Perekrutan

1639 Kata
"Bibi Kim!!" Terdengar ruangan Jo dari ruang makan. Bibi Kim yang tadinya memandori para pelayan bersih-bersih, langsung berlari dengan kecepatan 120km/jam dari ruang tengah. "Nona, Anda baik-baik saja?" Bibi Kim memasang sikap elegant. Meski berlari membutuhkah tenaga, nafasnya tak terlihat sesak. Bahkan sepatu ber hak setinggi 3 cm yang dia kenakan, tak menghalangi kegesitannya dan kesempurnaan tubuhnya yang selalu berdiri dengan tegap. "Siapa yang memasukkan sawi ke makananku? Aku benci sawi!" Jo melempar sendok ke dinding. Para pelayan di sekitarnya terdiam. Bibi Kim memberi kode khasnya kepada para pelayan, agar mereka segera melanjutkan pekerjaan mereka. "Nona, mungkin kesalahan pelayan baru. Bibi akan memarahinya nanti." Bibi Kim tersenyum sambil menundukkan kepalanya. "Marahi? tidak! pecat saja. bisa-bisanya dia melakukan kesalahan seperti ini!" "Ini kesalahan pertamanya Nona, Bibi akan..." "Tidak Mau! Pokoknya Pecat!" Joana menggebrak meja. Bibi Kim menutup matanya sejenak, lalu tersenyum kembali. "Nona sebagai kepala pelayan, saya..." "Sebagai kepala pelayan, harusnya Bibi awasi pelayan yang lain! Bibi mau di pecat?" "Jo, berhentilah memecat orang, kau membuat orang-orang takut untuk bekerja di rumah ini!" Tuan Lee keluar dari kamarnya karena keributan yang dibuat Joana. Dia duduk di kursi makan, sambil menggelengkan kepalanya. "Ayah, Aku benci sawi!" Joana mendorong piring di depannya dengan kesal. "Singkirkan saja! makan yang lain. Ada berpuluh-puluh makanan di depanmu, dan kau masih saja mengamuk." "Aish... Bibi Kim, Pelayan itu..." "Jangan coba-coba Jo, tak ada orang yang mau menjadi pelayanmu lagi." "Siapa bilang tak ada? begitu banyak orang yang antri untuk bisa masuk ke rumah ini." Celetuk Jo, Tuan Lee menghela nafasnya, Bibi Kim hanya diam, masih dengan tersenyum, menatap Joana yang menurutnya menggemaskan. "Joana, Besok kau harus bersiap, kita akan ke Amerika." "Untuk apa?" Jo menyandarkan dirinya, Bibi Kim memberi kode kepada pelayan lain, agar menuangkan minuman untuk Tuan Lee dan Joana. "Kau pikir ke Amerika mau apa lagi? tentu saja menemui pamanmu." "Untuk apa menemui paman?" "Untuk membicarakan pernikahanmu dan Jinyoung." Mata Jo terbelalak. Bibi Kim tak kalah terkejut. Kepala pelayan itu menatap ke arah Tuan Lee, dan Tuan Lee menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa yang dia katakan bukan main-main. "Aku dan Jinyoung? menikah? yang benar saja Ayah!" Jo beranjak dari duduknya, berniat untuk meninggalkan ayahnya beserta dengan ide gila tersebut. "Jangan membantah Jo!" "Aku tidak mau menikah! terlebih dengan Jinyoung!" "Jika tak mau dengannya, cari orang lain!" "Aaaa!!! Aaaa!!!" Joana menjerit frustasi, dia mengacak-acak rambutnya, lalu berlari ke kamar. "Tuan, Anda baik-baik saja?" Bibi Kim cemas, karena Tuan Lee terlihat pucat. "Harus bagaimana lagi Aku menghadapi anak itu?" Tuan Lee terlihat putus asa, Bibi Kim menghela nafas. "Tuan, Saya tahu anda mencemaskan Nona. Tapi menjodohkan Nona dengan Tuan Jinyoung itu agak..." "Lalu dengan siapa lagi? siapa laki-laki yang mau menikahinya kecuali Jinyoung?" Tuan Lee memegangi kepalanya. Tubuhnya terhuyung dan hampir jatuh. "Tuan, Anda baik-baik saja? Saya akan panggilkan Dr. Choi." Bibi Kim merogoh handphone dari kantong stelannya. "Tidak perlu. Aku baik-baik saja." "Lebih baik Tuan istirahat, jangan pikirkan Nona, Saya akan menjaganya." Tuan Lee beranjak tanpa bicara menuju kamarnya. Bibi Kim memerintahkan para pelayan membersihkan kekacauan yang dibuat Jo. Bekas lemparan sendok di dinding, meja yang berantakan, semua di bersihkan secara cermat dengan pengawasan Bibi Kim. *** Joana duduk menyilangkan kakinya. Wajahnya serius. Dengan cermat dia menatap desainer di depannya yang memamerkan beberapa asesoris. Sesekali mulutnya mengupat dan sesekali dia menggelengkan kepala. "Nona, ini kesukaan anda fascinator indah dengan batu rubi sebagai pelengkap. Cocok untuk anda yang elegant, bagaimana?" Desainer itu sudah tak tahan, berjam-jam dia berdiri sambil menjelaskan dengan susah payah, yang kebanyakan hanya berakhir dengan penolakan kejam. "Siapa yang menaruh batu rubi merah ke fascinator berwarna biru? siapa yang melakukan ini! mereka sudah gila?" Jo mengepalkan tangannya. Desainer itu segera menyuruh staf yang membawa fascinator tersebut menyingkir. "Nona..." Sekretaris Kang yang sejak 3 jam lalu mengering di belakang Jo akhirnya bergerak juga. "Apa! menurutmu itu masuk akal? fascinator berwarna biru dengan batu rubi merah?" "B-bukan masalah itu Nona. T-tuan..." "Ayah? Kenapa lagi dengan Ayah?" "Bibi Kim baru saja menelepon, Tuan tiba-tiba pingsan." "Bagaimana bisa! Aish, kenapa tak bilang dari tadi! b******k!" Jo segera beranjak, menenteng mantel bulunya. *Floppy Hat yang dia kenakan, mengayun seiring dengan langkah kakinya yang makin cepat. "Dokter Choi sudah dihubungi?" ucapnya panik. "Bibi Kim sudah menghubungi dokter Choi, Nona." Sekretaris Kang setengah berlari membukakan pintu mobil untuk Joana, dan memberi komando pada supir agar segera tancap gas. Sesampainya di rumah, Joana langsung menghambur masuk menuju kamar ayahnya. Mantel bulunya dilempar ke arah Bibi Kim, dan seperti biasa Bibi Kim dengan cekatan menangkap apapun yang dilempar oleh Jo. "Dokter Choi!" Jo hendak menerobos masuk, namun Bibi Kim menghalanginya. “Dokter Choi masih memeriksa Nona. Tenang dulu.” Jo mondar mandir. Uring-uringan tak karuan. Sekretaris Kang juga ikut mondar mandir, sambil menggigit kukunya. Beberapa saat kemudian, Dokter Choi, Dokter keluarga Lee, keluar dari kamar. “Dokter! Apa yang terjadi? Ayahku baik-baik saja kan?” Dokter Choi diam beberapa saat. Joana yang tak sabar langsung memasuki kamar. Tampak ayahnya terbaring lemah, dengan selang oksigen yang membantunya untuk bernapas. “Kenapa ayah bisa begini? Dokter Choi, ayahku kenapa?” “Nona, Tuan Lee mengidap kanker stadium akhir.” Jo terperangah mendengar pernyataan Dokter Choi. Bibi Kim dan Sekretaris Kang tak kalah terkejut. “Yang benar saja! Ayah, berhenti bercanda, bangun sekarang!” Jo mengguncang tubuh ayahnya. “Nona, ini bukan bahan candaan. Tuan Lee benar-benar sakit.” “Sekretaris Kang! Siapkan pesawat. Kita bawa ayah keluar negeri. Dokter, Kau punya kenalan dokter hebat di luar negeri kan? Kita harus lakukan operasi.” “Nona. Bagaimanapun kanker yang telah menyebar ke otak sangat mustahil untuk di sembuhkan. Aku akan mencoba menghubungi temanku yang di Amerika. Untuk sekarang, Nona harus tenang dan berdoa. Cobalah tenangkan hati Tuan Lee dengan membuatnya bahagia. Itu bisa membantu mengatasi penyakitnya” “J-Jo....” Tuan Lee terbangun dan berusaha menatap ke arah Joana. “Ayah! Ayah, semua ini bohong kan? Ayah tidak sakit kan?” “Kau lihat... berhentilah membantah apa yang ku katakana. Jika kau begini terus, aku benar-benar akan mati tanpa melihatmu memakai gaun pengantin.” “Ayah. Hentikan! kau tidak akan mati!” “Hah... Kau tidak mengerti kondisiku Jo. Entah berapa lama lagi aku bisa bertahan.” “Ayah....” Joana terdiam. Tuan Lee menggenggam tangan putrinya erat. “Joana, ayo temui Jinyoung.” “Aku tidak mau! A-Aku....” Tuan Lee melemah. Sekretaris Kang mendekat dan berbisik ke telinga Joana. “Nona anda dengar yang dokter katakan? Anda harus menyenangkan hati Tuan Besar.” Joana berpikir sejenak. Perlahan dia menarik napas dalam. “Baik. Aku akan menikah. Tapi tidak dengan Jinyoung.” “Lalu... dengan siapa? Siapa laki-laki yang bersedia menjadi suamimu selain Jinyoung?” Tuan Lee berusaha mencari jawaban. “Aku punya kekasih.” “Sejak kapan? Akhh....” Tuan Lee merasakan sakit di kepalanya. Jo tampak khawatir. “Ayah tenang saja. Aku janji akan membawa kekasihku. Aku janji akan menikah!” “Baiklah. Ingat... Kau sudah janji. Jika aku mati sebelum itu, kau pasti akan menyesal.” “Auughh... berhenti bicara mati! dan perhatikan infus ditanganmu jangan banyak bergerak. lihatlah tanganmu jadi bengkak!” “Lee Joana. Berhenti bicara tidak sopan. Aku ini ayahmu. Akhh....” “Maaf Ayah. Ayah istirahatlah. Jangan pikirkan apapun. Aku janji akan menikah secepatnya.” Setelah Tuan Lee tertidur, Jo memanggil Sekretaris Kang keruang kerjanya. Sekretaris Kang masuk dengan tidak sabar. Lalu langsung menempatkan kedua tangannya ke atas meja. “Nona. Sejak kapan kau punya pacar? Mengaku saja. Kau punya rencana tersembunyi kan?” “Kau? Kang Juri. Berani-beraninya bicara tak sopan padaku! Kau mau kupecat?” “Nona. Menyebut langsung namaku itu lebih tidak sopan. Aku kan lebih tua.” Sekretaris Kang perlahan berdiri tegak, kemudian membungkuk karena takut. “Kau benar-benar mau kujadikan gelandangan?” “Maaf Nona. Tapi... siapa pacar yang anda maksud? Jangan main-main. Tuan sedang sakit parah.” “Itu tugasmu!” Sekretaris Kang terlonjak lalu menunjuk dirinya sendiri. “Tugasku? Maksud Nona?” “Rekrut saja siapapun. Aktor, model, direktur atau sutradara yang masih lajang. Periksa CV mereka dengan baik. Buat kontrak kerja yang jelas dan tidak merugikan bagiku yang merupakan CEO.” “Nona... Anda benar-benar sudah gila? siapa yang mau menikah dengan cara seperti itu?” “Banyakk! Tawarkan mereka uang. Cari secepatnya dari sekarang!” “Nona!” “Sekretaris Kang! Berhenti mengeluh dan kerjakan tugasmu. Ingat! ini rahasia. Jika bocor...” Joana mendekat lalu menempelkan ibu jari ke leher Sekretaris Kang. “Kau mati!” Joana merapikan floppy hat nya. Lalu berjalan meninggalkan ruangan. Sekretaris Kang mengacak-ngacak rambutnya, serasa ingin menangis. Andai saja dia punya keberanian untuk mengundurkan diri. Mungkin hidupnya tak kan sesengsara ini. *** Wooseok berjalan setengah berlari. Seperti biasa, kedua tangannya penuh menenteng cup kopi. Beberapa langkah dia kehilangan kendali, dan hampir menabrak. “Maaf. Saya sedang buru-bu... Ah Nona fascinator?” Wooseok tersenyum dan hampir melompat dari tempatnya berdiri. “Kau bilang apa? Fascinator? Aku?” Jo menunjuk dirinya sendiri. “Iya. Pertama kali kita bertemu, Anda memakai fascinator seperti sekarang. karena tidak tahu nama Anda jadi saya memanggil anda Nona fascinator.” “Kau aneh sekali. Hmm... namamu?” “Wooseok Nona. Park Wooseok.” “Wooseok. Kau mau menabrakku? Apa kau ingin mati?” “Maaf Nona. Saya benar-benar tidak sengaja.” Wooseok tak sengaja mengangkat kedua tangannya yang menenteng kopi. “Aish... Jauhkan benda ini dariku!” “Ah, Maaf Nona. Anda benci bau kopi. Maafkan Saya.” “Wahhh kau ingat dengan baik. Good. Teruskan seperti itu.” Jo memasuki lift. Pintu lift tertutup. Wooseok perlahan berdiri di depan lift menatap angka yang berjalan hingga angka tersebut berhenti. “Lantai 7? Kenapa Nona artis ini selalu ke lantai 7?” Wooseok berbalik. Otaknya berpikir sambil berjalan pelan. tiba-tiba otaknya terhenti sejenak.. Matanya terbelalak. “Ya ampun! Apa Nona itu CEO? Wanita gila yang selalu dibicarakan orang-orang?” ------------- Ctt : *. Floppy Hat : Topi dengan pinggiran lebar dan lentur.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN