Arvin dan Luna tiba di Tokyo. Inilah awal terjalinnya kembali hubungan cinta mereka. Tiba di hotel di mana mereka akan menginap untuk beberapa hari ini. Mereka masuk ke kamar. Arvin cukup heran kenapa mereka harus tinggal di hotel, bukan di rumah tempat mereka akan hidup nanti.
“Kenapa di hotel?” tanya Arvin.
“Ada yang mesti kukerjakan di sini. Cuma dua hari aja, abis itu, kita akan pergi. Oh ya, kita jalan-jalan dulu di sini. Kak Arvin pasti akan suka,” ujar Luna tersenyum.
“Oh, oke.”
Luna berbaring di atas kasur, sedangkan Arvin menyingkap gorden jendela dan melihat suasana Jepang di malam hari.
“Aku udah beli rumah di Hokaido. Next, kita akan tinggal di sana, Kak. Aku dua tahun ini kerja keras kayak kuda, pastinya harus punya aset, dong."
Arvin tersenyum bangga pada istrinya itu, sangat manis di mata Luna. Luna pun duduk dan mengerlingkan matanya pada Arvin.
“Sayang, ke sini!” ajak Luna.
Arvin segera duduk di samping Luna dan melihat ke arah tatapan lembut istrinya itu. Arvin memeluk sang istri, lalu mencium dahinya. Luna merasa begitu dicintai. Disentuhnya dagu suaminya itu, lalu berkata, "Kak Arvin, jangan pernah berpikir kalau aku berbeda. Aku masih Luna yang sama. Masih cinta sama kamu. Kita jalani semua dari awal lagi, ya?"
Mendengar ucapan Luna, Arvin tersenyum tipis. “Hm, aku tau. Walaupun aku tidur lama, kamu nggak selingkuh dan deketin cowok lain. Iya, lah! Aku ganteng gini.”
“Iya, iya. Ganteng banget, sampe aku kepelet ke ubun-ubun."
Arvin tertawa kecil. Luna tertegun, selalu lumer hatinya saat melihat wajah pria itu ketika tertawa. Bibir mungilnya dan eyesmile-nya yang memesona. Luna memang tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya.
“Kenapa Kak Arvin ganteng banget kalau lagi ketawa, ya! Jangan salahkan aku kalau tiba-tiba menciummu!” ujar Luna lagi.
“Tiba-tiba menciumku? Seperti ini?”
Luna yang keki, Arvin yang lebih dulu menciumnya lebih agresif. Inilah malam pertama mereka di Jepang. Untuk hari-hari berikutnya, mereka berharap tak ada masalah yang begitu berat yang akan merusak rumah tangga mereka.
*
Tepat saat mentari terbit, Luna sudah pergi meninggalkan hotel. Arvin menghabiskan waktu sendiri di kamarnya. Dia tersenyum jika teringat hari ini Luna akan mengajaknya berjalan-jalan di kota Tokyo. Mungkin, mereka akan melihat gunung Fujiyama yang katanya benar-benar indah apalagi kalau perginya bersama orang yang dicintai. Arvin masih merapikan diri di depan cermin. Karena satu jam lagi, Luna akan menjemputnya.
Setengah jam kemudian, dia keluar dari kamar hotel dan tak sabar ingin berjalan-jalan dengan Luna. Namun, dia tak berani bergerak jauh karena ini bukan negerinya. Dia juga tidak bisa berbahasa Jepang, hanya akan mempersulitnya saja. Tak lama, Luna datang mendekatinya, masih dengan senyum manis dia mencium pipi Arvin.
“Karena sudah berdandan ganteng buatku, jadi dapat point 90!” ujar Luna.
“Sekarang, kita mau ke mana?”
“Jalan-jalan saja, sampai malam. Oh iya, nanti malam ada pesta hanabi* (kembang api) di taman kota. Pasti seru!”
“Hei, kamu ini. Kenapa gaya bicaramu masih seperti dulu? Kita ini udah bukan remaja lagi.”
Arvin tersenyum manis melihat Luna tak berubah, masih seperti dulu. Mereka berjalan santai di indahnya suasana di sekitar dengan saling menggenggam jemari. Sesekali, Arvin menyandarkan kepala Luna di d**a bidangnya.
“Memang bukan remaja lagi. Tapi, kamu ingat? Kita baru pacaran sebentar, trus rencana merit, tapi Kak Arvin malah koma sampe empat tahun. Rasanya aku kehilangan momen selama itu untuk jalanin hari-hari perkembangan kita menuju dewasa."
"Itu takdirku, Luna. Makasih karena masih bersabar buatku. Aku tau, meskipun kamu cantik, kamu itu kayak nenek sihir. Jadi nggak ada yang mau sama kamu," cibir Arvin sambil mencubit hidung Luna.
"Dih, mulutnya masih kayak syaitoonnirrojim!”
Mereka berjalan beriringan. Sesaat, Luna berbisik tepat di telinga Arvin.
“Watashi wa anata o aishitemasu (Aku mencintaimu)."
Arvin sedikit mengerutkan dahi, lalu Luna segera mengangkat wajahnya dan menoleh ke wajah Arvin.
“Apa artinya?” tanya Arvin.
“I-Love-U!”
Luna mencium kening Arvin. Kalau cinta terus bersemi seperti ini, pasti takkan terpisahkan lagi.
'Aku milikmu, Luna,' batin Arvin.
'Tinggallah selamanya di hatiku,' batin Luna ikut bersahut.
Pernikahan di masa muda, semoga saja bukan pernikahan yang hanya dilandasi emosi cinta sesaat saja. Masa depan pernikahan telah menanti di depan mata, tergantung mereka mau melewati jalan yang mana. Jalan yang mudah, atau jalan yang rumit.
Arvin tersenyum di samping Luna, malam yang indah di taman kota. Langit indah dihiasi letupan dan rangkaian cantik hanabi. Kota Tokyo yang indah. Seindah cinta mereka saat ini. Mereka mengambil duduk sebentar di kursi panjang di dalam taman.
“Setibanya nanti di Hokaido, apa yang harus kulakukan, Sayang?” tanya Arvin.
“Apa, ya? Jadi suami yang baik, menungguku di rumah kalau aku pulang kerja.”
"Aku belum dapat kabar soal tanggal ujian Paket C-ku, Lun."
"Ya ini, kan, masih jauh dari tengah semester. Kira-kira bulan depan, Kak."
“Pasti bosan banget nunggu. Nanti aku juga mau kuliah di sini.”
“Bosan? Kak Arvin belum liat rumah pantai yang kubeli, kan? Dekat laut, indah sekali. Setiap hari, Kak Arvin pasti akan ke sana sampai kamu bosan.”
Arvin bersandar di ceruk bahu mungil Luna. “Dekat laut? Kamu, kan, tahu, kita di Jepang. Rawan terkena gempa dan Tsunami. Kalau Tsunami datang, kamu nggak di rumah, aku bisa mati dan hanyut terbawa air laut. Tega!”
Luna tertawa kecil, Arvin benar-benar manja padanya. Pantas saja, dia tak bisa sedikit pun lepas dari pandangan Arvin. Pria ini menggemaskan sekali. Empat tahun tertidur seakan tak ada penambahan dari sisi kedewasaannya.
"Kalau kamu mati, aku menikah lagi, Kak.”
Arvin mempautkan bibir, cemberut. Dia melepaskan diri dari pelukan Luna. “Keterlaluan, kamu!”
Arvin berlari meninggalkan Luna. Padahal Luna hanya bercanda. Dia yang merasa lucu dengan sikap Arvin, segera menyusul langkah Arvin.
'Dia kayak anak-anak banget, sih!'
Pria itu berada tak jauh di depannya. Luna terus mengurangi jarak mereka. “Kak Arvin ! Kakak mau ke mana?”
“Jangan pedulikan aku! Nikah aja sama cowok lain!” teriak Arvin.
Arvin berjalan di sisi jalan raya, Luna merasa cemas takut terjadi sesuatu pada sang suami. Apalagi Arvin belum mengetahui tiap sendi dan rambu jalanan Jepang.
“Kak Arvin! Jangan pergi!” teriak Luna.
Luna berhasil mempercepat langkahnya dan mendekati Arvin. Dia terkejut ketika dari kejauhan, ada sebuah mobil yang melaju ke arah Arvin yang berada di sisi jalan raya.
“Kak Arvin! Awas!”
Bruk! Tubuh Luna kaku, hampir saja. Kalau saja mobil itu tidak banting stir dan menabrak pembatas jalan, mungkin saja jiwa Arvin yang sudah melayang. Tentu dia tak ingin suaminya ini celaka dan meninggalkannya. Wajah Luna masih panik, benar-benar ketakutan.
“Apa yang kamu lakukan? Gimana kalau mobil tadi nabrak kamu? Kenapa kamu nggak hati-hati, Vin?”
Luna menarik tubuh Arvin dan memeluknya erat. Benar-benar takut kehilangan sang suami tercinta. Arvin tertegun saat pelukan Luna begitu posesif dan gemetar. Dia bisa merasakan rasa takut sang istri dari tangannya yang gemetar. Pasti Luna sudah sangat khawatir. Perasaan cinta Luna yang begitu besar membuat dirinya takut tak bisa membalas sebesar cinta yang diberikan Luna padanya.
“Kamu bohong. Kamu cinta banget sama aku, Lun. Kalau aku mati, kamu nggak akan mungkin nikah lagi,” ujar Arvin perlahan.
Luna melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah Arvin. "Kalau kamu mati, aku nggak akan bisa hidup lagi.”
Arvin memegang pipi Luna, benar-benar terharu akan cinta yang diberikan Luna untuknya.
“Daisuki (aku suka kamu)," ucapnya.
Luna memeluk Arvin lagi. Sesekali, Arvin mencium dahi Luna atau membelai lembut rambut legam istri tercinta dengan cinta dan ulasan senyuman.
*
Setelah menghabiskan waktu liburan dua hari, sudah waktunya Luna dan Arvin meninggalkan Tokyo. Setelah hampir setengah hari Luna mengurus masalah penting yang berhubungan dengan karirnya, mereka segera mengambil penerbangan ke Pulau Hokaido. Tak lama, mereka juga tiba di Otaru, kota di mana Luna membeli rumah yang romantis. Empat tahun menjalani hidup di Jepang, membuat Luna kini lebih mapan tanpa harus meneruskan perusahan garmen milik ayahnya. Arvin tersenyum, rumah indah itu juga tak jauh dari Teluk Ishikari yang kata Luna, lautnya begitu indah. Asal tidak ada Tsunami saja, benar kata Arvin. Kalau ada Tsunami, bahaya sekali. Arvin dan Luna tiba di depan rumah putih milik mereka, rumah di mana mereka akan tinggal dan membina rumah tangga mereka yang sempat tertunda empat tahun lamanya.
“Eh!”
Arvin terkejut ketika Luna berlari dan menggelayut di bahunya.
"Gendong!"
Arvin pun menggendongnya. Melangkah lambat untuk menapaki rumah cantik itu.
“Prince, welcome to our paradise," suguh Luna.
Arvin tertawa kecil, bahagia sekali rasanya diperlakukan manis oleh Luna. Di dalam rumah, mereka juga terlihat bahagia sambil membersihkan rumah bersama. Terkadang, Luna mencium pipi Arvin yang sibuk membereskan pentry, lalu mereka ke taman belakang rumah dan menata semua yang akan membuat mereka bahagia. Hingga setelah beberapa jam, mereka duduk lelah di sofa ruang tengah.
“Hufth,” Luna menghela napas.
“Kamu ini, rumah udah ditinggalin berapa lama? Pergi ke Jakarta kenapa rumah berantakan begini? Dasar!”
“Hei, aku di rumah ini, sendiri. Kadang, rumah ini juga cuma tempat istirahat saja. Sibuk kerja,” sahut Luna.
“Sekarang, ada aku.”
Luna tersenyum dan mendekati Arvin. Arvin ditatap seperti itu, jadi keki. Luna membelakanginya sambil memegang bahunya. “Ini ...sakit, Vin."
Arvin menghela napas pelan, menggerutu sedikit. “Hei, aku juga beres-beres. Capek juga!”
“Tapi, aku seharian juga sudah sibuk, kan?”
“Iya-iya."
Arvin manyun, tangannya memijat-mijat bahu Luna yang sakit karena membersihkan rumah yang berantakan. Luna yang sukses mengerjai Arvin, hanya tersenyum ringan.
“Kalau kamu kerja, aku pasti sendirian di rumah,” keluh Arvin perlahan.
“Kenapa?”
Arvin terhenti, lantas memeluk dan bersandar di bahu istrinya itu. “Kesepian, pastinya.”
Luna tersenyum. Dari kecil, Arvin tak mendapatkan kasih sayang penuh dari orangtuanya yang ternyata bukan orangtua kandung. Lalu setelah mengetahui identitasnya di Keluarga Pramana, Arvin justru menikah dengan Luna dan dibawa jauh dari Jakarta. Dia pasti ingin perhatian dan kasih sayang lebih.
“Kesepian? Gimana kalau baby?” ujar Luna perlahan.
“Dih!”
“Ya kenapa? Kalau ada anak, kan, kita nggak kesepian lagi. Ya udah, aku capek. Aku mau tidur dulu. Yuk!”
“Oke.”
Luna masih bersandar manja di lengan Arvin, pergi ke kamar saja juga tak ingin sedetik pun berpisah. Luna benar-benar lelah dengan aktifitasnya seharian ini. Arvin berbaring di samping Luna yang sudah tertidur pulas. Dia tersenyum dan mencuri satu ciuman di pipi Luna. Setelah itu, dia berbaring di sisi sang istri dan memeluknya.
“Sayang, nanti, lihat sunset di pantai, ya,” bisik Arvin ke telinga Luna.
Luna tak menyahut. Wanita cantik itu sudah tidur saking lelahnya. Arvin hanya tersenyum, merasa lega karena Luna masih berminat dengannya meski sudah empat tahun ditinggal tanpa ada harapan pasti.
*
Sore menjelang, Arvin segera terbangun karena dia ingin sekali melihat sunset di hari pertama mereka tiba di Hokaido.
“Sayang, bangun!” bujuk Arvin terus agar Luna bangkit dari kasur.
Padahal Luna masih sangat lelah, tetap saja Arvin memaksa Luna untuk melihat sunset. “Hh, Kak Arvin ini manja banget, ya."
Dengan buru-buru menaiki mobil, mereka segera melaju menuju pantai. Pantai pasir putih, indah sekali. Tidak banyak orang juga di sana. Luna berjalan bersama Arvin menuju pantai, masih menggenggam jemari satu sama lain. Mereka duduk di pasir putih itu. Sesekali, ombak kecil laut menyentuh kaki mereka. Sunset di langit itu indah sekali. Langit yang tampak kemerahan seakan menjadi moment romantis pertama mereka di Hokaido. Arvin bersandar di lengan Luna.
“I Love you, my beloved wife!” ucapnya.
"Love you too.”
Luna menatap Arvin sambil tersenyum, lalu memberi kecupan mesra di bibir. Matahari semakin menuju indah ke singgasananya. Suasana senja yang begitu romantis. Ketika Arvin melepaskan diri dari pelukan Luna, justru dia tak bisa melepaskan tatapannya dari binar tajam Luna. Itu adalah binar mata yang membuat dia jatuh cinta pada wanita ceria dan nakal semasa SMU dulu. Seolah ada lagu cinta yang terdengar di hati keduanya.
*
Rumah cantik dan suasana manis yang selalu ada bersama mereka membuat Arvin betah tinggal di sisi Luna. Makan malam, bercanda bersama pum pastinya menyenangkan. Pasangan pengantin baru yang membahagiakan. Kini, mereka berada di sofa kamar sambil menonton acara TV. Sesekali, Arvin mengusap-usap kepala Luna yang berada di pangkuannya.
“Lun, aku kasian sama mama di Jakarta. Papa sibuk, pasti nggak ada yang jagain. Rey juga masih setahun lagi pulang," ujar Arvin menanyakan perihal ibunya yang sering tinggal sendiri karena ayahnya mulai sibuk di perusahaan.
"Ya jadi gimana? Gini aja, deh. Aku selesaikan dulu project di Jepang ini dan mulai pindah ke Jakarta tahun depan."
"Ya selama itu, mamaku tetap aja sendirian," keluh Arvin.
"Ya gimana lagi?"
"Atau … kalau kita ngasih mama satu cucu? Gimana?” goda Arvin.
Luna segera menjauh dari Arvin. Wajahnya tampak merah. “Kamu ini, mulai lagi! Aku nggak mau punya bayi untuk waktu dekat ini.”
“Kenapa, Lun? Kalau kita punya bayi, dia pasti akan bakal ganteng banget kayak papanya ini.”
Luna beranjak dari duduknya, sedikit mengalihkan pandangannya. Dia tak bisa menahan geli kalau Arvin sudah begitu percaya diri seperti itu.
“Hei, kenapa?” omel Arvin.
Luna bangkit dan berdiri di hadapan Arvin. “Kalau kita punya bayi, aku pasti kerepotan. Kakak tau kenapa? Kak Arvin ini juga masih kayak anak-anak. Ngurus Kakak aja akan lebih susah daripada dia.”
“Tapi ...”
Luna membalikkan badannya dan melipat tangannya di depan d**a. Berlagak kesal. “Tapi kalau kita punya bayi, Kak Arvin pasti lebih perhatian sama dia daripada aku. Aku jealous!”
Arvin terkekeh kecil, lantas memeluk Luna dari belakang. Dia menyandarkan dagunya di kepala Sang Istri. “Kalau cinta terbagi untuk si kecil, kenapa mesti cemburu?”
Luna pun berbalik melihat Arvin. Tatapan keduanya penuh cinta, benar-benar saling mencintai.
*