6. Sebuah Bujukan

1644 Kata
Raga tahu kalau sekretarisnya pasti masih ngambek dan merasa kesal terhadapnya. Buktinya, saat jam makan siang sudah berlalu sekitar 10 menit yang lalu, gadis itu belum juga menampakkan dirinya. Padahal, Emily bukan tipikal sekretaris yang ngaret sejauh ia bekerja dengan dirinya. Tapi siang ini, gadis itu sepertinya memang sedang benar-benar kesal pada Raga yang sudah membuatnya kecewa karena hal yang ia lakukan tadi pagi. "Emangnya tadi malem lo gak pulang ke rumah? Kok bisa sampe gak sempet ganti baju dulu sih pas mau datang ke kantor...." Emily bertanya sembari ia mengeluarkan satu setel pakaian kerja yang ia simpan di dalam lemari mini yang tersedia di sudut ruangan Raga sendiri. "Loh, kok bisa ada pakaian di sana?" lontar Raga kaget. Pasalnya, ia yang menghuni ruangan itu selama ini justru baru tahu sekarang kalau Emily menyimpan beberapa setel pakaian kerja di lemari mini yang Raga pikir hanya berisi berkas lama saja mengingat tak pernah diperiksanya. "Sebagai sekretaris yang terakreditasi. Gue harus punya planing B dong buat bos gue sendiri. Jadi, bersyukurlah karena lo udah mempekerjakan gue sebagai sekretaris kepercayaan lo!" tukas Emily tersenyum miring. Lalu, ia pun menyerahkan satu setel pakaian tersebut setibanya ia di hadapan Raga yang masih tak menyangka. "Ayo ganti! Lo gak mau kan kalo sampe Pak Pandu dan sekretarisnya kabur duluan karena kelamaan nungguin relasinya gak nongol-nongol?" lanjut Emily mengomando sang atasan. Sigap, Raga pun mengambil alih setelan kerja itu dari tangan Emily. "Thanks, Emily. Gue udah duga dari awal, lo emang patut dipertahankan sebagai sekretaris gue yang bisa diandalkan." Kemudian Raga pun bergegas menuju kamar kecil guna menukar pakaiannya terlebih dahulu. "Itulah Emily. Tanpa gue, lo bahkan gak bisa segesit itu dalam menyelesaikan segala sesuatunya!" seru Emily membanggakan diri sendiri. "I know. You are the best sekretary, Em!" balas Raga sembari benar-benar melangkah masuk ke dalam kamar kecil tersebut. Sementara itu, Emily memilih untuk duduk menunggu di sofa yang tersedia. Sambil menantikan Raga menuntaskan kegiatannya, Emily merogoh ponselnya yang ia taruh di dalam saku blezernya. Lalu, untuk beberapa saat Emily pun tenggelam dalam patroli sosial medianya. Sampai tak lama kemudian, Raga pun muncul kembali dengan pakaian kerja barunya yang jauh lebih terlihat segar dari sebelumnya. "I am ready!" ucap Raga penuh semangat. Sontak, membuat Emily langsung mengarahkan pandangannya ke sumber suara dan menerbitkan senyuman puasnya kala melihat penampilan sang atasan yang akan selalu tampan dalam balutan pakaian kerja warna apapun. "You are so good," gumam Emily sembari bangkit berdiri. "Ini semua berkat lo, Em. Thanks a lot. Gue berhutang budi buat perlakuan lo pagi ini," tutur Raga mengerling. Lantas, kini ia pun mulai melangkah menghampiri Emily. "Gak usah sok ngutang! Janji lo yang kemarin aja belum kepenuhi kok," sanggah gadis itu mendelik. "I remember, Em. Gak usah takut, gue pasti datang kok!" seru Raga sembari menyentuhkan tangannya ke pucuk kepala Emily dan menepuk-nepuknya dua kali. "Ish, dikira gue kucing apa." Emily menepis tangan Raga di kepalanya. Kemudian, ia pun menatap pria itu seraya berkata, "Lo belum jawab pertanyaan gue by the way...." Raga mengernyitkan dahi. "Pertanyaan yang mana?" Gadis itu mendecak seraya mendengkus kasar kala Raga melupakan soal pertanyaan yang telah ia ajukan tadi. "Soal lo yang tadi malam pergi ke mana? Kenapa lo bisa gak sempet ganti baju dulu saat lo tau kalo pagi ini ada jadwal meeting sama Pak Pandu dan beberapa staf lainnya," ulang Emily bertanya lugas. Mendengar itu, Raga pun teringat akan kejadian panas tadi pagi yang ia lakukan bersama wanita bule yang ia ketahui seorang sekretaris juga di perusahaan saingannya. "Kemarin malam gue ada pertemuan sama temen," ucap Raga seolah ragu untuk menyebutkan nama Juliet. Namun Emily cukup peka rupanya. Spontan, gadis itu pun menyipitkan pandangannya seraya menyorotkan tatapan penuh selidiknya. "Temen yang mana?" lontar Emily mencoba mencari tahu. Untuk sesaat, Raga menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Eng, itu loh ... Temen gue yang--Oh s**t! Ini udah lebih dari waktu yang lo minta deh kayaknya. Mending, kita langsung balik ke ruang rapat aja yuk! Di sana, Pandu dan yang lainnya kan udah nungguin kita. Yuk kita balik!" ajak Raga seakan dengan sengaja mengganti topik pembicaraan. Menyadari gelagat Raga yang tak biasa, Emily pun semakin diserang rasa curiga yang tak berkesudahan. "Lo jawab pertanyaan gue dulu atau gue bakalan mogok buat ikut rapat sama lo pagi ini!" tandas Emily menghentikan pergerakan Raga yang semula sudah hendak berjalan menuju pintu. Kontan, hal itu pun membuat Raga mengumpat tertahan di tengah pejaman matanya bak orang sedang terjebak dalam lingkaran dilema. Lalu, Emily pun berjalan mendekati Raga. Bahkan, kini ia pun sudah berdiri di hadapan Raga dengan kedua tangan yang terlipat di d**a. "Em, kita udah telat," cicit Raga meringis. "Lo ke tempat siapa tadi malam, ha?" todong Emily menatap tajam. Sementara itu, Raga terlihat kebingungan untuk sekadar memberikan jawaban pada sekretarisnya itu. Padahal, Raga bisa saja memberitahukannya secara langsung. Tapi, Raga bahkan tidak siap seandainya Emily mendadak marah hanya karena Raga yang begitu mudah bermain dengan wanita lain dibanding Emily yang sudah sekian lama menantikan sentuhannya. "Kok ngedadak bisu sih," desis Emily semakin mendesak. Sampai kemudian, mau tak mau Raga pun memutuskan untuk berkata jujur saja daripada rapatnya beneran gagal total. "Tadi malem gue ke apartemen Juliet," gumam Raga berterus terang. Dilihatnya, Emily sempat membelalak walau tak lama. "Juliet itu--" "Gue tau. Dah lah, ayo kita ke ruang rapat!" potong Emily yang kemudian langsung berbalik badan guna berjalan menuju pintu. Melihat sikap Emily yang dingin, Raga sangat yakin kalau sekretarisnya itu sedang menahan kesal alias ngambek pada dirinya. Tok tok tok, Lamunan Raga buyar kala suara ketukan pintu terdengar mengejutkan dari balik pintu ruangannya sana. Sejenak, ia berdeham, lalu mengalihkan perhatiannya ke arah pintu tersebut. "Siapa?" seru pria itu seolah sudah siap menerima kehadiran siapa pun yang mengetuk pintu itu. "Emily," sahut si pemilik suara datar. Mendengar nama Emily, Raga pun seakan baru saja mendapatkan angin segar. Sigap, pria itu pun buru-buru beranjak dari duduknya dan melangkah cepat menuju pintu. Khusus untuk Emily, Raga pun bersedia membuka pintu itu dengan tangannya sendiri. Ceklek. Pintu pun sudah berhasil Raga tarik terbuka. Menampilkan sosok sekretarisnya yang ia lihat sedang memasang raut datar tepat di depan wajahnya. "Emily, lo udah kembali. Gue pikir, lo masih pengin hirup udara siang di luar kantor. Padahal, kalo pun lo masih mau kelayapan di luar, gue gak keberatan kok. Gue--" "Ini berkas yang harus Bapak tandatangani siang ini. Saya tunggu sekarang juga," sela Emily formal. Lalu, ia pun menyerahkan berkas dalam map biru tepat ke tangan Raga detik itu juga. Pria itu mengerjap. Dugaannya tentang Emily yang masih marah sepertinya tidaklah salah. Buktinya, gadis itu malah tetap bersikap formal meskipun Raga sudah mengajaknya berbicara dengan bahasa santainya seperti barusan. "Em, lo masih marah ya sama gue?" tanya Raga berusaha untuk mengajak Emily berinteraksi. Tapi, Emily sendiri memutuskan untuk tidak menggubrisnya dibanding menyahuti pertanyaan Raga barusan. Demi mengabaikan bosnya, Emily bahkan memilih untuk berjalan kembali menuju mejanya sendiri. Melihat itu, Raga hanya bisa menghela napas panjang. Lalu, ia pun berjalan menuju mejanya juga guna membubuhkan tanda tangan di atas berkas yang Emily berikan. Selagi Raga menunaikan tugasnya sebagai Ceo yang harus memberikan tanda tangan untuk berkas yang sekretarisnya serahkan, di tempatnya sendiri, Emily sedang berusaha memfokuskan diri pada sejumlah pekerjaannya yang harus ia selesaikan sore ini juga. Walaupun kekesalannya masih belum lenyap, tapi demi keprofesionalan yang dimilikinya, Emily harus tetap mengerjakan seluruh tugasnya tanpa memedulikan sikap Raga yang berniat untuk mengajaknya berinteraksi seperti tadi. Lalu, beberapa saat kemudian Raga pun muncul ke luar dari ruangannya. Sambil menggaruk kepala, pria itu berjalan santai menghampiri meja sang sekretaris. "Berkasnya sudah diberi tanda tangan," gumam Raga sembari menyodorkan berkas tersebut ke hadapan Emily. Lalu, saat gadis itu hendak mengambil berkasnya, tahu-tahu Raga malah menarik kembali berkas itu yang seketika tak bisa Emily raih karena keburu Raga jauhkan. Merasa dipermainkan, Emily lantas menatap Raga dengan tatapan pembunuhnya. "Ada apa?" tanya pria itu sok polos. "Kalo sekiranya belum niat balikin berkas itu, mending Bapak gak usah sok ngedatangin meja saya. Toh saya bisa ambil sendiri ke meja Bapak nanti," tutur Emily dengan sedikit geraman dalam suaranya. Raga terkekeh. Lalu, ia pun mengusap rambutnya ke atas menggunakan satu tangan yang bebas. "Nanti pulang kerja, lo gue anter ya," ujar Raga tiba-tiba. Melirik, Emily lantas menjawab, "Gak usah, makasih. Masih banyak taksi yang lewat kok buat saya tumpangi." "I know. Tapi kan lebih baik bareng sama gue. Selain hemat ongkos, kita juga bisa makan malam bareng dulu di kafe yang lo suka kunjungin. Gimana?" lanjut Raga menatap berbinar. Emily kembali menatap Raga dengan datar. "Lagi nyogok nih?" cetusnya tersenyum miring. "Kalo itu bisa bikin lo maafin gue, anggap aja iya!" sahut Raga balas tersenyum. Emily terdiam. Diberi senyuman maut seperti itu, Emily tidak kuat untuk tetap bertahan dalam kekesalannya. Sebut saja Emily bucin pada Raga. Iya, Emily memang sudah terlampau jatuh hati pada pria itu. Maka, tidak heran seandainya Emily merasa terhanyut walau hanya diberi senyuman maut sejenis itu oleh pria yang disukainya sekaligus atasannya tersebut. "Gimana?" lontar Raga lagi mengulang. "Kafe Cozy Mirami, saya mau makan sepuasnya di sana," ucap Emily masih dengan raut datarnya. Padahal, hatinya sedang berdebar tak keruan saat ini. Mendengar itu, Raga pun tersenyum puas. Walaupun Emily belum menampilkan senyumannya, tapi paling tidak gadis itu sudah berhasil Raga bujuk dengan ajakannya. "Oke. Sekalipun lo mau kuras dompet gue itu gak masalah. Yang penting, lo gak marah lagi dan mau maafin kesalahan gue." Emily menggeram lagi. Lalu, kini gadis itu menadahkan sebelah tangannya ke hadapan Raga. "Apa?" tanya pria itu tak paham. "Berkasnya. Itu mau saya kerjakan sekarang," ujar Emily menjelaskan. "Oh," balas Raga singkat. Kemudian, ia pun lekas memberikan berkas di tangannya kepada Emily. "Anyway, kacamata siapa tuh? Kok gue baru liat," imbuh Raga sambil menaikkan sebelah alis. Refleks, Emily menyentuh kacamata yang ia pinjam dari sahabatnya. "Kepo banget. Sejak kapan Bapak mau tau barang yang saya pake itu kepunyaan siapa," deliknya judes. Lantas, Emily pun memilih untuk segera menenggelamkan dirinya lagi dengan pekerjaan yang harus segera ia selesaikan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN