Yang Kutandai Harus Kumiliki

1610 Kata
"Apa! S-Suami?" Wooseok terperangah, kini baru dia mengerti sebutan "Wanita Gila" itu bukan rumor belaka. Wanita ini jelas memang sudah gila. Bagaimana bisa dia memperkerjakan seseorang untuk menjadi suaminya? "Siapkan saja CV mu, Sekretaris Kang akan mempersiapkan kontrak, dan Kau bisa tanda tangani secepatnya." "Kenapa Kau enteng sekali bicara seperti ini? Menjadi suami? Pekerjaan katamu?" Joana tersenyum sinis. Sebenarnya dari kecil Joana sudah belajar tentang bisnis. Dia akan melakukan perhitungan cermat sebelum memulai sesuatu. Rugi, tak ada dalam kamusnya. Karena itu dia tak pernah ingin menikah. Menurut perhitungannya, menikah mengurangi waktu produktifnya, Suami adalah beban, dan jatuh cinta adalah sebuah kerugian. "Iya, pekerjaan yang menguntungkan. Untukmu dan untukku, tak perlu banyak berpikir. Cukup tanda tangan kontrak saja." "Maaf, Aku tidak bisa. Permisi!" Wooseok merasa kesal. Dia ingin pergi dari ruangan itu secepatnya. Dengan segera dia berbalik. "Bocah bodoh!" Suara Jo membuat langkah Wooseok terhenti. "Berani-beraninya menolakku. Dari yang kulihat, Kau hanyalah orang miskin. Kau tak mau hidup enak? ingin jadi sampah selamanya?" Ini kelebihan Joana yang pertama. Dia sangat ahli menghina orang lain. Wooseok mengepalkan tangannya. Berusaha untuk tetap tenang. "Aku tau Kau kaya. Tapi Kau tak bisa membeliku. Bagiku, pernikahan adalah hal yang penting. Aku takkan melakukannya dengan sembarang orang. Permisi!" Wooseok keluar dari ruangan Joana. Sekretaris Kang menelan ludahnya, lalu bersiap menutup kupingnya. Dia tahu pasti, Joana pasti akan mengamuk. Prang! Kelebihan Joana yang ke dua. Dia pintar menghancurkan barang. Kali ini figura yang berisi penghargaan perusahaan baru saja menjadi serpihan di lantai. "Dia menolakku? Dia bilang Aku sembarang orang? sibodoh itu!" Kepala Joana seperti akan meledak. Tangannya meraih satu lagu figura dari mejanya. Sekretaris Kang langsung dengan sigap merebut figura tersebut dari tangan Joana. "Secretaris Kang! Kau mau mati?" Joana semakin kesal. "M-maaf Nona, Ini hadiah dari Tuan Jinyoung." Sekretaris Kang menjauhkan benda tersebut dari jangkauan Joana. "b******k!" Joana kembali mencari sesuatu yang bisa dia hancurkan. "Jangan Nona! Itu miniatur menara milik Tuan Besar!" Sekretaris Kang sekali lagi menyelamatkan satu barang dari amukan Joana. "Aaaa! b******n! b******k!" Joana mengacak-acak rambutnya. Emosinya memang seperti itu. Sangat mudah tersulut, dan sangat mudah meledak. "Tenanglah Nona. Aku akan mencari orang lain. Biarkan tukang kopi itu. Dia hanya anak lugu." "Tidak! Aku sudah menandainya, dan aku harus mendapatkannya! Kang Juri. Aku beri waktu tiga hari. Kau tau apa yang terjadi jika aku tidak mendapatkannya?" "A-Aku akan mati? Nona, berhentilah menyuruhku mati. Aku hanya punya satu nyawa." "Makanya! Lakukan dengan benar. Tak bisa dibeli dengan uang katanya? Akan kutunjukkan kekuatan uang yang sebenarnya." *** Wooseok menatap layar ponselnya. Dua panggilan tidak terjawab, Wooseok menghubungi penelpon itu kembali, sambil mondar-mandir di tempatnya berdiri. “Hallo Oppa." Terdengar suara lembut keluar dari ponsel Wooseok. “Seulgi, kau tadi menelepon?” "Oh, Hanbi yang menelepon, tunggu sebentar." Wanita bernama Seulgi itu, menyerahkan ponsel kepada seseorang. "Hallo Oppa!" “Hanbi, Kau meminjam ponsel Seulgi Eonni?” “Iya Oppa, Seulgi Eonni sedang di rumah membawakan kimchi untuk Ibu.” “Wah, kalian sekarang sedang makan kimchi? enak sekali, kenapa menelepon Oppa?" “Mm ... Oppa … Tuan Rumah datang meminta uang sewa. Dia galak sekali. Membawa beberapa anak buahnya." “Benarkah? Hanbi dan Ibu baik-baik saja kan? Mereka tak menyakiti kalian kan?" “Kami baik-baik saja. Seulgi Eonni datang, dan membuat mereka pergi." "Baiklah, sebentar lagi Oppa pulang, Oppa Akan bereskan semua kekacauan ini." “Janji? Oppa harus marahi mereka, karena telah membuat Ibu takut." “Iya Tuan Putri. Oppa janji. Berikan teleponnya ke Seulgi Eonni." Wooseok komat-kamit menghitung pengeluaran dan sisa uangnya saat ini. Rumah yang dia tempati menunggak hampir 3 bulan, dan dia belum cukup dana untuk melunasinya. "Hallo Oppa." Suara dari telepon menghentikan otak Wooseok yang saat ini tengah kalut. Suara itu mampu membuatnya tenang, dan kembali tersenyum. "Seulgi, terimakasih lagi untuk bantuan hari ini." "Kenapa harus berterimakasih segala? Aku dengar Oppa menunggak sewa? Aku bisa membantu. Pakai saja uangku." "Tak apa. Aku akan mendapatkan uangnya. Aku tak bisa menyusahkanmu lagi." “Aku tidak keberatan oppa." “Tidak Seulgi, terimakasih. Kau tak perlu khawatir, aku pasti mendapatkan uangnya. Baiklah, Aku harus kerja. Tutup dulu ya." "Baik Oppa. Tapi jangan memaksakan diri. Aku akan selalu membantumu." Wooseok menutup telepon, Dia menghela nafas putus asa. Tak terhitung lagi entah berapa kali Seulgi membantunya. Kadang dia merasa tak enak hati. Karena menyusahkan wanita itu berkali-kali. Seulgi, sahabat sekaligus cinta pertamanya. Wooseok ingin menjadi laki-laki dewasa yang membanggakan, yang bisa diandalkan. Tapi, yang terjadi malah kebalikannya. Wooseok hanya Wooseok. Prajurit paruh waktu yang tak pernah menang dalam pertarungan apapun. *** Wooseok berjalan linglung. Tubuh dan pikirannya tak berada disatu tempat. Sesekali kakinya tersandung, kadang tak sengaja dia mengupat. Tapi, setelah menghirup nafas beberapa kali, dia kembali tersenyum lagi. Suara tawa beberapa gadis muda di depan supermarket menghentikan langkahnya. Sambil menambah kehangatan dari senyumnya, Wooseok berlari mendekati tiga orang gadis yang sedang berkumpul tersebut. "Kalian belum pulang juga? Sudah jam berapa ini?" Wooseok memasang wajah serius. Tiba-tiba tiga gadis itu cekikikan. "Hahaha, Oppa. Wajah seperti itu tak cocok denganmu." Ucap seorang gadis berkucir kuda, dengan lolipop besar di tangannya. Wooseok tersenyum lembut. Dia memang tak bisa memarahi mereka. Walau mereka berkumpul jam segini dengan masih mengenakan seragam sekolah. "Jadi wajah apa yang cocok denganku Hyemi? Begini?" Wooseok nyengir kuda. Menampakkan giginya yang putih dan memasang raut wajah konyol. Hyemi yang memang selera humornya sangat rendah, tertawa terbahak-bahak. "Oppa, berhenti bertingkah konyol." Hanbi memukul bahu kakaknya. Wooseok menuruti adiknya tersebut dengan kembali tersenyum normal. "Tapi Wooseok Oppa, Selalu tampan, mau bagaimanapun konyolnya." Bora, Gadis berpipi chubby tersebut, mengacungkan jempolnya ke arah Wooseok. Wooseok menatap Hanbi, sambil menaik-naikkan alisnya, karena berbangga diri. "Oppa, Tak ada seorangpun yang menurut Bora tak tampan, bahkan kucing di pasarpun dia sebut tampan." Wooseok berhenti tersenyum, Hanbi dan kedua temannya cekikikan melihat ekspresi Wooseok. Beberapa detik kemudian, Wooseok memeriksa jam tangannya. "Hm. Kalian gadis-gadis nakal, berhenti tertawa dan pulang sekarang. Sudah jam 9 malam dan kalian masih nongkrong dengan seragam?" "Oppa, kami baru pulang les." Hanbi memonyongkan bibirnya. "Iya, Oppa tau. Jadi sekarang semua pulang karena lesnya sudah selesai. Ayo pulang, Bora, berhenti makan dan pulang, Hyemi, kenapa makan lolipop sebesar itu? kau bisa kena diabetes. Cepat semuanya pulang." "Hanbi, majalahnya." Hyemi memberikan majalah dengan cover berwarna dark kepada Hanbi. "Ya Ampun, hampir lupa Wonderful Lady ku." Hanbi memeluk majalah itu erat. "Karena Wooseok Oppa tampan, bagaimana jika dijodohkan dengan Wonderful Lady?" Bora berlonjak seketika, dengan antusias dia memasukkan segenggam keripik ke mulutnya, sambil mengacungkan jempol ke arah Hanbi. "Tidak bisa! Mana mungkin Wonderful Lady dibandingkan dengan Wooseok Oppa, Kalian mau mati? Mau kupecat?" Hening sejenak, Wooseok menatap mereka tak mengerti. Beberapa detik kemudian, mereka tertawa terbahak-bahak. Wooseok menggaruk kepalanya. Karena masih saja tak mengerti dengan apa yang mereka tertawakan. "Kalian kenapa? Apa maksudnya Wonderful Lady?" "Oppa juga tak akan mengerti, walau dijelaskan, ayo kita pulang, sampai jumpa besok di sekolah teman-teman." Mereka saling melambaikan tangan. Hanbi berjalan riang, menatap majalah di tangannya. Wooseok mengikuti Hanbi dari belakang sambil mengintip. "Baca apa? Kenapa senyum-senyum begitu?" Wooseok penasaran. "Ah, Wonderful Lady, The Queen Of Fashion. Dia keren sekali Oppa. Wanita terkeren yang ada di jagat raya ini." "Ck. Wanita seperti apa yang terkeren sejagat raya? Memangnya secantik apa?" "Cantik. Very Beautiful. Lebih cantik dari Seulgi Eonni hehehe." Wooseok merampas majalah dari tangan Hanbi. "Siapa yang lebih cantik dari Seulgi?" Karena penasaran dia membuka majalah tersebut. "Ya Ampun Oppa. Tak perlu lihat ke dalam, Cover majalahnya kan ada." "Oh, maaf, Oppa tak memperhatikan hehehe." Wooseok cengengesan, senyumnya masih terhias tatkala membalik majalah tersebut. Namun, begitu melihat cover majalahnya, senyumnya perlahan menghilang. "Maksudnya Dia? Wonderful Lady?" Wooseok menatap Hanbi tak percaya. "Iya, Nona Lee Joana. Hanbi ingin menjadi seperti dia." "Park Hanbi! Kau tak boleh jadi seperti dia. Tak boleh!" Hanbi terdiam. Dirampasnya kembali majalah dari tangan Wooseok. "Memangnya kenapa? Nona Lee keren. Dia mandiri. Tidak bisa diintimidasi orang-orang. Dia wanita terhormat." Hanbi tampak kesal. Wooseok menghelas nafas. Lalu mengelus kepala Hanbi. "Maaf sudah bicara dengan nada tinggi. Tapi, memangnya dia ini ..." Wooseok kembali menatap cover majalah itu. Tampak Joana mengenakan stelan serba hitam, bibir merah, dengan wajahnya yang sangat tidak ramah. "Hanbi benar-benar menyukai orang ini?" Tanya Wooseok kemudian. Hanbi mengangguk, lalu memeluk majalahnya. "Dia idolaku. Dia adalah satu-satunya orang yang membenci dan dibenci media. Tapi berita tentangnya selalu nomer satu. Hebat kan Oppa?" "Ya Ampun, hebat dari mananya. Dia ini monster, andai Hanbi tahu." Wooseok menggelengkan kepalanya. "Hanbi, sejak kapan Kau memakai sepatu seperti ini?" Wooseok terhenti sejenak menatap kaki adiknya yang mengenakan sepatu dengan telapak hampir lepas. "Oh. Hehehe mungkin lemnya lepas. No Problem Oppa, Hanbi akan perbaiki." Hanbi tersenyum lalu sibuk lagi dengan majalahnya. Wooseok merasa getir. Bahkan tas Hanbi pun terlihat sudah tak layak pakai lagi. "Oppa akan belikan tas dan sepatu baru. Bertahanlah." Batinnya. *** Wooseok mondar-mandir mencari Sutradara Song. Dia berniat meminta gaji di muka, karena ingin membelikan sepatu untuk Hanbi. "Wooseok." Tampak Sutradara Song melambai dari kejauhan. "Kemari sebentar Aku mau bicara." Wooseok tersenyum lalu segera berlari menghampiri Sutradara Song. "Iya Sutradara Song." Wooseok terdiam sejenak, Sutradara Song masih sedikit sibuk mengatur naskahnya. "Mm ... Sutradara Song, s-sebenarnya ..." "Wooseok, mulai hari ini Kau tak bisa bekerja di sini lagi." Wooseok membatu mendengar pernyataan Sutradara Song. Dia mengingat-ingat apakah ada kesalahan yang dia lakukan. "T-tapi kenapa? Apa Aku melakukan kesalahan?" "Kau tidak melakukan kesalahan. Tapi, ini perintah langsung dari atasan. Maaf posisiku sulit. Ini gajimu, Aku sudah menambahkannya sedikit. Kau boleh pulang sekarang." "T-tapi ..." Wooseok tak bisa berkata apapun. Sutradara Song langsung meninggalkannya. "Kenapa saat seperti ini malah dipecat?" Wooseok memeriksa uang di dalam amplop yang diberikan Sutradara Song. "Setidaknya ini cukup membelilan Hanbi sepatu." Gumamnya. Dari kejauhan Jo menatap Wooseok dengan Smirk nya yang khas. "Sekretaris Kang, waktumu dua hari lagi. Jangan kecewakan Aku." To Be Continue
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN