memperebutkan cinta seorang Cowok tajir melintir.
Stephanie menatap tajam.
“Tinggal di apartemenmu? Sama kamu? Ngaco! Siapa yang mau? Bisa digantung di tugu Monas aku, sama Semua Saudaraku!” tolak Stephanie mentah-mentah.
Daniel mengibaskan tangannya.
“Steph, dengar! Aku nggak lagi negosiasi sama kamu. Kamu tinggal di salah satu unitku. Atau lebih enaknya mungkin di unit yang aku tempati sekarang. Titik. Aku suruh orang ambil access card sama kunci cadangan di rumah Orang tuaku supaya bisa dibersihkan sekarang juga. Aku bisa tinggal di unit lain, di tower yang sama.”
Usai berkata begitu, Daniel langsung menghubungi Seseorang, memberikan sejumlah instruksi tanpa meminta persetujuan Stephanie.
“Hei, apa-apaan ini? Aku belum bilang setuju,” protes Stephanie usai Daniel mengakhiri panggilan teleponnya.
“Steph, kamu kenal Serena, kan, salah satu Personal Asistenku? Coba sekali-kali kamu tanya ke dia deh, apa aku suka dibantah?” kata Daniel datar.
Stephanie tersenyum kecut.
Lalu Daniel melanjutkan, “Steph, ini buat kebaikanmu sendiri. Aku tahu kamu masih galau. Makanya aku nggak rela bmembiarkan kamu tinggal di tempat yang aku juga nggak bisa jamin keamanannya. Aku tahu, apartemen milik Orang tuamu banyak, dan kamu bisa saja tinggal di salah satunya. Tapi kamu memang sengaja, kan, mempersiapkan hati dulu sebelum ketemu sama Saudara-saudaramu? Mana bisa aku biarkan kamu was-was, seperti Pencuri yang takut ketahuan, sewaktu mencari apartemen? Itu nggak bagus buat kesehatan mentalmu, Steph!”
Daniel menjeda sesaat, sebelum kemudian berkata lagi, “Sudah, kamu tinggal di unitku yang sekarang saja. Satu yang kamu perlu perhatikan, jangan lupa kunci dan gerendel pintu, selama kamu berada di dalam unit. Dengan begitu, kamu nggak perlu takut aku bakal mengendap masuk ke dalam unit karna aku juga mempunyai kuncinya. Itu juga nggak baik buat ketentraman pikiranmu dan kualitas istirahatmu, kan?” Dari mendengarkan secara saksama, akhirnya wajah Stephanie bersemu merah, mendengar kalimat penutup dari Daniel.
Stephanie menggelengkan kepalanya.
Ditahannya senyum gelinya.
Tetep deh! Dasar Cowok random! Gerutu Stephanie dalam hati.
“Apa sih!” Stephanie memalingkan wajahnya. Dia tersipu malu.
Daniel tersenyum simpul.
“Yuk, mau siap-siap buat ke makam, kan?”
Daniel mengulurkan tangannya.
Apa lagi yang dapat Stephanie lakukan, selain mengangguk setuju? Rasanya, detik ini sebagian beban di hatinya terangkat begitu saja.
*
^ * Lucy Liestiyo * ^