Dilema

1324 Kata
Mobil yang dikendarai Ibra dan Reina baru sampai di parkiran apartement Yasmin saat matahari hampir terbenam, karena jarak apartemen Yasmin dan kantornya memang cukup jauh, ditambah lagi dengan kemacetan yang terjadi hampir di setiap sore. “Rein, aku gak ikut masuk ya. Sampaikan aja salam aku buat Yasmin” ujar Ibra “Yah, kenapa ga masuk Ib? padahal kan kita udah lama ga ngobrol bareng?”. “Aku kan udah bilang kalau nanti malam aku harus ke Palembang, ada kerjaan”. Ucapnya sambil tersenyum simpul menutupi kekecewaannya. Padahal baru tadi pagi ia mengatakan hal ini pada kekasihnya itu, tadi Reina sudah lupa. Sementara itu Reina merutuki sifat pelupanya itu. Bisa-bisanya ia melupakan hal itu “O iya aku lupa, maaf ya Ib. Dikantor lagi banyak banget kerjaan. Kamu berangkat jam berapa?” Ibra hanya tersenyum mendengar penuturan Reina, mencoba memahami kalau penyebab lupa nya Reina itu memang karna alasan pekerjaan, bukan karena ada seseorang yang dipikirkan kekasihnya itu. “Iya gak apa – apa." jawabnya tersenyum manis "Pesawat ku jam Sembilan malam” “Ya udah hati-hati ya, jangan lupa istirahat” ucap Reina sambil membuka seatbelt nya “Aku pasti bakal kangen banget sama kamu Rein, seminggu gak bisa ketemu” aku Ibra sambil memeluk tubuh Reina dan mengusap sayang pucuk kepalanya. Reina yang mendapat perlakuan seperti itu hanya bisa membalas pelukan Ibra dan berkata “Aku juga”. Ada perasaan yang aneh tiba-tiba menyusup dalam hati Reina. Ia belum bisa mendeskripsikan seperti apa perasaan itu, yang jelas itu tidak membuatnya nyaman. Ini bukan kali pertama Ibra memeluknya, tapi rasanya berbeda dari biasanya. Ia membiarkan saja posisi mereka seperti itu, Ibra yang memeluknya sambil menyusupkan kepala di ceruk lehernya dan tangannya mengusap punggung dan pucuk kepalanya dengan sayang, sampai Ibra mengurai pelukan mereka, lantas menatapnya dengan begitu lekat. “Aku sangat sayang sama kamu Rein, dari dulu sampai sekarang, dan aku percaya kamu pasti bisa menjaga perasaan aku meski saat ini kamu belum sepenuhnya mencintai aku”. Kalimat itu sederhana, tapi begitu menyayat hati Reina. Ada pengharapan yang begitu besar dari setiap untaian katanya. Terlebih pancaran bola mata itu, ia bisa melihat dengan jelas ketulusan itu disana. Dan.. ia juga bisa menangkap ketakutan dan kegelisahan dari intonasi kalimat itu. Reina mencoba menyelami perasaan Ibra, mengaitkannya dengan kejadian sejam yang lalu. Lantas membuatnya sadar bahwa wajar saja kalimat permohonan itu serta ekspresi ini Ibra tunjukan padanya. Hal itu lantas menyadarkannya pada semua pengorbanan Ibra enam tahun terakhir ini, tak pantas rasanya ia menyakiti laki-laki yang selalu menjaga dan melindunginya. Ah bukan hanya menjaga dan melindunginya, tapi juga selalu membuatnya tertawa, melepas beban dipundaknya. Perlahan tangannya pun terulur, menyentuh dan membelai lembut pipi pria yang selalu menjadikannya prioritas itu. Ingin rasanya ia meredakan kegelisahan pria yang kini ada di hadapannya itu. Hingga tanpa sadar, ia berucap “Dari awal aku sudah bilang bahwa aku tidak bisa menjanjikan apapun padamu Ib, tapi yang perlu kamu ingat, kalau aku akan selalu ada disamping kamu apapun yang terjadi kedepannya. Aku janji gak akan pernah ninggalin kamu”. Mendengar kalimat itu tentu sangat melegakan hati Ibra, karena ia tahu Reina-nya itu tak pernah ingkar dengan janjinya. Reina berjalan gontai saat keluar dari lift, menyusuri lorong menuju aparteman sahabatnya. Tetiba ia teringat dengan janji yang ia ucapkan pada Ibra beberapa menit yang lalu. Janji untuk selalu ada disamping pria itu apapun kondisinya. Ahh bisakah ia terus bisa menemani Ibra? Bisakah ia hidup berdampingan dengan Ibra sedangkan tahta tertinggi dihatinya masih saja diisi dengan orang yang sama sejak dua belas tahun yang lalu?. Tanpa terasa ia sudah berada di depan pintu apatemen Yasmin, memencet bel lantas menunggu sang pemilik membukakan pintu rumahnya. “Reina…” teriak Yasmin sambil menghambur memeluk tubuh Reina “Gue kangen tau sama lo padahal baru seminggu gak ketemu” ujarnya lagi. Yamin memang seminggu kemarin harus keluar kota karena ada pemotretan. “BTW mana ibra? ” "Dia cuma nganter aja. Nanti malam dia juga harus keluar kota. Tadi dia nitip salam buat kamu" Yasmin hanya tersenyum mendengar itu. Akhirnya kedua sahabat itu pun masuk dan duduk di sofa. Yasmin yang baru menyadari ada yang berbeda dari sahabatnya itu pun akhirnya bertanya, “Kamu kenapa Rein?”. Alih –alih menjawab pertanyaan itu, Reina lebih memilih untuk diam. "Rein apa ini soal perasaan kamu ke Ibra yang masih belum tumbuh?" Yasmin sebenarnya sangat tahu kalau dari dulu Reina itu hanya menganggap Ibra sebagai sahabatnya, tidak lebih dari itu. Ia tahu betul siapa orang yang masih bertahta di hati sahabatnya itu dari dulu. "Rein, aku tau mungkin saat ini kamu masih belum cinta sama Ibra. Tapi kalian udah saling kenal sejak lama. Apalagi Ibra udah memendam rasanya sama kamu dari semenjak SMA. Aku yakin sangat mudah untuk bisa jatuh cinta sama Ibra. Asal kamu mau berdamai dengan masalalu kamu. Benar-benar mengikhlaskan semua yang sudah terjadi, jangan lagi menyesali hal kecil apapun yang sudah terjadi" "Hubungan kalian sudah berjalan lebih dari setahun loh, sampai kapan kamu terus seperti ini? Terus menerus mempertanyakan cinta. Harusnya kalian udah ngobrolin soal pernikahan" Reina merenungi setiap kata yang diucapkan oleh Yasmin. Hanya Yasmin yang benar-benar tau bagaimana perasaannya. Apa yang diucapkan Yasmin sepertinya benar, ia masih belum bisa benar-benar mengikhlaskan apa yang sudah terjadi dimasalalu, karena masih ada penyesalan yang terus menerus membuat dirinya berandai-andai. Ia tahu hal itu sia-sia saja, karena apapun yang sudah terjadi tidak bisa terulang kembali bukan? Penyesalan hanya menggerogoti perasaannya yang semakin lama bukannya makin sembuh, malah makin membuatnya semakin terpuruk. "Aku udah coba Yas mengikhlaskan semuanya. Tapi sungguh itu tidak semudah yang dibayangkan. banyak hal yang tidak bisa aku kendalikan Yas, perasaan ini salah satunya" "Bentar deh Rein, kita udah sering bahas ini. Dan kita udah sepakat gak akan bahas lagi soal masa lalu. Tapi kenapa sekarang kamu tiba-tiba jadi seperti ini? Apa ada hal yang aku lewatkan?" tanyanya sambil memicingkan mata pada Reina meminta penjelasan. Reina sedikit salah tingkah ditatap seperti itu, ia tahu Yasmin pasti akan mengomelinya karena tidak menceritakan ini dari awal. "Seminggu yang lalu CEO perusahaan tempat aku kerja datang ke kantor" sebelumnya ia sudah menceritakan pada Yasmin bahwa CEO yang tidak pernah ditemuinya akan mulai memimpin AMAAI langsung. "Iya, aku tahu soal itu. Terus... bagian pentingnya?" tanya Yasmin tak sabar "CEO itu ternyata..." Reina menjeda kalimatnya, setelah menarik nafas dalam ia kembali berujar "Kay... kay-han". "What??" Tampak jelas raut kekagetan di raut wajah Yasmin "CEO AMAAI itu Kayhan? Kayhan Gahith Akbar?". Reina menganggukkan kepala membenarkan kalimat itu. "Kok bisa sih?" "Aku juga gak tau pasti sih. Tapi dia kan S2 di Australia dan AMAAI juga berasal dari australia". Yasmin masih mencoba mencerna semuanya, mengaitkan serpihan serpihan puzzle di masalalu tentang Kayhan. "Hebat juga ya dia, dalam 6 tahun sudah bisa jadi CEO perusahaan besar". "Eh bentar deh, apa AMAAI ada kaitannya sama Velisha? Secara kan bokapnya Velisha tajir gila". Reina hanya menggedikkan bahunya acuh menanggapi kalimat itu. "By the way, Ibra udah tau soal ini?" Reina mengganggukan kepalanya. "Kamu cerita" ia menggeleng. "Tadi aku liat Ibra berpapasan sama Kayhan di lobby kantor. Tapi Ibra lebih memilih tidak membahas ini denganku saat di mobil tadi. Seperti Ibra juga kecewa karena aku gak cerita dari awal soal ini sama dia". “Aku udah banyak ngasi harapan ke dia Yas, yang aku sendiri juga masih ragu bisa memenuhi semua itu atau tidak. Aku takut Yas… takut nantinya aku bakal lebih nyakitin Ibra, dia terlalu baik Yas”. Tak terasa matanya mulai berkaca-kaca, Reina pun tak lagi mampu membendung air matanya. Menutup wajah dengan kedua telapak tangannya lalu membenamkannya di kedua kakinya. Yasmin yang menyaksikan itu ikut merasa pilu juga. Sudah lama ia tidak lagi pernah melihat Reina seperti ini. kembali rapuh disebabkan oleh orang yang sama. Yasmin bisa melihat bahu Reina yang bergetar hebat yang cukup menjadi pertanda bahwa sang pemiliknya tengah menangis tersedu-tersedu. Tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa mengusap punggung sahabatnya itu berulang kali berharap bisa sedikit mengurangi sesak yang dirasakan. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN