GAD

1102 Kata
        Aku semakin terpuruk. Kehilangan kepercayaan pada orang lain. Bahkan pada opa sekalipun. Aku menganggap bahwa opa lah penyebab semua ini. Apalagi opa tidak membantah saat aku menyalahkannya atas kandasnya hubunganku dengan Kay. Opa juga bungkam saat aku menanyakan alasan mengapa ia melakukan semua ini. Saat itu hanya Yasmin dan Ibra yang aku percaya. Hanya mereka yang aku ijinkan terlibat langsung dalam keseharianku.         Aku masih belum menyerah. Aku meminta bantuan pada Yasmin dan Ibra untuk mencari tahu keberadaan Kay di Bandung. Sepupu Yasmin yang kuliah di kampus yang sama dengan Kay mengatakan bahwa kabarnya Kay tengah menjalin hubungan dengan Velisha. Aku tau Velisha meski tidak mengenalnya langsung. Kay pernah bercerita kalau Velisha adalah anak gubernur yang juga pemilik perusahaan tempatnya magang dulu. Sepupu Yasmin bahkan sempat mengirimkan foto-foto kedekatan mereka. Didepan Ibra dan Yasmin aku mengelak. Aku menyangkal kebenaran hubungan mereka meski sebenarnya dalam hati aku juga mulai goyah. Mulai mempercayai hubungan mereka. Rasanya tidak percaya, begitu cepat Kay menemukan penggantiku. Aku masih berharap suatu hari nanti Kay akan datang memberikan penjelasan yang logis atas apa yang terjadi.                 Beberapa bulan kemudian, Harapan itu semakin menggebu saat aku mendapati sebuah pesan dari Kay yang mengajak bertemu di salah satu taman di Bandung. Akhirnya aku memutuskan untuk datang setelah berdebat panjang lebar dengan Yasmin dan Ibra. Aku menunggu hampir lima jam tapi belum ada tanda-tanda Kay datang. Saat menunggu aku dihampiri beberapa brandal jalanan. “Kay tidak akan datang. Percuma saja kamu menunggu. Lebih baik kamu ikut kami saja bersenang-senang” aku hanya diam saja mengacuhkan godaan yang mereka lontarkan. Saat mereka berani menyentuh pundakku aku mulai merasa takut hingga aku lari tidak tentu arah. Sialnya pelarianku itu malah mengantarkanku pada preman yang sedang mabuk. Mereka menggodaku dengan lebih agresif dibanding brandal tadi. Aku sempat lari tapi mereka berhasil mengejarku. Saat terpojok aku berteriak histeris meminta tolong tapi tidak ada yang mendengar karena suasana di tempat itu sangat sepi. Aku semakin menangis ketakutan saat salah satu dari mereka merobek lengan baju ku sedangkan yang lain memegang kedua tangan dan kakiku. Aku semakin memberontak saat salah satu dari mereka berusaha mencium leherku. Saat itu aku merasa benar-benar tidak berdaya. Hanya bisa berdoa dan pasrah dengan keadaan.       Sepertinya tuhan masih mendengar doa ku. Tepat saat mereka hendak membuka baju ku, tampak seseorang menarik preman yang berada diatas kakiku. Aku bisa mendengar suara baku hantam. Tapi aku hanya bisa menunduk sambil memeluk tubuh ku sendiri, menangis histeris. Tiba-tiba aku merasakan sepasang tangan memegang pundakku. Aku semakin ketakutan dan menangis kencang. “Rein tenang. Ini aku Ibra. Jangan takut” aku mendongakkan kepalaku dan menemukan tatapannya. Dia lantas memakaikan jaketnya padaku. Menutupi baju ku yang sudah koyak di beberapa tempat. Dia lantas membawaku kedalam dekapannya. Aku semakin menangis dalam pelukannya. He is my hero.                 Kejadian menjijikan itu membuat ku sering histeris. Aku merasa jijik dengan diriku sendiri. Andai saja Ibra tidak datang saat itu, entah apa yang akan terjadi denganku. Luka yang Kay torehkan saja belum sembuh. Harus ditambah lagi dengan kejadian pelecehan itu membuatku depresi. Untung saja tidak sampai gila. Aku di diagnose menderita Avoidant Personality Disorder, yakni suatu gangguan yang ditandai dengan rasa tidak nyaman bersosial dan menghindari kontak intim. Serta gangguan GAD (Generalized Anxiety Disorder) yakni gangguan kecemasan umum yang disebabkan oleh pengalaman negative sehingga menyebabkan stress dan trauma psikologis.                 Yasmin sangat membenci Kay sejak kejadian itu. Dia menganggap Kay penyebab semuanya. Sedangkan Ibra, dia tidak banyak berkomentar. Ia selalu diam saat Yasmin mengutuk apapun tentang Kay. Aku hanya diam saja tidak lagi menyanggah ucapan Yasmin tentang Kay seperti sebelumnya karena aku juga mulai menyadari bahwa Kay penyebab dari semua ini meski secara tidak langsung. Perlahan mereka membantuku berdamai dengan keadaan. Mengikhlaskan yang sudah terjadi dan menerimanya sebagai takdir. Aku pun mulai mau menemui opa. Aku sadar sebagai pengganti orangtuaku opa pasti akan melakukan segala cara untuk melindungiku. Mungkin opa memiliki alasan kuat mengapa beliau menjauhkan ku dengan Kay. Aku yakin opa tahu lebih banyak hal tentang Kay hingga opa memutuskan menjauhkanku dengannya.                Setelah terapi rutin selama satu tahun lebih dengan dr. Vera aku mulai bisa kembali pada aktivitasku. Aku memutuskan mencari pekerjaan sambil terus menjalankan usaha konveksiku. Awalnya opa melarang. Ia ingin aku bekerja di salah satu perusahaannya atau di perusahaan milik almarhum papa. Tapi aku bersikeras menolak. Karena menurutku dengan menjadi karyawan biasa itu akan lebih cepat membantu proses sosialisasiku, membiasakan diriku berada di tengah tengah keramaian lagi. Untunglah tidak adanya nama Tahir di belakang namaku membuat aku diperlakukan sama. Tidak ada yang tahu kalau aku adalah cucu dari pemilik Tahir Grup. O iya, Aku juga masih harus mengunjungi dokter Vera meski intensitasnya berkurang dari tahun pertama.                 Enam tahun berlalu. Dari luar kehidupanku terlihat baik-baik saja. Traumaku juga sudah tidak pernah kambuh. Usahaku berkembang cepat. Karirku lumayan. Tapi dibalik semua itu, aku masih saja merasa hampa.  Kosong, begitulah hidupku. Tidak lagi punya ambisi. Hidup hanya sekedar menjalankan rutinitas. Aku yakin, Yasmin menyadari itu meski aku tidak pernah menceritakan kehampaanku secara langsung. Terlihat, ia mulai mendorongku untuk mulai membuka hati untuk Ibra. Sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa aku harus benar-benar memulai hidup dalam sebuah hubungan. Lantas aku menerima Ibra sebagai laki-laki dalam hidupku. Aku menyayangi Ibra karena seperti yang sudah kukatakan dia adalah super hero ku. Aku yakin Ibra tidak akan membuatku kecewa karena dia begitu menyayangiku dengan tulus. Semua orang tau itu. Bukankah kata orang lebih baik hidup dengan orang yang menyayangi kita setulus hati karena orang itu pasti akan selalu berusaha membahagiakan kita dan tidak akan membuat kita kecewa.                 Nyatanya, meski sudah ada Ibra disampingku tetap saja tidak membuatku berhenti memikirkan dia. aku masih sering menyebut namanya saat aku melamun sendiri. Sampai pagi itu, saat kali pertama aku melihatnya lagi setelah enam tahun. Jujur saja ada rasa bahagia yang menjalar melihat sendiri bahwa dia baik-baik saja. Bahkan sangat sukses. Dari sana aku sadar bahwa aku belum siap dekat dengannya dengan status baru. Sebagai teman ataupun rekan kerja. Hingga aku mati-matian menghindarinya. Toh aku juga sudah berjanji akan belajar memprioritaskan Ibra. Aku mulai menghabiskan banyak waktu ku dengan Ibra. Melakukan banyak hal selayaknya pasangan kekasih pada umumnya. Semoga dengan semakin seringnya aku menghabiskan waktu dengan Ibra bisa menghilangkan Kay dari pikiranku. Aku juga berharap bisa mencintainya seperti ia mencintaiku.                 Tapi aku merasa ada yang aneh dengan Kay. Beberapa kali kami berpapasan di lobby, tatapan matanya padaku tidak seperti biasanya. Sulit untuk di jelaskan. Tatapan itu seperti tatapan memelas, seperti tatapan penuh iba dan penyesalan. Aku berusaha tidak terpengaruh. Mengabaikan Kay yang beberapa kali sempat mengajakku mengobrol. Benar yang Ibra katakan. Bahwa aku belum siap berada di sekitar Kay. Aku memutuskan akan resign dari AMAAI setelah proyek yang aku tangani di Surabaya rampung. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN