Awal Kekhawatiran

1108 Kata
    Sejak pertemuannya kembali dengan Kayhan seminggu yang lalu, kantor tidak lagi jadi tempat yang nyaman bagi Reina. Selalu ada perasaan resah dan takut saat ia berada dikantor. Entah sampai kapan ia bisa terus menghindar agar tidak berpapasan dengan Kayhan. Untung saja posisinya saat ini tidak mengharuskannya memberikan laporan secara langsung kepada sang CEO. Tapi ia tau ini tidak akan berlangsung lama, karena proyek di Surabaya sudah akan dimulai. Teguran Bu Widia, managernya, membuyarkan lumanannya.     “Reina, kamu melamun?” sapaan Bu Widia di mejanya.      “Iya bu, maaf. Ada yang bisa saya bantu bu?” Tanya Reina sedikit heran karena tidak biasanya Bu Widia mengdatangi mejanya. Biasanya jika ada perlu beliau selalu memanggil karyawan ke ruangannya.     “O iya ini untuk bahan proyek di Surabaya, minggu depan kamu ikut pak Kay ke Surabya untuk meeting dengan para investor disana”     “Baik bu”. Setelah Bu Widia meninggalkan mejanya, rekan satu divisinya mendatanginya     “Selamat ya Rein, hebat banget lo bisa di percaya sama CEO kita buat nanganin proyek besar ini”. Reina hanya tersenyum menanggapi ucapan rekannya. Entah ia harus senang atau sedih bisa dipercaya menangani proyek yang merupakan proyek terbesar AMAI tahun ini.     “gak usah seneng dulu, inget tanggung jawab kamu besar. Jangan sampai karena ketidakmampuan kamu menyebabkan masalah apalagi sampai merugikan perusahaan kita” kali ini suara Pak Nanto yang merupakan karyawan paling senior diantara kami semua. Menanggapi kalimat pedasnya Reina mencoba tersenyum sambil berkata “Tentu pak, saya pasti akan melakukan yang terbaik”     Jam sudah menunjukan waktu pulang kantor, malah sudah lebih sepuuh menit. Hampir seluruh karyawan sudah meninggalkan kantor. Tapi Reina masih belum selesai mengerjakan tugasnya, padahal 15 menit yang lalu Ibra sudah menunggunya di lobby. Ya, hampir tiap hari Ibra selalu mengantar jemputnya.     Saat Ibra menunggu Reina di lobby kantor, pandangannya menyipit melihat sosok yang sangat ia kenali, seseorang yang selalu membuatnya iri. “Ka.....y.. Kayhan?” sapanya tak bisa menyembunyikan raut kagetnya. Berbeda dengan Kay yang sama sekali tidak terkejut melihat keberadaan Ibra di kantornya. Tentu saja ia tidak terkejut, karena diam diam ia selalu memperhatikan Reina dan tau bahwa Ibra selalu mengantar jemputnya.     “Hallo Ibra, lama ya tidak bertemu. Apa kabar?”. Bukannya menjawab pertanyaan Kay, Ibra malah balik bertanya, “Kok lo bisa ada disini Kay?”. Mendapat pertanyaan seperti itu Kayhan hanya tersenyum simpul, “Oh rupanya istri lo belum cerita ya? Ini perusahaan gue”     “Istri?” tanyanya masih tak mengerti dengan kalimat yang diucapkan Kay. Saat Ibra akan bertanya kembali tiba-tiba dari arah pintu masuk tampak seorang gadis yang berjalan mendekati mereka     “Kak Kay” sapa gadis itu sambil langsung melingkarkan tangannya di lengan Kay.     “Hei Velish, tumben kesini ada apa?”     “Aku kesini sengaja mau jemput kaka, Ayah ngundang kita buat makan malam. Kaka udah seminggu lebih di Indonesia tapi belum sempat mengunjungi ayah” ucapnya dengan nada manja dan merajuk.     “Iya maaf, lagi banyak kerjaan soalnya”. Ibra masih menerka nerka dengan apa yang dilihatnya, dan sepertinya perbincangan mereka begitu asyik hingga tak menyadari keberadaannya. Akhirnya Ibra pun angkat suara     “Hhmm” Velisha yang baru menyadari kalau mereka tidak hanya berdua lantas menoleh kea rah sumber suara. Sontak saja matanya membulat dan tanpa sadar mulutnya berkata “Kak Ib..ra” Ibra yang mendengar namanya di sebut tentu saja kaget, tak menyangka kalau Velisha akan mengenalinya.     “Lo kenal sama gue?” meski Ibra tak pernah bertemu langsung dengan Velisha, tapi ia cukup tau siapa perempuan yang ada didepannya ini.     “Iya Vel, Kok kamu bisa kenal sama Ibra?”. Tanya Kayhan pula. Velisha yang mendapat pertanyaan dari Kay menjadi salah tingkah. Ia pun berusaha tersenyum untuk menutupi kegugupannya.     “Gak kenal sih kak, Cuma aku waktu itu pernah liat fotonya di kamar Kak Kay terus aku Tanya sama kak Rendi. Dan kak Rendi bilang namanya kak Ibra”.     “kok foto gue bisa ada...” belum sempat Ibra menyelesaikan kalimatnya, Velisha langsung memotong ucapannya.     “Ayo kak, kita langsung pulang aja, keburu macet”. Meski tak pernah bertemu secara langsung, tentu saja ia tak akan pernah melupakan Ibra, laki-laki yang secara tidak sengaja punya peranan penting dalam hubungannya dengan Kayhan. “Tapi kenapa Ibra bisa ada di kantor kak Kay? Apa jangan jangan dia juga ada disini?” Tanya nya dalam hati. Ah tapi itu tak penting, yang terpenting saat ini ia harus secepatnya membawa Kay pergi darisini, karena kalau tidak Kay bisa bertanya yang bukan bukan. Kay yang merasa tangannya sedikit ditarik oleh Velisha pun akhirnya berkata “Baik lah ayo” lantas ia pun menatap Ibra dan berkata “Gue duluan ya Ib, sampai ketemu lain waktu”. Lalu Kay pun berlalu bersama Velish yang masih menggelayut manja pada lengannya. Sebenarnya ia risih dengan sikap Velish yang seperti ini, terlebih lagi ini dikantor. Masih banyak karyawan yang melihatnya. Tidak ada yang menyadari bahwa ada dua pasang mata yang mengamati semua kejadian itu. Setelah melihat kepergian Kay dan Velish, Reina pun menghampiri Ibra “Lama ya nunggu nya? Maaf ya Ib” ucap Reina dengan nada yang dia buat ceria, berusaha menutupi keresahan dan kekhawatirannya hatinya. Melihat sikap Reina yang seperti ini Ibra meyakinkan dirinya bahwa pasti Reina tidak tau kalau ia baru saja bertemu dengan Kay dan Velish. Kekhawatiran mulai ia rasakan. Tapi sebisa mungkin ia menepis semua itu. “iya gak apa apa. Ayo katanya mau ke apartemen Yasmin nanti keburu macet”. Ibra pun mengajak Reina berjalan menuju mobilnya.     Ternyata benar saja, jalanan sudah sangat macet saat mobil yang dikemudikan Ibra memasuki jalan raya. Keheningan menyelimuti perjalanan mereka. Baik Ibra maupun Reina sibuk dengan pikirannya masing-masing. Awalnya Reina berpikir Ibra akan membahas soal Kayhan saat di mobil, tapi ternyata dugaannya salah. Ibra malah memilih mendiamkannya. Mungkin Ibra menjaga perasaannya, atau justru mungkin saking marahnya Ibra jadi mendiamkannya. “Ahh, situasinya jadi canggung gini kan, gue gak suka” gumam Reina dalam hatinya. Reina bingung sekarang ia harus bersikap bagaimana pada Ibra. Ia yakin Ibra pasti kecewa karena ia tak memberi tahu bahwa CEO di perusahaannya adalah Kayhan.     Sedangkan Ibra hanya focus dengan kemudinya tampak tidak berniat memulai pembicaraan. sesekali Ibra melirik ke arah Reina yang hanya menatap kosong kedepan. Sepertinya Ibra mulai paham perubahan sikap Reina akhir-akhir ini. Berbagai perasaan berkecamuk dalam hatinya, mulai dari rasa kecewa karena Reina  tidak lagi terbuka padanya. Ada juga perasaan khawatir terhadap psikis Reina, apakah Reina sudah siap bertemu Kayhan? Ia takut mental Reina kembali tergucang seperti enam tahun lalu. Tapi yang lebih besar dari semua rasa itu adalah rasa takutnya. Perasaan ketakutan yang diam diam menggerogoti hatinya, mungkinkah sekarang ia akan kembali kalah?  *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN