Keinginan Camelia

1080 Kata
“Apa? menangis?” ucap Kevin terkejut. Seketika dia melihat ke arah wajah Camelia yang menghadap ke d**a Calista. Namun, ulahnya itu justru membuat benturan ringan dengan kepala Calista. Mereka sama-sama mengulum senyuman saat kening mereka beradu. Dan tanpa disangka, benturan ringan itu mampu membuat hati keduanya bergetar. “Camel, kenapa menangis, sayang?” tanya Kevin lembut. Dia mencoba meraih tubuh anaknya dari pangkuan Calista. Namun, cengkraman tangan Camelia sangat erat di lengan gurunya itu. Sehingga Kevin memilih mengalah, tidak memaksakan anaknya untuk bersedia pindah ke atas pangkuannya. “Camel, ada apa, sayang?” kini giliran Calista yang bertanya pada gadis cilik itu mengenai penyebab dia menangis. Dia mengelus rambut muridnya itu lembut. Dan dengan penuh kasih sayang, Calista mencium puncak kepala Camelia. “Bicara dong, sayang. Ada apa? bicara sama Bu guru.” Camelia menatap gurunya lekat. Matanya mengerjap saat dia mendongakkan kepalanya menatap wajah Calista seraya berucap, “Aku...aku mau tinggal sama Bu guru, huhuhu.” Camelia kembali menangis tersedu-sedu. Pernyataan Camelia sontak membuat Kevin dan Calista saling tatap. Mereka terdiam. Terlebih lagi dengan Calista, yang saat ini menjadi dilema. Dia merasa trenyuh dengan yang Camelia alami saat ini. Muridnya ini kurang kasih sayang seorang Ibu. Walaupun dia memiliki seorang ayah yang sangat menyayanginya, namun ayahnya sering meninggalkannya karena tuntutan pekerjaan. Dia ingin menerima tawaran Kevin, namun dia juga tidak enak kalau keluarga Kevin mengetahui keberadaannya di rumah pria itu saat Kevin tidak ada di rumah. Dia ingin mengajak Camelia tinggal bersamanya, tapi ragu apakah Camelia akan merasa nyaman di rumah kontrakannya yang tidak besar seperti rumah muridnya itu. Calista menghela napas seraya berujar, “Camel mau tinggal di rumah Bu guru? tapi rumah Bu guru tidak sebesar rumah Camel,” ucapnya lirih. Seketika gadis cilik itu menganggukkan kepalanya. Senyum manis segera terbit dari bibir mungil Camelia. Dia lalu memeluk tubuh Calista erat. “Kev, sepertinya kamu sudah mendapatkan jawabanku. Selama kamu terbang, Camelia akan tinggal bersamaku. Dan kalau ada keluarga kamu yang bertanya, tugas kamu untuk menjawab,” ucap Calista. “Ok, kalau soal itu kamu tidak usah khawatir. Mengenai keluargaku, itu akan menjadi urusanku. Yang penting anakku merasa nyaman selama aku tidak ada di dekatnya. Aku juga akan meminta pengasuh Camelia untuk ikut, agar bisa membantu kamu, Lis,” ucap Kevin. “Tidak usah, Kev. Aku sanggup mengurus Camel sendiri, kok,” tolak Calista. “Serius kamu sanggup mengurus Camel sendiri? yakin kamu tidak memerlukan bantuan pengasuh Camel?” tanya Kevin memastikan. “Sanggup dong. Mengurus anak satu kelas saja yang perangainya berbeda, aku sanggup kok. Masak mengurus satu orang anak tidak sanggup,” sahut Calista jumawa. “Baiklah kalau begitu. Lusa pagi aku akan mengantar Camel ke rumah kamu. Kirimkan saja alamatnya melalui pesan, ya.” Kevin kini tersenyum sumringah kala mendapati anaknya sudah berhenti menangis dan Calista bersedia menolongnya. Calista menganggukkan kepalanya dan membalas senyuman Kevin. “Ok, Lis, kalau begitu aku pulang dulu. Hari sudah semakin siang. Camelia juga sepertinya sudah mengantuk. Mungkin dia lelah menangis,” ucap Kevin yang lalu meraih tubuh anaknya dari atas pangkuan Calista seraya berujar, “Ayo sayang, kita pulang!” “Bu guru tidak ikut, Pa?” tanya Camelia lirih. “Tidak, sayang. Lusa kamu tinggal di rumah Bu guru selama Papa terbang. Nanti kalau Papa sudah kembali, kamu akan Papa jemput di rumah Bu guru.” Kevin mengecup kening anaknya dengan penuh kasih sayang. “Tapi aku mau ditemani Bu guru saat mau tidur.” Camelia menatap ayahnya dan Calista bergantian dengan tatapan memohon. Kevin menghela napas. Dia kemudian menatap Calista. “Bagaimana ini, Lis?" “Ya sudah, tidak apa. Aku akan menemaninya tidur dan akan pergi setelah Camelia tertidur pulas,” ucap Calista lembut. “Terima kasih, Bu Lista. Sudah mau menemani aku tidur nanti,” ucap Camelia dengan mata berbinar. Gadis cilik itu tersenyum sumringah menatap Calista yang juga tengah tersenyum padanya. “Baiklah kita pulang sekarang!” ajak Kevin. *** Kini Camelia sudah tertidur di kamarnya. Calista pun undur diri untuk kembali ke rumah kontrakannya. Dia berjalan ke arah Kevin yang sedang menonton tayangan TV di ruang keluarga. “Kevin! Camelia sudah tidur pulas. Aku ijin pulang, ya. Sampaikan salamku pada Camelia kala dia sudah terbangun nanti.” Calista duduk di sofa single dan menatap Kevin yang seketika menoleh padanya. “Aku antar. Sebentar, aku ambil kunci mobil dulu.” Kevin lalu beranjak dari sofa dan berjalan ke kamarnya. Tak lama dia sudah kembali di ruang keluarga dan berucap, “Yuk, kita pergi sekarang!” Mereka kemudian berjalan ke arah pintu utama. Belum juga mereka sampai di sana, tampak seorang wanita paruh baya di ambang pintu. Wanita paruh baya itu menatap Kevin dan Calista bergantian dengan tatapan tidak suka. “Siapa wanita ini, Kevin!” ucap wanita paruh baya itu ketus. “Perkenalkan, Bu. Ini gurunya Camelia. Tadi Camel meminta gurunya untuk mengantar dia pulang dan sekarang Camel sudah tidur siang. Saya hendak mengantar Bu guru pulang ke rumahnya,” ucap Kevin kalem. “Saya Calista, Bu. Gurunya Camelia.” Calista berkata ramah dan mengulurkan tangannya ke arah wanita paruh baya itu. “Saya Runi. Nenek Camelia, mertuanya Kevin.” Wanita yang ternyata adalah mertua Kevin kemudian menerima uluran tangan Calista. Dia lalu menatap Kevin seraya berucap, “Kenapa gurunya harus diantar? berikan saja ongkos taksi. Anakmu sedang tidur kok malah ditinggal pergi.” “Saya hanya sebentar kok, Bu. Setelah selesai mengantar, saya akan langsung pulang. Dan ketika saya kembali ke rumah juga Camel belum bangun tidur. Saya tahu kebiasaan Camel, dia kalau tidur siang itu cukup lama. Makanya saya memutuskan untuk mengantar pulang gurunya Camel. Bu Calista sudah repot-repot mengantar Camel, jadi tidak mungkin saya biarkan dia pulang sendiri,” ucap Kevin panjang lebar berharap mertuanya itu dapat mengerti. “Mertua Bapak benar. Sebaiknya saya pulang sendiri. Kasihan Camel kalau ditinggal di rumah. Saya tidak masalah kalau harus pulang sendiri. Saya permisi dulu, Pak, Bu,” pamit Calista pada Kevin dan Runi dengan sopan. Dia lalu melangkah pergi dari hadapan Kevin dan Runi. “Nah, itu gurunya maklum. Kenapa juga kamu harus mengantar pulang segala. Ada-ada saja kamu, Kevin,” ucap Runi lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Kevin menghela napas menatap punggung mertuanya yang menjauh, masuk ke dalam rumah. Dia lalu menatap punggung Calista yang melangkah ke arah pintu gerbang rumahnya. “Calista, tunggu!” panggil Kevin seraya berjalan mendekat ke arah Calista. Calista menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya untuk berhadapan dengan pria itu. “Ada apa lagi?” tanya Calista malas. Dia sudah letih, ingin segera pulang ke rumahnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN