Sambutan Hangat

1269 Kata
Sambutan Hangat         Waktu sudah menunjukan pukul 11 lebih saat malam itu Reina tiba di rumah keluarga Kayhan. Rumah dua lantai bergaya minimalis yang cukup besar. Kedua orang tua Kayhan tampak menyambut kedatangannya saat ia memasuki pintu utama rumah itu. Sepertiny Kay sudah memberitau perihal kedatangannya pada orangtuanya. “Assalamualaikum” ucap Reina sopan “Waalaikumsalam” jawab kedua orangtua Kay, tampak Bunda berjalan menghampiri dan memeluknya erat sekali. “Bunda kangen sekali sama kamu nak” ucapnya setelah melepas pelukan. Tampak matanya berkaca-kaca. Reina terharu melihat itu. Bunda memang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Terlebih sejak kedua orangtuanya meninggal akibat kecelakaan saat ia masih SMA. Tidak banyak yang berubah dari wanita berusia hampir 50 tahun itu, dari semenjak mereka bertemu terakhir kali enam tahun yang lalu. “Reina juga kangen sama bunda”. Lantas pandangan Reina beralih pada laki-laki yang berada di belakang Bunda, “Ayah…” lirih Reina. Ayahpun memeluk Reina dan mengusap kepalanya sayang. “Apa kabar anak gadis ayah?”. Reina memang sudah dianggapp seperti putri sendiri di keluarga Kay. Terlebih lagi karena Bunda dan ayah tidak memiliki putri. Mereka hanya memiliki tiga orang putra. Kay sebagai sulung. Rayhan sebagai anak kedua dan Jayhan sebagai bungsu. “Reina baik ayah. Ayah sama bunda sehat?”. “Kami sehat sayang” kali ini bunda yang menjawab.         Kayhan yang sedari tadi memperhatikan interaksi antara Reina dan orangtuanya hanya tersenyum saja. Sungguh pemandangan seperti ini sudah lama sekali tak pernah ia lihat. Hal itu tentu saja mampu menggetarkan hatinya. “Hati-hati kak, jangan sampai baper la..gi”. Ray tiba-tiba datang dan mengejutkannya. Ia berlalu begitu saja melewati kedua orangtuanya, mengabaikan apa yang terjadi di ruang tamu itu. Kayhan tentu paham dengan perubahan sikap adiknya itu pada Reina. “Ray…” bunda yang melihat Ray melintas memanggilnya. “Ray ngantuk bun, mau tidur” jawabnya acuh sambil terus berlalu menuju tangga.              Setelah melepas rindu sejenak dengan kedua orangtua Kay, akhirnya Reina disuruh untuk beristirahat di kamar yang tepat berada disebelah kamar Kay. Awalnya ia kira ini kamar tamu. Tapi saat ia membuka pintu kamar itu ia dibuat terkejut. Kamar dengan nuansa pink yang sangat feminim. Terlihat dari warna cat dan beberapa dekorasi kamarnya. Reina sempat dibuat kagum dengan dekorasi kamar itu. Ditengah ruangan tampak Kasur berukuran besar lengkap dengan kelambu berwarna pink, layaknya kamar putri raja. Diujung ranjang ada pula sofa berwarna putih dengan bantal sofa berwarna pink. Tak lupa pula lampu warna warni yang disusun sedemikian rupa hingga sangat indah dipandang mata. Ah jangan lupakan juga atap kamar itu yang sengaja dilukis seperti langit biru dengan awan putih, benar-benar seperti kamar putri raja. Setelah puas menikmati keindahan dekorasi kamar itu, Reina memutuskan untuk kekamar mandi. Saat ia hendak melangkah terdengar suara pintu diketuk, ternyata bunda yang mendatanginya. “Bunda harap kamu suka dengan kamarnya sayang.” Reina hanya tersenyum menanggapi itu “kalau kamu ingin ganti baju kamu bisa pakai baju-baju yang ada di walk in closet.” “Terimakasih bun”.                 Saat memasuki walk in closet, Reina kembali dibuat menganga. bagaimana tidak terkejut, didalam lemari kaca itu ada begitu banyak baju yang masih baru, karena masih ada labelnya. Ukuran baju-baju disana juga sangat sesuai dengan ukuran tubuhnya. Tak hanya itu saja, dikamar mandi pun ia bisa menemukan sabun dan shampoo dengan merk yang sama seperti yang biasa ia gunakan dari dulu. Menyadari semua itu Reina tersenyum, mungkinkah kamar ini memang dipersiapkan untuknya? Apakah bunda yang mendesign nya atau justru Kayhan? Memikirkannya saja mampu membuatnya berbunga-bunga hingga bayangan masalalu menamparnya. Menyadarkannya, membuat Reina berpikir bahwa mungkin saja kamar ini dipersiapkan untuk calon istri Kay, sepertinya asumsi itu lebih masuk akal bagi Reina mengingat bahwa saat ini tidak lagi ada alasan yang membuat Kay ataupun bunda memperlakukannya dengan begitu istimewa.         Pertemuannya dengan orangtua Kay mampu mengobati rindunya pada orangtua kandungnya. Semenjak kedua orangtuanya meninggal, kehangatan keluarga yang ia rasakan dalam keluarga ini tidak bisa ia temukan dimanapun. Bahkan saat ia berada di tengah-tengah keluarga Ibra. Orangtua Ibra, meski sangat baik, tapi mereka seperti terlalu menghormati keluarganya secara berlebihan yang berdampak juga pada sikap mereka pada Reina yang sangat hati-hati, layaknya pada sang putri raja yang perlu diutamakan. Tentu bukan seperti itu yang Reina inginkan. Ia ingin diperlakukan sebagai anak, diberi kasih sayang yang tak melulu dengan pelukan, tapi teguran dan nasihat. Dan semua itu bisa ia temukan dikeluarga ini.                 Sinar Mentari menerobos melalui celah jendela, mengusik tidur Reina yang nyenyak. Reina mengerjapkan matanya. Membuka mata perlahan dan menyadari satu hal. Sudah lama rasanya ia tidak tidur nyenyak seperti ini tanpa obat yang biasa ia konsumsi sebelum tidur. Setelah mandi dan mengganti pakaiannya dengan dress selutut berlengan, berwarna biru muda bermotif seperti rintik hujan berwarna putih, Reina keluar kamar menuju dapur. Disana ia melihat bunda sedang menyiapkan sarapan. “Selamat pagi bunda”. Bunda menoleh dan tersenyum “Pagi sayang.. kamu sangat cantik dengan baju itu nak”. Dalam hati bunda berkata ‘chemistry kalian memang masih sangat kuat’. “Terimakasih bunda”. “Reina bisa bantu apa nih bun?”. Bunda memberitahu Reina apa saja yang harus dikerjakan.                 Kayhan yang sedang menuruni tangga tampak tercengang melihat Reina sedang menata meja makan. Bukan karena aktivitasnya itu, tapi karena dress yang dikenakannya adalah dress yang ia belikan sebagai buah tangan saat ia pertamakali pulang ke Indonesia. Dalam lemari pakaian dikamar Reina, itu menjadi satu-satu baju yang ia beli sendiri. Dari sekian banyak baju yang bunda siapkan untuk Reina, kenapa Reina memilih dress itu? Rasa bangga dan senang tentu saja tak bisa dihindari. Ah iya, meskipun bunda tau hubungannya dan Reina berakhir saat itu, tapi bunda masih tetap menyiapkan satu kamar khusus dirumah ini, lengkap dengan baju-bajunya tentu saja. Bunda selalu berkeyakinan bahwa Reina pasti akan datang ke rumah ini dan menjadi bagian dari keluarganya. Awalnya tidak ada yang protes akan hal itu, sampai Rayhan memergoki Reina sedang fithing baju pengantin dengan Ibra. Sejak saat itu Rayhan menentang bundanya yang selalu saja membelikan baju untuk Reina saat ia berjalan-jalan kemanapun. Rayhan akan menjadi orang yang pertama marah Ketika nama Reina masih saja menjadi topik pembicaraan di keluarganya.           Semua orang tampak sudah berkumpul di meja makan. Mereka menikmati makanan dengan tenang sampai kemudia Ray berkomentar “Omeletnya enak bun, gak kaya biasanya. Resep baru ya?”. Bunda tersenyum lantas menjawab “Tentu aja enak, itu kak Reina yang buat”. Rayhan terlihat kaget sampai menghentikan kunyahannya. Tak menyangka bahwa masakan seenak ini kak Reina yang buat, setaunya dulu kak Reina sama sekali tidak pandai memasak. “Oh iya sekarangkan udah jadi istri ya tentu saja pandai memasak” ucap Rayhan sarkas. Reina mngernyit heran mendengar itu. Bukan karena nada sarkas yang ditunjukan, tapi ia heran pada kalimat itu. Istri? Apa yang dimaksud Rayhan sebenarnya? Ia juga jadi teringat obrolan Kayhan dengan Ibra saat itu di lobby yang menyebut kata istri juga. Apa mungkin mereka beranggapan ia sudah menikah dengan Ibra?. Semua orang dimeja makan itu jelas dapat melihat raut terkejut diwajah Reina. Begitupula dengan Rayhan yang semakin dibuat geram dengan ekspresi yang ditunjukan Reina. Lantas Ray kembali angkat suara “Kak Rein kira, karena kami tidak lagi di Bandung kami tidak tau kalau Kak Rein sudah menikah dengan kak Ibra tanpa memberitau kami?”. Reina terlonjak dengan pertanyaan itu, ternyata selama ini mereka…. “Aku memang belum menikah dengan Ibra” lirihnya. Rayhan semakin kesal saja, Reina masih saja menutupi semua ini dari keluarganya. Saat ia akan kembali bicara, ayahnya mengintrupsinya “jangan berdebat di meja makan”. Ia hanya bisa bungkam. Lantas mereka pun makan dalam diam berkelana dalam pikiran masing-masing ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN