Dilema

1071 Kata
“Bagaimana Bu guru? apa Bu guru mau menjadi Mamaku?” tanya Camelia lagi. Calista menjadi salah tingkah dengan pertanyaan muridnya itu. Bagaimana mungkin bocah berumur lima tahun itu memintanya untuk menjadi ibunya? “Camel, jangan begitu! masak bilang gitu sama Bu guru, sih. Bu guru jadi merah wajahnya, tuh,” ucap Kevin dengan nada sedikit menggoda. Hal itu tentu saja membuat Calista semakin merah padam wajahnya. “Tidak apa-apa juga, Pa. Aku kan bicara jujur. Aku memang ingin Bu guru jadi Mama aku. Papa tidak tahu saja kalau aku sering mimpi dipeluk sama Bu guru Calista.” Camelia berkata sambil bersandar di tubuh ramping Calista. “Dari namanya saja sudah sama, aku dan Bu guru. Sama-sama diawali dengan huruf C.” Calista dan Kevin sontak tertawa ketika mendengar kalimat terakhir yang Camelia ucapkan. Kevin mengacak-acak rambut anaknya, yang langsung ditepis oleh bocah itu. Setelah cukup menanggapi ucapan Camelia, kini Calista menanggapi permintaan Kevin tadi. “Aku sudah memberikan perhatian pada Camelia, sama seperti anak yang lain. Kalau aku memberikan perhatian lebih pada satu orang saja, nanti murid lain akan cemburu. Hal itu akan berakibat pada diri Camelia juga. Kalau nanti murid yang lain membully Camelia bersama-sama karena cemburu, bagaimana?” tanya Calista berusaha menolak secara halus. Dia bukan tidak mau memberikan perhatian pada anak mantan kekasihnya itu. Dia hanya menghindari debaran jantungnya saat berada di dekat Kevin. Saat ini saja dia berusaha bersikap sewajar mungkin di hadapan pria yang kini menyandang status duda. Dia tidak tahu apakah Kevin yang dia kenal dulu masih sama dengan Kevin yang sekarang. Waktu bisa saja merubah seseorang. “Masak sih anak TK sudah bisa membully temannya, Lis?" Kevin balik bertanya. Dia memicingkan matanya seolah tak percaya dengan ucapan Calista. “Kenapa tidak? anak kamu saja bisa memukul temannya sampai menangis,” ucap Calista tersenyum menatap Kevin. “Itu kan satu lawan satu. Tapi, kalau sampai memukul bersama-sama rasanya tidak mungkin. Masih terlalu dini mereka bisa melakukan hal itu.” Kevin berkata sambil menaik-turunkan kedua alisnya. Calista mengulum senyumnya melihat ulah Kevin yang sepertinya tengah berupaya agar dia mau mengabulkan permintaannya. “Kadang yang kita pikir tidak mungkin, bisa saja terjadi. Aku hanya mencoba mengantisipasi keadaan agar hal yang buruk tidak terjadi.” Kevin terdiam sesaat. Ucapan Calista memang ada benarnya juga. Tapi dia ingin mantan kekasihnya ini memberikan perhatian lebih pada anaknya. Terutama saat dia sedang terbang. Entah kenapa hatinya terusik kala mengetahui mantan kekasihnya ini, yang merupakan cinta pertamanya masih sendiri. Di relung hatinya, Kevin ingin mencoba mendekati cinta pertamanya itu dan ingin mengetahui perasaan Calista terhadapnya saat ini. “Kamu masih tinggal di tempat orangtua, Lis?” tanya Kevin lagi. “Aku kontrak di dekat sini, karena jarak rumah orangtuaku jauh dari sini. Aku takut terlambat tiba di sekolah. Kamu tahu sendiri kemacetan di Jakarta. Bisa-bisa aku kena sanksi dari sekolah kalau terlambat terus-menerus. Dan orangtua murid pasti akan protes kalau guru anak mereka sering terlambat,” cetus Calista. “Bagaimana kalau selama aku terbang, kamu menginap di rumahku atau Camelia tinggal bersama kamu?” tanya Kevin. Calista terkesiap. “Apa? aku tinggal di rumah kamu?” mata Calista mendelik ke arah Kevin yang saat ini tersenyum geli melihat ekspresi Calista. “Di saat aku sedang tidak ada di rumah saja, Lista. Atau kalau kamu tidak keberatan, Camelia saja yang menginap di rumah kamu selama aku terbang? Bagaimana?” tanya Kevin dengan tatapan memohon. Calista terdiam. Dia tengah mempertimbangkan baik buruknya menerima tawaran mantan kekasihnya itu. Di lubuk hatinya yang paling dalam, Calista ingin menerima tawaran Kevin. Namun, dia memikirkan akibat dari keputusannya itu. Bagaimanapun, Kevin adalah seorang duda yang tentunya akan menjadi sorotan orang di sekelilingnya, apabila ada seorang wanita yang bukan keluarganya menginap di rumahnya. Dan bagaimana apabila ada salah seorang keluarganya yang datang berkunjung pada saat Kevin tidak ada di rumah? Hal itu akan mempermalukan dirinya sendiri. Calista menghela napas panjang. Dia tidak menyangka kalau pertemuan orangtua murid akan berujung pada pilihan yang membuatnya dilema. Lalu, apabila Camelia tinggal untuk sementara waktu di rumahnya, apakah bocah itu akan betah tinggal di rumah kontrakannya yang tidak terlalu besar? Karena dilihat dari alamat rumah Kevin, lokasi rumah pria itu berada di komplek perumahan elit. Maklum saja, Kevin adalah seorang pilot di maskapai penerbangan terbesar tanah air, yang tentunya mempunyai penghasilan yang besar juga. “Memangnya kapan jadwal terbang kamu, Kevin? Lalu bagaimana dengan keluarga kamu yang biasa menemani Camelia saat kamu tidak ada di rumah?” tanya Calista sambil mengetukkan ujung ballpoint di atas meja. “Lusa, aku ada jadwal penerbangan ke Medan. Makanya aku minta tolong kamu. Itu juga kalau kamu tidak keberatan, Lis. Dan soal keluargaku, mereka tidak tahu jadwal penerbanganku kalau aku tidak memberitahu mereka,” ucap Kevin.. “Keputusannya besok, deh. Aku pikirkan dulu. Besok, aku titip jawabanku pada Camelia,” jawab Calista. “Tidak usah kamu titipkan ke Camel. Nanti dia lupa. Namanya juga anak-anak. Kirim pesan saja ke aku. Sebutkan nomor telepon kamu. Nanti nomor teleponku akan aku kirim balik ke kamu,” ucap Kevin yang membuat Calista mencebikkan bibirnya. ‘Dasar modus. Bilang saja biar tahu nomor teleponku. Alasan saja kalau Camelia nanti lupa sampaikan pesan,' batin Calista. Calista lalu menyebutkan nomor teleponnya. Hal itu tentu saja membuat jantung Kevin bersorak gembira. Akhirnya dia memiliki juga nomor telepon Calista. Setelah Kevin menyimpan nomor telepon Calista, pria itu lalu mengirimkan nomor teleponnya pada mantan kekasihnya itu. “Jadi sekarang kalau ada sesuatu tentang ulah Camelia, kamu bisa langsung telepon atau kirim pesan ke aku, Lis.” Kevin menatap manik mata Calista serius. “Ok. Sebenarnya Camelia anak yang baik. Aku menganggap kalau pertengkaran dengan temannya itu adalah hal yang wajar, namanya juga anak-anak. Tapi, aku tetap akan memantau dia. Dan aku akan melaporkan padamu kalau ada hal yang sudah di luar batas. Dan sepertinya pertemuan ini sudah cukup. Maaf sudah mengganggu waktunya, Kev,” ucap Calista. “Tidak mengganggu kok, Lis. Justru aku senang, kamu bersedia membantuku. Maklum, aku ini orangtua tunggal, yang memiliki pekerjaan tidak seperti orang lain, yang jadwal kerjanya pergi pagi dan pulang di sore hari.” Kevin tersenyum dan mengelus rambut Camelia yang kini berada di atas pangkuan Calista. Pada saat yang sama, Calista menunduk dan hatinya mencelos kala melihat air mata bocah berusia lima tahun itu menggenang di pelupuk matanya. Seketika Calista panik. Dia tidak tahu penyebab Camelia menangis. Dia menatap Kevin yang rupanya tidak mengetahui kalau saat ini anaknya tengah menangis. “Kevin, anak kamu menangis,” desis Calista.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN