“Ayo masuk!”
Calista lalu membuka pintu kelas lebih lebar lagi agar pria itu segera masuk. Camelia yang dari tadi memperhatikan interaksi antara ayah dan gurunya, seketika tersenyum. Dia lalu mengikuti ayahnya masuk ke dalam kelas.
Calista kemudian mempersilakan Kevin duduk di kursi yang ada di depan meja kerjanya. Setelah Kevin duduk dan terlihat sudah siap mendengarkan apa yang akan Calista ucapkan, wanita cantik itu tersenyum seraya berucap, “Begini, Pak...” Kata-katanya terhenti kala Kevin menyela ucapannya.
“Panggil nama saja deh, Lis,” ucap Kevin dengan senyumnya yang membuat jantung Calista bertalu-talu tak karuan.
“Tapi, ini sedang di sekolah, urusan formal!” cetus Calista.
“Kan hanya kita berdua, Lis,” protes Kevin.
“Bertiga sama aku, Pa,” timpal Camelia tersenyum menatap ayah dan Calista bergantian. “Papa sudah kenal sama Bu guru?” tanya Camelia menatap ayahnya lekat.
“Iya, Sayang. Bu gurunya Camel, teman sekolah Papa dulu,” ujar Kevin.
Camelia menganggukkan kepalanya. Dia lalu menoleh ke arah Calista. Seulas senyum terbit dari bibirnya yang mungil.
Setelah dirasa sudah cukup obrolan pembuka, Calista melanjutkan pembicaraan yang cukup serius terkait pemanggilan orangtua Camelia ke sekolah.
“Begini, Pak. Tujuan pemanggilan Bapak ke sekolah terkait sikap Camelia terhadap teman kelasnya. Saya maklum, namanya anak-anak kadang suka bertengkar. Saat itu juga sudah saya damaikan mereka, namun rupanya orangtua murid teman Camelia itu tidak terima. Mereka ingin agar saya memberitahu orangtua Camelia mengenai tindakan Camelia, karena telah memukul dan mencakar wajah temannya. Jadi saya mohon agar Bapak dan Ibunya Camelia memberikan perhatian lebih untuk anak Bapak. Karena menurut saya, Camelia berbuat begitu untuk mencari perhatian,” ucap Calista dengan nada bicara yang formal.
“Terima kasih atas perhatiannya, Bu Calista. Saya akan memberi nasehat dan perhatian yang lebih untuk anak saya. Dan saya mohon maaf atas ulah anak saya yang telah membuat masalah di sekolah,” ucap Kevin dengan nada bicara yang sama formal seperti Calista.
Calista tersenyum seraya berujar, “Saya tahu, Bapak sibuk dengan pekerjaan Bapak. Mungkin Mamanya Camelia yang bisa memberikan perhatian lebih selama Bapak tidak ada di rumah.”
Mendengar ucapan Calista, Camelia sontak menyahut, “Mama aku sudah di surga, Bu guru. Aku sendiri belum pernah ketemu sama Mama. Aku hanya melihat wajahnya di foto.”
Deg!
Tubuh Calista membeku mendengar ucapan polos yang keluar dari bibir bocah itu. Calista tanpa sadar memeluk tubuh mungil Camelia, yang kini berdiri di sampingnya. Tiba-tiba hatinya terasa nyeri mendengar ucapan polos itu.
“Istriku meninggal saat melahirkan Camelia. Saat itu dia terjatuh di kamar mandi. Saat dibawa ke rumah sakit, Sandra masih hidup. Dia berpesan padaku seandainya nanti aku disuruh memilih, dia meminta agar aku memilih bayi kami. Dan benar saja saat operasi caesar, nyawa Sandra tidak tertolong lagi karena dia terlalu banyak mengeluarkan darah.” Kevin berkata sambil menatap Calista dengan tatapan sendu.
Rupanya Calista terbawa suasana saat Kevin menceritakan tentang almarhumah istrinya, sehingga matanya berkaca-kaca. Lengannya semakin mempererat tubuh Camelia yang juga mulai menangis di pelukannya. Tanpa sadar, Calista mencium puncak kepala Camelia.
“Jangan sedih, Sayang! Mama Camel sudah tenang di surga. Sebagai anak yang baik, Camel harus mengirimkan doa untuk Mama. Dan kamu juga harus menjadi anak yang pintar, agar Mama senang dan tersenyum melihat kamu dari sana.” Calista mengecup kembali puncak kepala Camelia lembut.
Setelah ikut terbawa suasana dan mencium puncak kepala muridnya, kini tatapan Calista beralih ke arah Kevin. Pria yang menyandang status duda itu juga rupanya tengah menatap Calista lekat. Hal itu sontak membuat Calista sedikit gugup kala mereka bersitatap.
“Kalau kamu sedang terbang, siapa yang menjaga Camelia di rumah?” tanya Calista kala dia sudah dapat menguasai dirinya.
“Ibuku atau mertuaku. Kadang adik iparku juga ikut menemani Camel di rumah. Mereka kembali ke rumah masing-masing ketika aku sudah tiba kembali di rumahku. Selain itu juga ada baby sitter yang membantu aku mengurus keperluan Camel setiap harinya. Jadi kalau mereka menginap ketika aku terbang, mereka hanya mengawasi saja,” jelas Kevin.
Calista menganggukkan kepalanya. Dia mengerti kondisi Kevin yang kini berperan ganda untuk putri semata wayangnya. Memang tidak mudah untuk menjadi ayah sekaligus ibu bagi anak berusia lima tahun seperti Camelia. Anak seusia Camelia sedang membutuhkan banyak perhatian dari kedua orangtuanya, namun yang didapat anak itu hanya kasih sayang seorang ayah.
“Baiklah kalau begitu, masalah Camelia saya anggap selesai. Saya mengerti situasinya kalau Camelia kadang bertindak berlebihan dalam pergaulannya. Dan saya harap Bapak lebih banyak mencurahkan perhatian kepada Camelia, karena sepertinya dia membutuhkan perhatian yang lebih dari orangtuanya,” ucap Calista ramah.
Kevin tersenyum menanggapi ucapan Calista. Tak lama dia menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, sekarang sudah cukup bicara formalnya, Lis. Lidahku kaku bicara formal sama kamu. Tidak terbiasa soalnya bicara formal sama kamu.” Kevin terkekeh menatap Calista yang kini membulatkan matanya.
“Ck, kita ini sedang di sekolah dan sedang membicarakan masalah anak kamu. Saat ini posisi kita sebagai guru dan orangtua murid. Jadi harus formal, Pak Kevin!” ucap Calista sengaja menekankan kata ‘Pak’ pada kalimatnya.
“Iya, tapi sudah selesai kan bicara mengenai masalah anakku. Aku terima kasih atas perhatian yang kamu berikan terhadap Camelia. Dan aku janji akan lebih banyak mencurahkan perhatian padanya. Walaupun itu sulit, karena kamu tahu sendiri pekerjaanku yang tidak bisa seperti orang lain, yang pergi pagi pulang sore. Dan kalau kamu tidak keberatan, aku ingin kamu menolong aku, Lis,” ucap Kevin.
Kevin menatap Calista dengan tatapan memohon. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan agar lebih dekat lagi ke wajah Calista. Hal itu membuat Calista menjadi gugup dibuatnya.
“Pertolongan apa?” tanya Calista mencoba menutupi kegugupannya.
“Aku mau minta tolong sama kamu, agar kamu bersedia memberikan perhatian lebih pada anakku. Mungkin permintaanku ini berlebihan. Tapi, kamu tahu sendiri kalau saat ini Camelia membutuhkan perhatian seorang Ibu. Jadi aku mohon, kamu dapat menasehatinya layaknya seorang Ibu kepadanya. Mungkin saja ucapan kamu lebih didengar olehnya. Jadi dia merasa ada yang memperhatikan ketika aku sedang tidak ada di rumah,” ucap Kevin masih dengan tatapan yang memohon.
“Bu guru, apa Bu guru sudah punya anak seperti aku?” tanya Camelia tiba-tiba menyela pembicaraan kedua orang dewasa itu.
Calista menggelengkan kepalanya seraya berkata, “Belum, Camel. Bu guru belum menikah, jadi belum punya anak.”
Seulas senyum terbit dari bibir Camelia kala mendengar ucapan Calista. “Kalau begitu, apa Bu guru mau menjadi Mamaku? aku janji tidak akan nakal lagi.”
Ucapan Camelia sontak membuat kedua orang dewasa itu terkejut.
‘Bapak dan anak sama saja. Permintaan yang sama dengan versi berbeda.’ Batin Calista.