Bab 6. Kasmaran

2582 Kata
Pagi itu, ketika terasa matahari masuk melalui jendela kaca kamar mereka, Luna tersadar kalau dia telat bangun. Dia menggerutu kesal sambil mengacak-acak rambut berwarna kecoklatan itu. Sekalipun berantakan, tetap terkesan seksi karena kecantikan wajahnya. “Ck, telat gue!” kesalnya. Luna menoleh, tak ada Arvin di sisinya. “Kenapa dia nggak bangunin aku, sih?” Luna beranjak dari tempat tidur dan segera masuk ke toilet. Arvin sudah dari tadi terbangun, dia segera masuk ke kamar dan membangunkan istrinya. Namun, ketika terdengar suara air dari toilet, berarti Luna bergegas dengan aktivitasnya untuk hari ini. “Huh, harusnya dia minta izin libur sehari lagi. Masih kangen!” Arvin menoleh ke arah meja, terdengar suara ponsel Luna. Dia mengambil ponsel Luna, ada panggilan masuk dari seseorang yang bernama 'Mirza Dedemit'. Nama yang tentunya tak dikenal oleh Arvin. “Mirza?” Arvin berniat mengangkat telpon, tapi sudah terputus. Tak lama, nada pesan masuk justru terdengar dari ponsel itu. Dari orang yang sama. Arvin membuka pesan itu, pesan yang cukup membuat dadanya berdegup kencang. [Cantikku, kembali dari Jakarta, kenapa nggak ngasih tau aku? Aku tanya ayahmu dia malah nggak jawab. Hari ini aku tunggu di kantor.] Arvin kesal, sangat cemburu. Namun, masih terlalu pagi untuk memperdebatkan masalah ini. Dia meletakkan ponsel di meja dan keluar dari kamar. Ternyata tak sesederhana itu. Di dapur pun, dia masih cemberut, menyiapkan sarapan pagi untuk sang istri tercinta jadi tak bersemangat. Usai sarapan dihidangkan, Arvin segera masuk ke kamar dan melihat aktivitas yang sedang dilakukan oleh istrinya. Luna tengah berada di depan cermin sambil memakai pakaian rapi dan juga blazer lavender ketat itu. Melihat Arvin berdiri tanpa bicara, Luna hanya tersenyum. “Ohayou!” Arvin mendekati Luna dengan wajahnya yang masih cemberut, “Morning!” Luna tersenyum kecil melihat ekspresi cemberut Arvin. Arvin tetap bungkam sambil membantu Luna merapikan blazer-nya. Yang bikin Luna menghela napas adalah ketika Luna ingin mencium Arvin, sang suami justru mengalihkan wajahnya dan menghindar. “Ada apa?” tanya Luna penasaran dengan tingkah aneh sang suami di pagi ini. Arvin meninggalkan Luna, lantas duduk dan menyiapkan sarapan untuk Luna. Ketika Luna ikut sarapan pagi pun, dia tetap melihat sang istri berwajah jutek. Luna menyeruput teh yang dihidangkan Arvin, menghela napas. “Memangnya gula habis, ya?” ujar Luna. “Hah? Itu, kan, udah manis,” Arvin cemas. Dia takut sarapan pagi pertama mereka malah mengecewakan Luna. Istrinya itu pasti harus cepat pergi ke kantor. “Manis apanya? Coba kamu minum dikit!” Arvin mengambil gelas Luna, meminumnya sedikit. Dia mengernyitkan alis, lantas mengulangi lagi untuk meyakinkan rasa teh yang sudah dibuatnya. “Ck, masa, sih, nggak manis? Padahal–” Luna tersenyum, lalu mengambil lagi teh itu dan meminumnya. “Udah kena bibir Kak Arvin, jadi agak lebih manis. Kalau Kak Arvin senyum terus, aku jadi nggak butuh gula lagi.” Arvin tersenyum mendengar rayuan Luna yang amat sangat garing baginya itu. “Ck, rayuan pulau kelapa.” Luna tertawa melihat kejutekan sang suami. Bagi Luna, Arvin akan tetap terlihat manis sekalipun berwajah cemberut. Hal itu membuat Luna kian bertambah gemas pada sang suami innocent-nya itu. “Hei, aku udah telat, Kak!” Luna bangkit dari duduknya. Arvin pum mengantarkan Luna ke pintu depan. “Aku pergi dulu,” ucap Luna. Ketika berbalik, Arvin menarik tangannya. “Ada apa?” tanya Luna. “Kamu nggak mau ngasih satu ciuman sebelum pergi kerja?” Kini, justru Arvin yang mengerlingkan matanya untuk menggoda Luna. Luna menghela napas, berlagak cuek sambil mengalihkan pandangannya. “Nggak! Kalau ciumanku pagi ini ditolak untuk yang kedua kalinya, aku bisa patah hati.” Arvin tersenyum. Luna berpura-pura kesal padanya, dia takkan tertipu. Dia segera memberi satu kecupan cinta di pipi Luna. Dia memeluk Luna. Meskipun saat ini dia sangat cemburu, dia tak ingin merusak hari awal pernikahan mereka dengan cemburu tak jelas. “Maaf,” ucapnya dengan nada suara menyesal. Luna tersenyum dan memegang lembut rambut Arvin. “Iya, Sayang. Oke, I have to go!” Luna mendaratkan satu ciuman di bibir Arvin. Setelah itu, mobil itu pergi melesat meninggalkan pekarangan rumah cantik mereka. Luna sudah berangkat kerja. Arvin semakin suntuk karena tak tahu harus berbuat apa. Kalau hanya di rumah saja, pasti bosan. Kalau ke pantai, tidak akan indah dan romantis jika tak ada Luna. Setengah jam Arvin duduk di depan Tv, tak tahu ingin berbuat apa. Rumah sudah beres, mau makan pun tinggal pesan lewat ponsel ke restoran Indonesia yang sempat diberitahukan Luna kemarin. Semua sudah tersedia. “Ah, bosan banget. Memangnya hari ini dia pulang jam berapa?” Arvin pun mengambil ponsel-nya, menghubungi Luna. “Sayang, hari ini pulang jam berapa?” “Mungkin jam 7. Kelamaan, ya?” “Nggak. Kalau gitu, jangan pulang sebelum jam 7.” “Hah?” Dari seberang telpon, Luna kedengarannya sangat heran mendengar ucapan Arvin. “Bye, I miss you so much!” Arvin tersenyum setelah pembicaraan terputus. Dia segera menuju meja komputer. Sepertinya, dia ingin browsing sesuatu. “Hufh, masak apa, ya? Dia udah dua tahun tinggal di sini. Kayaknya, kalau masak makanan Jepang, seru juga!” Mata Arvin menyoroti resep-resep masakan Jepang yang muncul di layar komputer. “Humm … sashimi? Susah nggak, ya? Atau … yakiniku, sukiyaki, onogiri?” Setelah sepuluh menit, Arvin segera bersiap-siap pergi meninggalkan rumah. Dia ingin belanja di market. Stok bahan yang ada di kulkas juga tidak terpenuhi semua. Dengan senyum cerahnya, Arvin meninggalkan pelataran rumah seraya berharap sang istri akan senang mendapatkan kejutan darinya. * Di perusahaannya, Luna juga tengah sibuk dengan setumpuk pekerjaannya. Perusahaan yang bergerak di bidang advertising itu kini menjadi karir baik untuk Luna selama dua tahun dia hidup di Jepang. Kini, hidupnya dan keluarganya akan bergantung pada bisnisnya tersebut. Luna menghela napas, segera bangkit dari kursinya dan membaca beberapa berkas yang mungkin sangat membingungkannya. Dua minggu lebih ditinggal, ada masalah saja. Dia mendekati jendela, udara segar pun masuk melalui rongga hidung ketika dia menghirup napas panjang. Tanpa dia sadari, seorang pria tampan dengan senyuman manis masuk ke dalam ruangannya. Dia mendekatinya dari belakang. Penampilannya sangat maskulin dan elegan. Wanita mana yang tak tertarik padanya. Luna terkejut ketika dari belakang, ada yang memeluknya dan bersandar di punggungnya. “Samishi katta desu (Jp : Aku merindukanmu)." Mirza. Luna hapal sekali dengan si gila yang satu ini. Belum berbalik, dia memelintir telinga Mirza agar segera menjauh darinya. "Sakit, Bangke!" gusar Mirza sambil melepaskan Luna. Luna segera menjauhi pria bernama Mirza itu. Terakhir kali mereka bergulat dengan permainan mengheningkan seisi kota Otaru dengan pertunangan berdasarkan asas mutualisme. Wanita itu kembali duduk di kursinya, membuka berkas. “Lo mau ngapain ke sini?” Mirza tersenyum cuek, lantas duduk di deretan sofa sambil mengambil salah satu tumpukan majalah di sana. "Lo lupa? Gue ini tunangan lo.” “Dih, mabok nih anak! Pertunangan waktu itu nggak perlu dibahas lagi. Bikin sakit kepala aja. Lagian ngapain lagi, sih? Lo, kan, udah dapat kendali perusaahan bokap Lo di sini. Jadi jangan ngintilin gue kayak demit." Luna bergerak dari kursi, mendekati tumpukan rak untuk mengambil buku. Perlahan, Mirza mendekat. Luna terkejut saat pria itu sigap menarik lengannya. Merapatkan badan Luna hingga dadanya hampir menabrak d**a Mirza. "Gue udah denger kalau Lo udah nikah di sana. Jahat!" gerutunya. Ingin Luna melepaskan diri, tapi pegangan Mirza terlalu erat. "Lepasin, atau gue jadiin Lo perkedel!" "Luna ... selingkuh sama gue, yuk! Gue bosen, nih." Luna meneguk ludah. Pria ini sedang menggodanya. Ya, Mirza sangat tampan. Dipeluk sedekat ini dengan wajah tampan itu, membuat Luna hampir khilaf. Mirza lebih mendekat agar Luna bisa menghirup aroma krim cukur yang begitu wangi di sekitar dagu Mirza. Aroma yang membuatnya melayang. "Kayaknya ... asik aja kalau harus main-main sama pernikahan orang," bisik Mirza sambil mengusap lengan Luna. Sinyal kuning. Luna hampir jatuh terperosok. Segera dia menekuk lututnya agar bisa menendang Mirza. Untungnya pria itu begitu cekatan dan cepat menghindar. "Kebiasaan, deh! Ini dedek gue ditendang Mulu, nanti bisa kempes," seru Mirza. "Makanya! Jangan ganggu gue terus." Mirza bergerak cuek menuju pintu. Sebelum pergi, dia mengerlingkan mata, nakal. “Gue nggak peduli sekalipun lo udah merit. Gue akan bikin lo balik lagi ke gue. Apapun caranya!” Mirza meninggalkan ruangan Luna. Namun, wanita itu masih berwajah kesal dan sedikit bingung. Sesekali, dia menghela napas, dan kembali duduk mengerjakan tugasnya. “Aih, gue aja belum cerita sama Arvin tentang Mirza. Cerita, nggak, ya? Tapi ... gue sama Mirza, kan, memang nggak ada hubungan apa-apa.” Luna menoleh ke arah foto yang ada di atas meja kerjanya. Dia pun membuka laci, lalu tumpukan foto-foto akad yang sempat dicetaknya. Diselipkannya foto bahagia itu di antara figura. “Aku pikir Kak Arvin nggak akan bangun lagi. Maaf kalau dulu aku sempat nyerah dan nggak percaya tentang cinta kita, Kak." Luna tersenyum pasti. Tak peduli apa pun yang terjadi ke depan nanti, saat ini hanya Arvin yang mampu membuatnya tersenyum. Hanya Arvin. * Sudah satu jam lebih, Arvin keluar dari market dengan semua perlengkapan untuk membuat masakan khas Jepang yang akan disajikan untuk sang isteri tercinta. Dia berjalan sebentar, tersenyum melihat taman kota yang begitu indah. Luna belum sempat mengajaknya berkeliling kota indah ini. Dia duduk di bangku taman, beristirahat sambil membaca resep masakan Jepang yang ingin dia masak. “Hiks.” Arvin terkejut, lantas melihat seorang gadis kecil dan lucu yang menangis tak jauh dari tempat dia duduk. Dia segera mendekati si mungil itu sambil tersenyum. “Hei,” sapa Arvin, lembut. “*!” Si gadis kecil itu semakin keras menangis, Arvin jadi bingung. “Aduh, aku nggak ngerti kamu bilang, Dek. Gimana ini?” gerutu Arvin. Arvin merasa kasihan. Lantas dia segera memegang lembut kepala si kecil, berusaha menenangkan. “Where’s your mom (Di mana ibumu)?" Arvin mencoba bertanya dengan bahasa Inggris. Karena memang, dia sama sekali belum bisa berbahasa Jepang. Hanya beberapa kata familiar saja yang masih pelan-pelan dipelajarinya. “Akachan (Baby)!” Arvin terkejut melihat seorang gadis mendekatinya. Dia merendahkan tubuhnya untuk menyetarakan tingginya dengan si gadis kecil. Gadis ceria berwajah ramah. Senyumannya juga manis. “*!” ucap si gadis kecil. Gadis itu tersenyum, lantas memegang lembut kepala si kecil. “Doko ni sun de imasu ka (Kamu tinggal di mana?)" Si gadis cantik nan mungil hanya diam. Mungkin, dia belum bisa mengerti maksud pertanyaan si kakak cantik. Arvin hanya tersenyum. Ketika gadis itu menoleh ke arahnya, Arvin mengangguk sopan. Gadis itu menggendong si kecil itu. Akhirnya, bibir kecilnya mulai tersenyum. “Aisukurimu,” pintanya sambil menunjuk ke arah stand es krim. Mereka pun pergi, Arvin sedikit lega. Hampir saja dia tak bisa menolong karena dia sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan bocah itu. “Kayaknya aku harus giat belajar Bahasa Jepang kalau begini.” Arvin hanya melihat dari jauh. Gadis cantik nan ramah tadi sepertinya sangat sayang dan bisa menenangkan si kecil. Sempat dia berkhayal kalau wanita itu adalah Luna, dan kelak mereka punya bayi. “Luna pasti senang.” Arvin duduk lagi di bangku taman dan meneruskan bacaannya tentang masakan Jepang yang saat ini sangat menarik perhatiannya itu. “Sumimasen (Permisi)!" Arvin terusik. Gadis tadi duduk di sampingnya. Karena Arvin tak mengerti perkataan gadis itu, dia hanya tersenyum. “Otetsudai shimashou ka (Ada yang bisa kubantu?),” tanya gadis itu lagi. Arvin menoleh lagi. Entah bicara apa gadis itu, dia hanya tersenyum keki. Sambil menggeleng, dia menyilangkan dua telunjuknya di depan d**a. “Speak English, please,” pinta Arvin. Si gadis tadi tersenyum untuk sesaat, lalu berkata, “Ada yang bisa kubantu?” tanyanya pada Arvin. Arvin terkejut karena ternyata, gadis tadi justru bisa berbahasa Indonesia. “Hei, kamu orang Indonesia juga, ya?” ujar Arvin. “Iya. Apa mukaku kayak orang Jepang?” “Nggak, sih. Oh iya. Aku Arvin, dari Jakarta.” “Lima tahun di Jepang, aku menggunakan nama Aizawa. Tapi nama asliku Yumi. Aku dari Bali.” Mereka tersenyum. Arvin senang karena bertemu dengan sesama orang Indonesia di negeri Sakura ini. Apalagi, dia juga tak mengenal orang lain selain isterinya di Jepang. Akan sangat sulit bergaul dengan keterbatasan bahasa yang dimilikinya. Arvin dan Yumi berbicara akrab, sesekali tersenyum ringan. “Jadi, ini hari keduamu tinggal di Jepang?” tanya Yumi. “Yup, aku nggak ngerti bahasa Jepang. Kamu mau ngajarin aku, nggak?” “Ngajarin kamu? Boleh aja, sih, kalau aku nggak ada jam kuliah. Jadi, kamu tinggal di Jepang dengan siapa?” “Luna, istriku.” Sebentar raut Yumi terkejut, lantas tersenyum lagi, “Kamu pasti nikah muda. Aku tebak, umur kamu pasti belum 25, kan?” “Iya, aku masih 23.” “Kamu mau bertemu denganku di sini?” tanya Yumi. “Boleh, tapi nanti aku ngobrol sebentar sama istriku. Dia terlalu sibuk. Ini hari kedua kami di Jepang, tapi dia udah ninggalin aku sendiri.” Punya teman baru yang sangat baik dan ramah, siapa pun tidak menolak. Hingga hampir satu jam mereka bercanda tawa bersama, Arvin teringat akan rencana memasaknya hari ini. “Yumi, kayaknya aku harus pulang dulu. Aku takut nggak sempat,” ujar Arvin sambil bangkit dari duduknya. Si gadis cantik bernama Yumi itu pun turut bangkit, tak pernah henti bibirnya memberi senyuman. “Mau kuantar, nggak?” “Hah? Oh, boleh.” Arvin menuruti langkah Yumi mendekati sepeda motor yang terparkir di dekat supermarket. Sempat Yumi melirik pada Arvin, pria itu tersenyum. "Nggak apa-apa, nih, diboncengkan cewek?" "Ya nggak apa-apa. Aku juga belum paham rambu-rambu di sini, kan? Takutnya malah ada apa-apa nanti." Yumi mengangguk setuju. Dia pun membonceng pria tampan jangkung itu meninggalkan jalanan taman kota. Dengan sepeda motornya, Yumi mengantar Arvin kembali ke rumahnya. Sambil mengemudi, Yumi hanya tersenyum sambil melirik pada spion untuk melihat Arvin. Mungkin ada perasaan lain di hatinya. Setelah sampai di rumahnya, Arvin memberi senyuman manis pada teman barunya tersebut. “Thanks, ya. Eh, mau masuk, nggak? Hari ini aku mau belajar masak masakan Jepang. Kayaknya istriku masih agak lama pulangnya." "Nggak apa-apa, nih?" "Nggak, lah! Aku seneng aja ada temennya gini, sesama Indo pula, kan? Jadi kayak sodara aja." Akrab sekali, Yumi dan Arvin pergi ke dapur bersama. Yumi yang ternyata orang rantauan dan sudah tinggal 5 tahun di Jepang, memiliki sedikit kemahiran memasak masakan Jepang. Di dapur, mereka bercanda sambil membuat masakan bersama. Seperti sepasang kekasih saja. “Hei, sashimi ini … apa rasanya nggak aneh?” Yumi tersenyum saat Arvin mengejek hasil buatannya. “Hei, kamu meremehkan chef cantik ini?” Arvin tertawa kecil dan mencicipi masakan buatan mereka. Meskipun bukan buatan tangan sendiri, tapi Arvin cukup lega karena bisa memulai menyiapkan makanan untuk istri tercinta. “Yang ini enak!” Yumi tersenyum bangga sambil melipat kedua tangannya di depan d**a. “Iya, lah! So, apa hadiah untukku?” Sejak tadi Yumi hanya merasa hatinya terus terbanting karena senyum dan ekspresi pria ini manis dan begitu polos. Dia mengurangi jaraknya dengan Yumi, mengusap kepalanya sejenak. "Makasih, ya! Kapan-kapan aku traktir, deh!" kata Arvin. Arvin begitu cepat bisa menerima Yumi dalam bagian hidupnya. Gadis itu memerah, membalikkan badan karena sepertinya dia terpengaruh saat Arvin mengusap kepalanya penuh kasih. "Ya udah itu, tinggal plating doang. Aku keluar dulu." "Sip!" Yumi meninggalkan Arvin di dapur, berjalan mengitari rumah putih kediaman Arvin dan isterinya itu. Dia terhenti di depan meja komputer, mengambil foto manis Arvin dan Luna. Awalnya, dia tersenyum memandang wajah tampan Arvin. Namun, senyumnya berubah kaku melihat seorang pria di samping Arvin. 'Istrinya cantik banget,' batinnya. Yumi mengambil foto dari frame-nya, memandang tajam. Dia mengoyaknya menjadi 2 bagian. Foto Arvin itu dia ambil dan memasukkan ke dalam dompetnya. Sedangkan separuh bagian yang lain, dia masukkan kembali ke frame-nya. Yumi bergerak keluar rumah, menemukan tempat sampah, lalu membuang frame foto tersebut, penuh dengan senyuman kaku. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN