Tentu saja Daniel terkejut luar biasa. Ia bergerak spontan. Dengan tiga kali langkah panjangnya, Daniel berhasil mencapai posisi dimana Stephanie ambruk.
“Astaga! Steph!” Daniel lekas menghambur.
Agak ragu, disentuhnya bahu Stephanie.
“Steph! Geez, kamu pingsan?” seru Daniel ketika melihat mata Stephanie terpejam dan Gadis itu tak bereaksi sama sekali kala dia mengguncang pundaknya.
Tak sengaja tangan Daniel menyentuh keninga dan leher Stephanie. Ia makin terkejut mendapati kening dan leher Gadis itu ternyata panas. Satu hal saja yang membuatnya sedikit terusik, yakni kenyataan bahwa Gadis itu seolah enggan melepas sebuah kotak di tangannya.
Tanpa pikir panjang Daniel membopong Gadis itu.
Walau perasaannya campur aduk, antara lega karena telah menemukan Stephanie namun khawatir mendapati kondisi Gadis itu kelihatannya kurang baik, dia masih sempat menatap sekilas makam kedua Orang tua Stephanie, seolah dia berkata, “Om, Tante, maaf saya ijin untuk membawa Steph. Saya janji akan menjaganya sebaik mungkin.”
Daniel berusaha untuk mempercepat langkahnya menuju tempat parkir agar mereka berdua tidak terlalu lama kehujanan.
Sewaktu Daniel hampir mencapai mobilnya, dirasanya tubuh Stephanie sedikit bergerak. Dia tak tahu pasti, haruskah merasa lega, atau justru harus menambah tingkat kewaspadaan, sebagai antisipasi apabila Gadis itu akan pergi lagi.
Lekas dibukanya pintu mobil dengan sebelah tangannya lantas menahan agar pintu itu tetap terbuka dengan punggungnya.
Daniel langsung memosisikan Stephanie di jok samping pengemudi.
Tak dinyana, mata Gadis itu terbuka saat Daniel memasangkan safety belt.
“Steph, kamu demam. Kita ke rumah sakit sekarang, ya,” ucap Daniel yang segera menutup pintu mobil dan beralih ke sisi lain mobil.
Di saat itulah, tampaknya Stephanie telah benar-benar mengumpulkan segenap kesadarannya.
Hati Stephanie bertanya-tanya benarkahyang ada di hadapannya itu adalah Daniel dan bagaimana mungkin Daniel bisa berada di tempat tersebut? Stephanie berusaha mengingat-ingat apa yang telah terjadi dengan dirinya. Perkataan Daniel yang menyebut bahwa dirinya demam, bagai terngiang-ngiang di telinga Stephanie.
Tadi itu kenapa? Aku sempat pingsan? Masakan aku selemah itu? Enggak, selama seminggu ini aku sudah berhasil menutup akses Orang-orang terdekatku dengan tujuan agar tidak ada pengaruh apa pun dari luar atasku. Aku butuh sendiri. Dan bukannya aku sudah mulai memaksakan diriku agar dapat berpikir jernih di sepanjang minggu ini? Ya, meskipun... sulit kuakui, bayangan Daniel malah makin rajin mengusik. Benarkah usahamu sekeras yang aku saksikan di sejumlah mimpi malamku, Dan? Sungguhkah apa yang kulihat di sana, bahwa kamu sudah menuntaskan urusan yang berkatian dengan masa lalumu? Atau jangan-jangan, itu hanya refleksi atas hasratku semata? Karena alam bawah sadarku mengirimkan signal bahwa diam-diam aku sangat mengharapkan kamu sungguh-sungguh telah ‘selesai’ dengan semuanya itu. Mana yang benar, Dan? Segenap pertanyaan memenuhi benak Stephanie.
Dalam gamang, tangan Stephanie menggapai.
Daniel sadar gerakan Stephanie yang tampak hendak memencet tombol safety belt. Dia segera menstarter kendaraannya usai memastikan central lock berfungsi baik. Tanpa ragu, Daniel menggenggam tangan Stephanie.
“Jangan pergi lagi, Steph! Tolong. Aku berhutang banyak penjelasan padamu, Steph. Banyak juga yang harus kutanyakan padamu. Tapi yang terpenting sekarang, kamu sehat dulu. Steph, satu hal yang kamu perlu tahu, aku sudah janji pada Mamaku dan Kedua Orang tuamu, untuk menjagamu selamanya,” kata Daniel sambil menatap Stephanie secara intens.
Stephanie mengelak dari tatapan Daniel.
Perasaannya campur aduk.
Ia sungguh belum siap dengan pertemuan macam ini dan dalam keadaan seperti ini pula.
Dan hati Stephanie tergetar bersamaan dengan momen kala telinganya mendengar ucapan Daniel yang terdengar amat mantap dan penuh ketulusan, “Steph, I love you. Asal kamu tahu, aku sudah akan mengatakan ini sewaktu kita dinner di pool side waktu itu. Dan asal kamu tahu juga, aku nggak peduli kamu mau mengakui perasaanmu ke aku atau nggak, yang jelas aku yakin, perasaan kita sama. I will not let you go from me anymore. Never!”
Stephanie membuang tatapan matanya ke samping dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sulit bagi Stephanie untuk memehami apa yang tengah terjadi.
Dia sungguh tak menyangka, Daniel yang lebih dahulu menemukannya, bukan salah satu dari Ketiga Saudaranya.
Namun yang lebih mencengangkan buatnya adalah pernyataan Daniel barusan. Ucapan verbal yang pernah sekian lama dinantikan olehnya. Mana pernah dia menyangka, justru di pelataran parkir pemakaman Orang tua mereka, dia mendengar kalimat Daniel tersebut. Alangkah sulit disangkalnya, selintas gamang dan kecewa mengusik, di antara harapan yang membuncah.
Stephanie mendadak gugup.
Secuil ragu mengusiknya.
Cukupkah usaha kerasmu mencariku ini sebagai bukti kesungguhanmu, memandang hubungan kita yang membingungkan itu? Lalu darimana aku tahu bahwa kamu sungguh-sungguh? Benar, aku telah sekian lama menanti kalimat verbal darimu. Dulu kupikir, itu bisa menghalau keraguanku. Tapi bagaimana kalau mendadak kamu pun ghosting seenaknya seperti kemarin? And one more thing, Dan, it’s not the right time. Benar-benar bukan saat yang tepat untuk memikirkan atau malah berfokus untuk menjalni hubungan denganmu, batin Stephanie lelah.
Stephanie mengembuskan napas perlahan lalu menyahut lirih, “Dan, kamu nggak tahu betapa rumitnya situasiku saat ini.”
Daniel mempererat genggaman tangannya.
“Kamu benar. Aku memang nggak tahu pasti detailnya. Tapi rasanya aku bisa mengaitkan beberapa kejadian yang kulihat sendiri. Ini, menyangkut almarhum Papamu, kan?”
Stephanie tidak menyahuti Daniel. Ia membisu saja.
Danie tak kehabisan cara.
“Steph, kita lewati sama-sama semuanya.”
Usai berkata begitu, Daniel mulai menjalankan kendaraannya.
Stephanie tetap bungkam. Gadis iti bahkan merasa perkataan Daniel mengombang-ambingkan perasaannya.
Aku tahu saat ini pasti tiba, saat di mana aku nggak bisa menghindar lagi dan harus membuka diri, pikir Stephanie pasrah, seriring sakit kepala yang terasa selintas.
“Dan, mau kemana ini?” Stephanie setengah mengeluh.
“Aku sudah bilang, mau ke rumah sakit terdekat. Kamu harus diperiksa,” tegas Daniel.
Stephanie menggeleng.
“Nggak usah. Aku cuma perlu istirahat. Tolong drop aku ke hotel tempatku menginap saja. Yang arah ke Jakarta,” tandas Stephanie lalu menyebut nama hotel termewah di kawasan itu.
Kening Daniel berkerut ketika menoleh ke samping sesaat.
“Jadi selama ini kamu menginap di hotel? Astaga, Steph! Kamu tahu tidak? Semua Saudaramu panik kehilangan kamu. Bi Sum malah seperti alergi waktu melihat kedatanganku. Aku..., saat aku datang dan menanyakan apakah kamu sudah kembali ke rumah, Bi Sum malahan masuk ke dalam rumah dan nggak menyahutiku,” Daniel setengah mengeluh.
Stephanie tidak berkomentar. Dia tengah menduga-duga, sejauh mana Daniel mengetahui permasalahannya, bagaimana serta kapan Daniel menemui Saudara-saudaranya. Namun, sontak dia teringat sesuatu.
“Dan, kamu lihat kotak nggak? Kira-kira sebesar ini,” Stephanie memeragakan dengan kedua tangannya.
Daniel menoleh ke belakang sesaat, berusaha menjangkau sesuatu dari jok tengah, tapi dia kesulitan karena harus berkonsentrasi mengemudi.
Stephanie segera tahu bahwa Daniel meletakkan kotka yang dicarinya di jok belakang.
“Aku saja yang ambil. Syukurlah. Tadi kupikir ketinggalan di makam. Aku sudah panik,” cetus Stephanie diiringi tarikan napas lega.
“Kotak itu penting sekali ya, Steph?” tanya Daniel begitu melihat betapa protektifnya Stephanie memegang kotak yang baru saja diambilnya dari jok tengah.
Stephanie diam saja. Kepalanya menunduk.
Daniel sudah tak sabar lagi. Diluapkannya semua unek-uneknya yang selama ini tertahan.
“Kamu kemana saja sih, Steph? Aku telepon berkali-kali ke telepon seluler kamu begitu urusanku selesai, tapi nggak pernah diangkat sama kamu. Aku berusaha meninggalkan pesan dan bertanya kapan aku bisa telepon kamu dan minta kamu kasih tanda kalau aku bisa hubungi kamu, juga nggak berjawab. Kamu tahu nggak, urusan yang aku pikir bakal ribet dan ruwet, ternyata selesai dalam hitungan jam. Wah! Jauh melebihi harpaanku. Makanya aku langsung telepon kamu. Aku pikir kita bisa ketemu di Hong Kong begitu urusan Keluargamu selesai. Tapi karena nggak ada jawaban, aku langsung percepat jadwal kepulanganku,” kata Daniel.
Mata Stephanie memejam kala berkata, “Aku nggak tahu ketinggalan di mana. Tanteku juga nggak tahu padahal sudah aku tanya.”
Daniel manggut-manggut.
“No wonder. Pak Adji bilang, Orang kantormu juga nggak bisa kontak kamu.”
Daniel mengerling sekejap.
Stephanie mengurut keningnya. Secuil kesadaran mengentaknya.
“Orang kantor telepon aku? Juga Pak Adji? Apa ada masalah sama ordernya? Nanti aku hubungi Rio untuk tahu lebih rinci. Tapi nggak sekarang. Aku agak pusing, mau istirahat dulu beberapa jam,” ucapan Stephanie terdengar seiring isyaratnya agar Daniel memperlambat laju kendaraan yang dikemudikannya.
Plang hotel telah terlihat. Sepertinya Stephanie takut tujuan mereka terlewat.
Daniel mendesah pelan.
Dalam keadaan begini kamu masih mencoba bersikap profesional? Astaga, Steph! Batin Daniel sambil menggelengkan kepala dengan gemas.
“Nggak ada masalah kok sama ordernya. Aku yang minta ke pak Adji untuk mencari tahu kapan kamu masuk kerja lagi. Kamu ganti nomor?” tanya Daniel penasaran, sambil membelokkan mobilnya, memasuki pelataran parkir hotel yang ditunjuk oleh Stephanie.
Stephanie kembali mengerutkan keningnya, lantas menggeleng.
“Maksudnya apa? Kamu ganti handset tapi pakai nomor yang sama?” kejar Daniel.
Stephanie menjawab dengan wajah lelah, “Aku lagi nggak pegang telepon seluler.”
Hampir saja Daniel melongo.
Seorang Tenaga Marketing, bisa-bisanya tidak memegang telepon seluler? Ya oke, memang saat ini kamu sedang cuti. Tapi rasanya..., aneh! Pikir Daniel.
Daniel langsung mengaitkan sikap seolah agak cuek ini dengan beratnya persoalan yang tengah mendera Stephanie.
“Steph..,” panggil Daniel seusai memarkir kendaraan dan bergegas membukakan pintu untuk Stephanie.
Stephanie mengembuskan napas dengan berat, seolah memberi isyarat supaya Daniel segera pergi.
“Dan,” ucapnya.
“Ya, Steph,” sahut Daniel lunak.
“Thanks, sudah mau mengantarkan aku kemari. Tolong kasih aku waktu. Sedikit waktu lagi aku pasti ceritakan semuanya. Lagi pula, aku harus mengganti pakaianku yang basah kena air hujan dan juga kotor kena tanah dan debu ini kan?” ucap Stephanie lirih.
Daniel mangangguk singkat.
“Aku ngerti, Steph. Ayo, aku cuma mau antar kamu ke dalam. Kamu yakin, nggak mau ke dokter? Atau, kamu perlu obat apa?” tanya Daniel penuh perhatian.
“Nggak. Aku rasa aku cuma perlu tidur beberapa jam,” ucap Stephanie sambil melangkah menuju meja Receptionist dan mengambil kunci kamarnya.
Daniel masih menyertai Gadis itu.
“Steph, kalau kamu memang mau istirahat dulu di sini, nggak apa. Tapi tolong, jangan ghosting lagi. Please,” bisik Daniel sambil menatap intens, membuat hati Stephanie kembali bergetar.
Hati Stephanie bagai berbisik, “Yang ghosting itu aku atau kamu? Ah, sudahlah! Kepalaku benar-benar berat. Aku harus secepatnya istirahat supaya kondisiku membaik. Aku nggak mau memikirkan apa-apa dulu.”
Daniel masih menatapnya lurus.
“Promise me,” ucap Daniel.
Stephanie enggan menanggapi.
“Thanks, ya Dan. Aku tinggal dulu.”
Stephanie segera membalikkan badan, dan melangkah menuju lift.
Daniel hanya memandangi sampai Stephanie masuk ke lift, lantas menghampiri lagi meja Receptionist untuk menanyakan sesuatu. Betapa beruntungnya Daniel, karena berhasil memesan kamar kosong tepat di seberang kamar yang ditempati oleh Stephanie.
Saat Sang Receptionist memberikan isyarat kepada Sang Bell Boy untuk mengantarkan Daniel ke kamarnya, Daniel mengibaskan tangannya.
“Nanti saja. Ada yang harus saya kerjakan dulu,” ucap Daniel dan lekas berlalu dari meja Receptionist itu.
Seolah pantang untuk membuang waktu, Daniel langsung kembali ke mobil, mengarahkan kendaraannya ke area pertokoan. Ada sesuatu yang menuntutnya untuk segera dilakukannya.
Senyum Daniel terulas saat kendaraannya melaju di atas aspal jalan raya.
“Thanks, Mom. Secara nggak langsung, Mama sudah membantuku untuk menemukan Steph hari ini. Ini artinya, Mama setuju aku sama Steph, kan? Aku nggak akan mengecewakan Mama. Aku janji, Ma,” gumam Daniel penuh syukur.
Senyum Daniel kian lebar, karena mendapati bahwa harapan itu semakin nyata.
*
$ $ Lucy Liestiyo $ $