Luna mengambil ponsel-nya dan menekan nomor ponsel Arvin. Awalnya tersambung, tapi setelah itu dimatikan karena sepertinya tak ingin menjawab panggilan darinya. Luna masuk ke kamar dan membuka blazer-nya. Setelah meninggalkan kantor, yang harus dia hadapi adalah kemarahan sang suami padanya. Dia melirik jam tangannya, bergumam tipis. “Masih jam tiga. Masih sempat!” Luna segera mengganti pakaiannya dan turun ke bawah. Dia berjalan menuju dapur dan menenggak segelas air putih sambil berpikir. Pandangannya beralih pada kertas yang tadi pagi dia tempelkan di kulkas. Dia mengambil kertas itu, lalu dibuangnya ke tempat sampah. “Ya. Aku harus ngelakuin ini.” Ada rencana matang yang sudah dipikirkannya sejak di kantor tadi. Tak peduli rasa lelah dan stres, Luna hanya ingin menebus rasa be