Pemicu Kecurigaan

773 Kata
    Rendi tampak berjalan tergesa-gesa saat tiba dikantor. Hingga sapaan dari beberapa karyawanpun tidak ia hiraukan. Hari ini ia datang terlambat ke kantor, karena tadi saat dijalan ada hal lain yang mengalihkan fokusnya, hingga merubah tujuannya. Padahal pagi ini ia ada rapat penting dengan Kayhan dan karyawan lainnya untuk membahas proyek mereka di Surabaya. Saat tiba di depan ruang rapat, ternyata rapat itu sudah selesai. Para karyawan tampak keluar meninggalkan ruang rapat. Setelah diyakini semua karyawan keluar, akhirnya Rendi pun masuk ke ruang tersebut. Dalam ruangan itu, hanya ada Kayhan yang tampak masih sibuk dengan berkas-berkasnya. “Sorry banget Kay, tadi dijalan tiba-tiba ada kepentingan mendesak” ucapnya menyesal. “Its oke Ren, gak apa apa”. “Gimana tadi hasilnya? Buat persiapan rapat minggu depan di Surabaya amankan?” tanya Rendi lagi. “Aman kok, semua udah beres”. “O iya, kok tagi gue gak liat Reina keluar dari ruang rapat ini ya? Bukannya dia ditunjuk sama Lo buat mewakili divisinya dalam proyek ini?”pancing Rendi. “Reina katanya hari ini izin sakit, jadi rapat tadi diwakilin sama managernya. Tapi…”. “Tapi apa” tanya Rendi yang tak sabar “Kayaknya Reina pura-pura sakit deh buat ngehindarin gue. Beberapa minggu ini kan dia selalu menghindari gue”. Rendi yang mendengar itu hanya mendengus kasar “Sejak kapan Lo jadi nething (negative thinking) gini bro?”. Heran rasanya melihat sikap Kay yang seperti ini. setaunya Kay selalu optimis dan positif thinking. “Siapa tau Reina emang beneran sakit Kay, dia kan manusia juga. Apalagi gue liat semenjak dia terlibat dalam proyek di Surabaya, ngebuat dia akhir-akhir ini jadi sering lembur”. Ucapnya lagi mencoba membuka jalan pikiran sahabatnya itu. Kay mencermati kalimat itu. Cukup logis juga. Mungkin Reina memang benar-benar sakit karena kelelahan bekerja. Ah berarti secara tidak langsung dirinya yang menyebabkan Reina sakit karena memberikan beban pekerjaan yang terlalu banyak. Lantas sebuah ide terbersit di benaknya “Kayaknya Reina butuh partner deh untuk membantunya dalam proyek ini, biar dia gak kecapean dan sakit lagi” ucapnya tanpa beban. Rendi yang mendengar itu hanya geleng-geleng kepala, lalu menjawab “Sebenernya sih itu hak Lo, karna Lo kan CEO disini. Tapi Lo juga harus pikirin posisi Reina dong, dia malah akan semakin di gunjingin sama rekannya karena diperlakukan istimewa. Keputusan Lo yang menjadikannya penanggung jawab divisi dalam proyek mega kita tahun ini saja sudah cukup membuat banyak orang berspekulasi yang tidak-tidak, jangan ditambah lagi deh. Yang ada malah bisa memicu Reina depresi lagi”. “Siapa orang dikantor ini yang berani ngegunjingin dia?”, ucapnya geram. “ckck” Rendi berdecak kesal. “Emang Lo pikir siapa Reina? Posisinya di AMAAI Cuma karyawan biasa Kay. Inget, dikantor ini cuma gue ya yang tau masalalu Lo dengan Reina. Jadi jangan bersikap berlebihan pada Reina didepan karyawan kantor karena itu bakal membuat karyawan lainnya berspekulasi yang akhirnya menyudutkan Reina” Tiba-tiba Kay teringat kalimat terakhir Rendi “Eh bentar deh, tadi kalau ga salah gue denger lo bilang kalau itu bisa bikin Reina depresi?”. Depresi? La...gi…?” ada penekanan dalam kata itu. “Emang Reina sebelumnya pernah depresi? Masa iya sih masalah kantor kaya gini bisa bikin dia depresi?” Tanyanya bingung. Astaga… sepertinya ia hampir saja keceplosan. Rendipun menyadari kalimatnya bisa membuat Kay berspekulasi yang tidak-tidak. “Maksud gue stress. Kayanya berlebihan ya kalau pake kata depresi. hehe...” ucapnya disertai cengiran dan mengusap tengkuknya guna menutupi kegugupannya. Meski Kay tampak aneh dengan tingkah Rendi, tapi ia abaikan itu karena ucapan Rendi ada benarnya juga. “Semua orang juga pasti stress dong Kay kalau harus jadi bahan gunjingan. Kantorkan harusnya jadi tempat yang nyaman karena sebagian besar waktu produktif kita kan di kantor” ucapnya meluruskan.     Biarlah untuk kali ini saja ia mendoktrin Kay untuk berasumsi seperti itu. Sampai ia tahu betul apa yang tengah terjadi. Terlebih kalau ia bisa mengurai benang kusut masalalu yang terjadi antara Kay dan Reina. Rendi mulai menyadari ada beberapa hal yang janggal dari kisah mereka. Seperti ada bayangan gelap yang membuat hubungan mereka semakin buruk, yang membuat mereka tidak bisa mengurai benang kusut yang ada. Dan sebagai sahabatnya, jelas ia harus membantunya. Meski nantinya hubungan mereka tidak bisa kembali bersama, setidaknya semuanya bisa terungkap jelas bukan? Tidak lagi menduga-duga, dan yang paling penting sahabatnya itu bisa benar-benar melepas masalalunya. Tidak lagi terkurung dalam rasa penyesalan yang tidak berkesudahan. Ia berpikir kira-kira apa yang terjadi dimasalalu sampai Reina mengalami depresi? Apa ini ada kaitannya dengan Kay? Atau Ibra?. Ia akan mencari tau sendiri kebenarannya, dan ia akan memulainya dari data diri lengkap Reina. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN