Spesial Hari Ibu

2030 Kata
Hari ini Amira menyengajakan diri untuk tidak pergi ke galeri kuenya. Sejak bangun tidur, wanita itu telah sibuk berkutat di dapur rumahnya bersama dengan bahan-bahan kue yang bergeletakan di atas meja dapur. Rencananya, Amira memang akan membuat kue tart tiramisue kesukaan mamanya. Mengingat hari ini adalah tanggal 22 Desember yang kebetulan merupakan hari para ibu sedunia, maka Amira akan memberi kejutan pada sang mama yang sudah berkenan mengurusnya hingga ia sebesar ini sejak dirinya dilahirkan ke dunia sekitar dua puluh lima tahun yang lalu. Meski semenjak Amira tumbuh dewasa dirinya memutuskan untuk tidak tinggal bersama mamanya, tapi hari ini Amira akan berkunjung ke rumah Tania sambil membawa kue tart tiramisue hasil buatannya sendiri. Dering ponsel yang bersemayam di dalam saku celemeknya tahu-tahu berbunyi mengejutkan. Untuk sesaat, Amira menghentikan dulu kegiatannya yang hendak memasukkan beberapa bahan kue lanjutan ke dalam adonan yang sudah tersedia. Ia pun mengelapkan dulu tangannya pada lap yang tergeletak tak jauh darinya. Kemudian, Amira segera merogoh benda berbunyi tersebut di dalam saku celemeknya. Saat ponsel itu sudah Amira tarik ke luar, barulah ia tahu bahwa saat ini Rana yang sedang mencoba menghubungi dirinya. Tanpa berlama-lama lagi, Amira pun segera menekan ikon hijau di layar seraya menempelkan ponselnya ke telinga kanan. "Ya, Ran. Ada apa?" lontar Amira to the poin ketika menjawab panggilan telepon yang ia dapat pagi ini. "Mbak Mira masih di mana? Gak akan ke galeri?" tanya Rana mengutarakan tujuannya menelepon. "Loh, aku kan udah kirim pesan ke WA kamu, Ran. Gak dibaca apa?" ujar Amira mengernyitkan dahi. Dalam beberapa detik, Rana tidak bersuara. Selagi itu, Amira pun mencoba meraih gula putih yang tersedia untuk ia campurkan ke adonan di dalam wadah. Sampai tak lama kemudian, terdengar Rana kembali berucap, "Oh iya, Mbak. Rana gak cek WA tadi. Maafin Rana ya, Mbak...." Amira mendengkus pelan. "Its okey. Aku tau kamu pasti sibuk di sana. Khusus hari ini, aku titip galeri ke kamu ya, Ran. Soalnya, hari ini aku mau ke rumah Mama. Udah lama gak temu kangen sama Mama," tutur Amira terkekeh. "Siap, Mbak. Tapi, kalo ada apa-apa di galeri, Rana masih bisa hubungin Mbak Mira kan?" "Telepon aja. Kalo gak kejawab, kamu coba spam chat barangkali aku lagi sibuk di rumah Mama nanti. Dan ya, kalo misalkan ada yang cari aku ke sana, kamu bilang aja aku lagi keluar kota," urai Amira sedikit memberikan alibi. "Oke deh, Mbak. Kalo gitu, Rana lanjut kerja dulu ya. Kayaknya, karyawan yang lain udah mulai siap buat beraktivitas," pamit gadis itu tak lama kemudian. "Oke, Ran. Semangat bekerja ya!" seru Amira menutup percakapan. Setelah itu, ia pun kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku celemek guna melanjutkan lagi kegiatannya membuat kue tart tiramisue yang akan ia persembahkan khusus untuk mamanya tercinta. *** Di tempat lain, Raga baru saja keluar dari halaman rumahnya bersama dengan Pagani Huayra yang dikemudikannya. Sebelum berangkat ke kantor, ia berencana untuk pergi ke butik mamanya. Ya, dengan sebucket bunga lili kesukaan Fenita dan juga kotak berisi hadiah yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari, Raga mengemudikan mobilnya membelah jalanan. Sambil fokus menyetir, pria itu lantas menyambungkan panggilan teleponnya pada salah satu orang terpercaya yang hendak ia tanyai sebelum dirinya benar-benar sampai di tempat yang akan ia tuju. Lalu, setelah panggilannya tersambung, Raga pun segera berseru halo melalui earphone bluetooth yang terpasang di telinganya. "Kamu lagi di butik kan?" "Iya, Mas Raga. Kenapa emangnya?" tanya Tata yang merupakan asisten dari mama Raga. "Mama lagi apa di sana?" "Ibu lagi di ruangannya, Mas. Kayaknya sih lagi santai-santai aja. Masih pagi kayak gini biasanya Ibu belum sibuk," ujar Tata memberitahu. "Bagus deh. Kamu tolong tahan Mama ya kalo misalkan keliatan Mama ada rencana mau keluar," titah Raga mewanti-wanti. "Siap, Mas. Omong-omong, Mas Raga mau mampir sini kah?" tanya Tata lagi memastikan. "Iya. Ini lagi otw ke sana, tapi kamu jangan bilang ke Mama kalo aku lagi dalam perjalanan menuju sana. Nanti gak jadi kejutan," ujar Raga berpesan. "Asyiaaap, perintah akan dilaksanakan!" seru Tata riang. Selanjutnya, Raga pun menutup percakapan seusai berpamitan singkat dulu sebelumnya. Selepas memastikan bahwa mamanya akan tetap berada di tempat, kini tugas Raga adalah menghubungi sekretarisnya. Walau bagaimanapun, ia harus mengabari Emily bahwa hari ini Raga akan datang ke kantor agak terlambat. Beruntung sedang tidak ada pertemuan dengan relasi atau sejenis rapat lainnya, maka Raga bisa sedikit bersantai untuk mengunjungi mamanya yang ia yakini sedang tidak sibuk di butiknya sana. Tuut, Tuut, Tuut, Raga berdecak kesal saat panggilannya belum disahuti juga. Padahal, biasanya Emily suka gesit dalam menjawab panggilan bosnya itu. Tapi pagi ini, kenapa gadis itu belum menjawab panggilannya juga. "Ck, Emily kemana sih. Tumbenan amat lama nyahut," gerutu Raga yang memutuskan sejenak panggilannya. Lalu mendial ulang agar segera dijawab oleh sang sekretaris. Selagi menunggu panggilannya tersambung, Raga pun mengedarkan pandangannya ke luar jendela. Pagi ini, kebetulan jalanan tidak sepadat pagi-pagi biasanya. Entah apakah orang-orang sedang sibuk menyiapkan kejutannya untuk ibunya masing-masing, atau karena masih pagi jadi jalanan belum dipadati kendaraan lainnya. Apapun alasannya, Raga tidak terlalu peduli. Yang jelas, hari ini Raga mau memberikan kejutan untuk mamanya. Berkat sang mama, Raga bisa ada di dunia. Karena mamanya juga, Raga bisa tumbuh hingga dewasa seperti sekarang. "Halo!" seru sebuah suara yang sigap membuat Raga kembali berdecak. "Kemana aja sih? Lama banget lo nyautin telepon gue," lontar Raga sedikit mengomel. Lalu, ia pun mendengar Emily tampak menghela napas seraya berkata, "Maaf, tadi gue lagi di perjalanan. Gak kedengeran kalo ada telepon." "Apa? Lo baru berangkat jam segini?" pekik Raga memelotot. Untung saja dia tidak sampai mengerem dadakan hanya karena dirinya sedang terkejut mengetahui sekretarisnya yang baru berangkat juga. "Iya. Tadi tuh gue mampir dulu ke TPU." "Hah? Mau ngapain? Mau pilih tempat?" "Bos gada ahlak! Lo pikir gue mau mati apa," seru Emily misuh-misuh. Tanpa bisa dicegah, Raga pun tertawa membahana. "Kali aja lo udah mau pilih tempat buat nanti lo disemayamkan di sana," kekeh Raga bergurau. "Lo aja duluan! Gue mah masih betah di dunia," dengkus Emily. Raga yakin, sekretarisnya itu pasti sedang merengut sebal pasca dibecandai seperti itu oleh dirinya. Lagi-lagi Raga tergelak. "Becanda, Em. Jangan dulu mati, kalo lo mati nanti gue kehilangan sekretaris terbaik yang pernah gue miliki," cetus pria itu terkekeh geli. "Cuma sekadar sekretaris?" ujar Emily memancing. "Untuk saat ini sih iya. Gak tau ke depannya, kali aja lo jadi jodoh gue," sahut Raga mengerling. Secara asal, pria itu malah melontarkan candaan yang menjurus ke bagian tersensitif. Raga tidak pernah berpikir bagaimana jadinya jika ucapannya barusan membuat Emily semakin baper. Raga bahkan tidak pernah peka sekalipun Emily sudah berterus terang akan keinginannya. "Halo, Em! Lo masih di sana kan?" tegur Raga memastikan. Pasalnya, suara gadis itu mendadak hilang tapi panggilannya masih tetap tersambung. "Apa?" gumam Emily menjawab. Raga menghela napas. "Gue pikir lo matiin teleponnya. Oh iya, gue bakalan agak telat masuk kantor. Kalo ada apa-apa lo hubungin gue aja ya, Em!" tukas Raga akhirnya memberi tahu. "Loh, emang mau ke mana dulu?" "Mau ke butik nyokap. Ada urusan sebentar." "Hoo, tapi gak akan lama kan?" "Gue usahain enggak. Lagian, kalo lama juga kenapa? Lo takut kangen sama gue?" lontar Raga kembali beraksi lagi. "Sekalipun gue kangen, kayaknya lo gak akan gubris. Udah ah, gak usah ngegombal mulu kalo ujung-ujungnya lo tidur sama cewek lain lagi. Lo pikir gue ini boneka barbie apa yang bisa lo mainin seenaknya! Tapi, setau gue sih cowok sejati gak pernah main barbie ya. Gak tau kalo lo," cerocos Emily yang mulai main perasaan. Membuat Raga lantas berdecak sembari memutar bola mata. "Gue juga gak pernah main barbie tuh. Lo kata gue setengah melambai. Udah ah, bentar lagi gue nyampe butik nyokap. Lo kerja yang rajin meskipun gak ada gue di sana! Gue tutup dulu teleponnya. Bye, Em!" seru Raga menyudahi perbincangannya. Bahkan, tanpa menunggu sekretarisnya itu menyahut lebih dulu, Raga pun sudah langsung memutuskan sambungan teleponnya bersamaan dengan mobil mewahnya yang memasuki parkiran butik Fenita yang baru saja dibukakan oleh satpam jaga yang siap bertugas. *** Ting tong! "Ya sebentar!" seru sebuah suara dari dalam. Sementara itu, Amira masih setia menunggu dengan jinjingan paper bag di tangan kanannya. Ceklek. Pintu pun ditarik terbuka dari dalam. Menampilkan sosok pembantunya yang menyunggingkan senyum santunnya kala mengetahui bahwa nona mudanya yang ternyata menekan bel beberapa saat yang lalu. "Pagi, Bik Sari!" sapa Amira riang. "Eh, Non Mira. Pagi juga, Non! Wah sudah lama sekali rasanya Bibik ndak ketemu sama si Non...." ujar Bik Sari tersenyum semringah. "Iya nih. Belakangan ini aku sibuk di galeri. Oh ya, Mama ada?" "Ada, Non. Tadi sih lagi main sama Den Rayan...." "Loh, emangnya Rayan gak sekolah?" tanya Amira mengernyit. "Libur katanya, Non. Soalnya, ini kan hari ibu. Jadi di sekolahnya ada acara karnaval, tapi Den Rayan malah mogok ke sekolah karena malas ikut acara gituan katanya," jelas Bik Sari. Tampaknya, pembantunya ini sangat tahu sekali mengenai seluk beluk keseharian tentang adik tirinya itu. Amira manggut-manggut dengan mulut yang membulat penuh. Jadi, Rayan adalah anak lelaki berusia 7 tahun. Dia memang adik tiri Amira. Meskipun terlahir dari rahim yang sama, tapi Rayan dan Amira tidak satu ayah. Maka, tidak heran seandainya Amira menganggap Rayan sebagai saudara tirinya. Ya, Tania memang memutuskan untuk menikah lagi saat Amira baru saja lulus SMA. Awalnya, hal itu ditentang Amira--lain hal dengan Selomita yang setuju-setuju saja misalkan mamanya ingin menikah lagi, toh ia tidak tinggal satu rumah dengan mereka--tapi seiring berjalannya waktu, Amira pun mencoba untuk menerima kehadiran papa tirinya yang merupakan rekan bisnis mamanya sendiri. Tapi dengan catatan, Amira ingin tinggal berpisah ketika ia sudah mempunyai pekerjaan sendiri. Dan itu semua disepakati juga oleh mama juga papa tirinya. Meski sebenarnya papa tirinya ingin sekali hidup satu atap dengan sang anak tiri, tapi Amira sudah memutuskan untuk hidup mandiri di tengah mamanya yang sudah memiliki Rayan. "Mama!" seru Amira ketika ia sudah berjalan masuk ke ruangan tengah. Dilihatnya, mamanya memang sedang duduk santai sembari melihat-lihat majalah di sela Rayan yang sedang bermain ponsel di sebelahnya. Mendongak, Tania lantas melayangkan tatapannya pada sang anak. "Mira!" balas Tania seraya berdiri. Lalu, ia pun menaruh majalahnya ke atas meja dan mulai melangkah menghampiri anak gadisnya. "Apa kabar, Ma?" sapa Mira sembari memeluk Tania. "Baik, Sayang. Mama selalu baik dan Mama yakin kamu pun selalu baik-baik aja kan di rumah barumu itu," ujar Tania berkaca-kaca. Amira mengangguk. "Selamat hari ibu, Ma. Maafin Mira kalo selama ini jarang banget nengokin Mama. Mira sibuk di galeri tapi Mira selalu ingat sama Mama dan Rayan," ucap Amira masih dalam pelukan sang mama. Air mata Tania jatuh menetes. Tidak menyangka kalau hari ini ia akan dikunjungi oleh salah satu anak perempuannya yang sudah satu bulan ini tak menemuinya. "Makasih, Sayang. Mama pikir kamu lupa sama hari ibu ini. Semoga kamu selalu diberikan kesehatan oleh Yang Maha Kuasa...." balas Tania sembari mengecup pipi sang anak. "Aamiin. Oh iya, Mira bawain kue tart tiramisue kesukaan Mama." Seusai berpelukan, kini Amira pun menunjukkan isi di dalam paper bag cokelat yang dijinjingnya sedari tadi. "Tiramisue? Rayan mau, Kak!" seru anak lelaki itu tiba-tiba menimbrung. Kemudian, Amira pun berjongkok guna memeluk Rayan yang datang menghampirinya. *** "Selamat hari ibu, Ma. Semoga Mama selalu disehatkan dan diberikan umur yang panjang. Raga sayang banget sama Mama...." ucap pria itu memeluk Fenita. "Makasih, Nak. Mama juga sayang sama kamu. Terlepas dari kelakuan kamu yang selalu mainin wanita, tapi sayang Mama gak pernah pudar buat anak Mama ini...." ujar Fenita membelai pipi anaknya lembut. Raga nyengir lebar. Ia pun mengusap tengkuknya seraya berkata, "Raga punya sesuatu buat Mama." "Apa?" tatap Fenita mengernyit. "Wait a minute!" seru Raga. Lalu, ia pun berlari kecil mendekati tas kerjanya dan mengambil sesuatu dari sana. Sejurus kemudian, Raga kembali menghampiri sang mama seraya menyodorkan sebuah kotak hadiah kepada mamanya. "Semoga Mama suka," gumam Raga tersenyum. "Apa ini?" tanya Fenita sambil meraih benda itu. "Buka aja!" Seakan tidak mau terus diselimuti rasa penasaran, Fenita pun segera membuka penutup kotak tersebut. Sontak, ia pun tersenyum semringah kala melihat jam tangan model terbaru yang ia ketahui merupakan model limited edition alias hanya ada dua buah saja jam bermerek ternama itu di dunia. "Ya ampun, Raga. Mama suka banget...." ucap Fenita berkaca-kaca. "I know. Semoga Mama selalu pulang tepat waktu dan gak pernah lupa buat urus Raga dan Papa," cetus pria itu dengan doanya. Membuat Fenita tersenyum penuh haru dan memeluk Raga begitu erat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN