Bab 9. Risau Hati

1800 Kata
Luna mengangguk. “Bicaralah.” “Kenapa kamu tiba-tiba nikah, padahal berita pertunangan kamu di sini udah tersebar. Cari mati saja!" “Sudah kubilang, nggak ada yang lebih berarti dalam hidupku selain Arvin. Dia napasku. Kalau aku kehilangan dia, sama aja aku kehilangan hidupku.” “Lalu, saham itu? Apa aku boleh tahu detailnya bagaimana bisa terhubung-hubung ke sini?” Luna bangkit dari kursi kerjanya, lalu duduk di sofa yang sedikit lebih sejuk karena pemandangan di luar begitu indah. Eun Bi, sahabatnya yang dia kenal beberapa tahun terakhir ini, hanya bisa meyakinkan Luna kalau dia dapat membantu. “Enam bulan yang lalu, sewaktu aku bilang ‘kamu tenang saja, semuanya akan membaik’. Sewaktu aku bilang ‘aku bisa mengatasi masalah perusahaan ini, kamu tidak perlu khawatir’, aku berbohong untuk itu semua padamu.” Eun Bi terkejut mendengar ucapan Luna, “Mwo?!" “Sebenarnya, aku nggak baik. Waktu itu, perusahaan ini benar-benar hampir failit. Bukan cuma akta perusahaan bokap yang ditahan sama Divaska Group, aku terpaksa harus menjual separuh sahamku untuk menutupi biaya kerugian yang kita tanggung karena kinerja kita memburuk. Ya, banyak project mangkrak karena aku fokus ke project si Mirza. Jadi aku menawarkan saham pada Aska Sanjaya." Eun Bin terkejut saat mendengar penjelasan Luna. "Jinjja?" "Hm. Lagian dia waktu itu ngiranya aku pacaran sama Mirza dan beredar gosip bakal tunangan. Mungkin dia juga sebel sama anaknya yang playboy itu. Makanya dia percayakan sahamnya ke perusahaan ini." "Ooh. Eh tapi, jadi maksudnya ini, kalau saham Mirza setengahnya, dia juga direktur di sini, dong!" "Gitu, lah!" jawab Luna, pasrah. "Dan sekarang, setelah kamu batalin pertunangan ini, ternyata hal ini yang menjadi masalah bagimu?” Eun Bi ikut frustasi melihat akibat dari kegilaan Mirza. Pria itu memang sejak awal suka bermain-main. Eun Bi tak menyangka kejadiannya akan sejauh ini. “Ya, Mirza menuntut haknya atas perusahaan ini karena dia punya separuh saham. Tapi ... itu karena aku kehilangan surat kuasa itu. Jadi sekarang, aku nggak tau di mana dia menyimpan surat itu. Kalau aja aku bisa menemukan surat itu, ini semua nggak akan menjadi masalah.” Luna meninggalkan posisi kursi itu, lalu duduk di sofa untuk mengurai rasa lelahnya. "Aku tau Mirza sama sekali nggak menginginkan jabatan ini. Dia sama sekali nggak tertarik akan posisi sebagai direktur. Dia cuma mau menempel terus padaku. Tau, lah! Playboy cap karet. Cuma aku yang nggak bisa dia taklukkan” Raut Eun Bi terlihat murung, seperti menyimpan sesuatu. Dia menatap kasihan pada Luna di sana. “Aku capek. Aku nggak mau mikirin itu dulu dan bertindak gegabah lagi. Aku harus pikirin cara buat naklukkin Mirza." Eun Bi berwajah simpati pada sahabatnya itu. Meskipun dari negara yang berbeda, mereka berjumpa dan bersahabat ketika mereka kuliah di negeri sakura ini. Eun Bi yang kini juga merangkap sebagai sekretaris Luna hanya berusaha membantu sebisanya. Karena dia yakin, masalah ini cukup berat kalau hanya ditanggung seorang diri. Ya, Luna tahu itu. Awalnya, akan terasa sedikit ringan karena ada senyuman dan cinta Arvin. Siapa sangka, Arvin malah merasa lain. Mereka bertengkar. Andai dia tahu saat ini Luna punya masalah yang lebih berat, dia takkan bersikap seperti itu. Hanya hati yang saat ini tak ingin berkompromi dengan cinta. * Siang hari itu udara sedikit dingin. Arvin masih menikmati jalan-jalan kecilnya bersama Yumi, sahabat barunya di Kota Otaru ini. Liburan yang menyenangkan. Setelah beberapa jam ketika tiba di Otaru Aquarium, Arvin sedikit melupakan kesedihannya. Dia melupakan kekesalannya karena candle light dinner yang gagal total. “Setelah ini, kamu mau pulang?” tanya Yumi. “Pulang apanya? Kita belum makan siang.” Yumi tersenyum, tipis. "Nanti istrimu pulang dan kamu nggak ada, gimana?" Arvin hening sesaat. Dia mencoba tersenyum, tegar. “Dia pasti lagi sibuk. Lagian, dia nggak akan pulang sebelum malam.” “Ya udah, kita cari restoran di dekat sini aja." Yumi mengajak Arvin mencari tempat makan yang mungkin bisa menyumpal bunyi keroncongan perut mereka. Di suasana manis ala Jepang itu, Arvin tersenyum ceria. Sensasi rasa baru yang belum pernah dia coba. Yumi adalah orang kedua yang mengajaknya menyantap keanekaragaman masakan Jepang di kota indah ini. “Kamu nggak mau nelepon dia dulu?” tanya Yumi. Arvin tertegun, suapan sushi dari sumpitnya tak jadi dia masukkan ke mulutnya. “Aku bodoh, ya? Aku marah segitunya sama dia, lalu menghukum dia dan nggak mau bicara dulu sama dia. Padahal kalau dia tau, sekarang aku menyesal, kangen juga sama dia.” “Ya udah, kamu hubungi aja dia!” Arvin mengambil ponsel-nya, ingin menghubungi Luna. Lantas, dia tertahan. “Ah, nggak, aku udah bilang gitu ke dia. Biar aja aku kerjain dulu!” "Kamu kekanakan banget, sih!" ejek Yumi. Yumi tertawa, lantas melahap lagi hidangan Jepang yang begitu lezat. Ketika hendak memasukkan makanan dengan sumpit ke mulutnya, Arvin memegang tangannya. “Ada apa?” Arvin tersenyum. “Pinjam ponsel-mu!” “Ponsel-ku? Untuk apa?” “Aku, kan, nggak bisa nelepon dia, tapi seenggaknya aku mau dengar suara dia. Tadi pagi sebelum dia bangun, aku udah pergi ninggalin rumah.” “Kimi no katte da*! (Terserah kau saja)." Yumi meletakkan sumpit dan menghentikan sejenak aktifitas makannya. Dia mengeluarkan ponsel dari saku jins-nya. “Berapa nomor ponsel-nya?” “Sini!” Arvin mengambil ponsel Yumi dan menekan nomor ponsel kekasih hatinya yang tentu dia hapal. Setelah nomor muncul di layar ponsel, dia memberikan pada Yumi. Yumi hanya geleng-geleng kepala melihat wajah Arvin yang sedikit nervous, dia menelpon nomor ponsel Luna. “Moshi-moshi (halo)!” Suara seorang pria terdengar dari seberang telpon. Saat ini ponsel Luna masih ada pada Mirza. Yumi menahan ponsel-nya dulu dan melihat ke arah Arvin. “Kamu yakin, ini nomor ponsel istrimu?” Arvin menunjukkan raut bingung akan maksud pertanyaan Yumi. “Iya, lah!” “Tapi ....” Arvin segera mengambil ponsel milik Yumi karena dia penasaran. “Halo, mana Luna?” seru Arvin. “Ya ..., siapa ini?” jawab Mirza dari seberang sana. “Seharusnya saya yang bertanya, bukannya ini nomor hape Luna?” Arvin mulai kesal dan marah karena ponsel istrinya diangkat oleh pria lain. “Iya, benar, ini hape Luna. Saya pacarnya. Kalau boleh tau, Anda siapa, ya?” Arvin tertegun mendengar ucapan itu. Baru saja dia berniat mengalah dan memaafkan Luna. Kini, seorang pria asing dan mengaku tunangan istrinya itu yang mengangkat ponselnya. Hendak marah, hati telanjur sakit dan kecewa. Yumi melihat mata Arvin berkaca-kaca. Arvin merasa serba salah. Hidupnya bergantung pada Luna. Akan tetapi, haruskah dia menerima semua perlakuan Luna yang dia anggap semena-mena? “Daijobu desuka (Kau baik-baik saja?)" tanya Yumi. Arvin segera meninggalkan restorant setelah meletakkan ponsel Yumi di meja. “Arvin!” Arvin berlari ke mana langkah membawanya. Hingga terhenti tak jauh dari restoran, lantas punggungnya dia sandarkan di pohon rindang di sisi kota. Dia tertegun, menggenggam jemarinya di lutut dengan rasa takut dan gugup. Kecewa. Tak lama, Yumi mendekatinya dan menghela napas. Kegalauan hati Arvin begitu mengusik hati Yumi. 'Kamu kenapa lagi, Arvin ? Tenanglah. Nakitai toki aru nara soba ni zutto zutto iru kara*,' batin Yumi. (Note : Saat kau ingin menangis, selalu ada aku di sisimu) Arvin mengusap sedikit air matanya, mencoba menatap binar Yumi yang sangat sendu menatapnya. Hatinya yang terlalu sensitif, apakah memang dia terlalu cengeng? Luna sangat berbeda dari yang dia ingat empat tahun lalu. “Aku nggak tau kenapa aku begini. Aku ingin percaya, tapi pikiranku berkata lain. Apa dia selingkuh? Kenapa ada cowok lain yang ngangkat hape nya? Apa empat tahun ini semua udah berubah dan dia bukan Luna-ku yang dulu? Kenapa hape-nya ada di tangan cowok lain? Apa mereka lagi bareng, sekarang? Atau, semalam dia pulang telat karena ketemu cowok itu?” Arvin mengeluarkan semua kekecewaan dan unek-uneknya. Ya, tak ada lagi yang bisa mendengarnya selain Yumi. Wanita itu menatap miris, lalu memegang pundak Arvin. “Hei, jangan mikir negatif gitu. Mungkin aja, tadi kamu salah tekan nomor hape. Atau ... mungkin itu temannya. Percayalah pada istrimu. Kamu yang paling tau hatinya.” Arvin membisu, menerima perkataan Yumi dan mencoba mempercayai Luna. * Di sisi lain, langkah kaki Luna terhenti tepat di depan ruangan salah satu rumah sakit di sisi Kota Otaru. Dia membuka pintu dan melihat sebuah senyuman dari pria tampan berpakaian putih. Seragamnya tentunya. “Genki desuka (bagaimana kabarmu?)" tanya dokter muda itu. Luna tersenyum sinis, “Amari genki jyanai (Tak terlalu baik)." Raut ceria pria itu terlihat serius mendengar jawaban Luna. Namun, Luna tak peduli. Dia duduk di hadapan pria tampan berkulit putih itu. Dia yang saat ini ingin Luna temui. “Sepertinya jam makan siang sudah selesai. Kalau ingin bicara dengan Kairi ... kamu harus tunggu hingga jam kerjanya selesai.” Pria tampan bernama Shinjiro Kairi itu hanya tersenyum. Luna menatap serius, duduk santai di sofa sudut jendela. “Aku tau. Karena itu, aku datang selagi jam kerjamu. Aku ... ingin bertemu denganmu sebagai dr. Shinjiro, psikiatrist-ku.” Kairi menatapnya serius. Dia segera beranjak dari duduknya, lalu mendekati Luna karena tatapan wanita itu sangat serius. “Kamu udah lama nggak konsultasi padaku, Luna. Kenapa tiba-tiba kamu datang lagi?” “Aku ... bisa minta obat itu lagi?” Kairi terkejut dan segera menarik tangan Luna agar duduk di sofa yang tak jauh bersandar pada jendela. “Kamu kenapa? Masalah berat lagi? Kamu sudah lama tidak mengkonsumsinya." "Jangan membuatku cemas, Luna. Bisakah kamu ceritakan padaku?” "Iie (tidak), aku hanya sedang ada masalah. Tidak cukup berat. Tapi, aku membutuhkannya.” "Dame desu yo (Sebaiknya jangan)." “Please.” “Oh iya, aku dengar dari Eun Bi, kamu kembali ke Jakarta sebulan lalu, ya? Apa ...” “Ya, aku kembali lagi padanya. Aku udah nikah sama Arvin, sekarang. Ah, aku tidak bisa hidup tanpa dia." Kairi membisu saat melihat tatapan ceria Luna ketika dia menceritakan sisi hidupnya yang akhirnya bisa kembali pada Arvin. Pria itu yang ditunggunya selama empat tahun. Luna yang jatuh bangun menahan kerinduan dan tingkat stress tinggi karena harus menangani perusahaan dan rencana busuk Divaska Group dan Mirza. Kairi-lah yang tau bagaimana sulitnya Luna membangun hidup dua tahun terakhir di Jepang. "Jangan serius gitu, Kairi. Masalahku tidak terlalu berat. Aku hanya stress sedikit." “Lalu, kenapa sekarang kamu meminta obat itu? Kalau masalah ini tidak begitu berat, kamu tidak akan meminta obat itu lagi padaku.” “Ah, kamu ini cerewet sekali! Sudah, cepat! Aku harus kembali kerja.” Kairi bangkit dari duduknya meninggalkan Luna, sejenak. Entah apa yang ada di pikiran Luna saat ini. Tentang Arvin, perusahaan, serta usaha Mirza yang mengacaukan perusahannya. Ketiga masalah itu saling berebut merusak konsentrasi hidup Luna. Kairi meletakkan satu tube pil yang diminta oleh Luna. Luna hendak mengambil tube itu, tapi tangannya ditahan oleh Kairi. “Kenapa ... kenapa justru seperti ini? Seharusnya, kamu bahagia karena ada dia di sisimu. Apa ... kamu ada masalah dengannya?” Luna tersenyum. Dia memegang tangan Kairi agar pria itu menghilangkan sedikit raut cemasnya. “Tidak, dia sangat mencintaiku. Dia selalu ada buatku.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN