1. Kehancuran

1293 Kata
Sosok Rudy Paramartha memang bukanlah sosok ayah yang benar-benar baik. Rudy sudah melakukan banyak kesalahan pada Shasha semenjak perselingkuhannya waktu itu, membuat hubungan mereka tidak sedekat dulu, dan mereka hanya akan terlihat akrab dan dekat di saat-saat tertentu saja. Namun, seburuk-buruknya Rudy selama ini, pria itu tidak pernah menyakiti Shasha secara fisik. Hanya kata-kata yang keluar dari bibirnya saja yang kerap menyakiti hati Shasha hingga perlahan rasa benci pada sang ayah tumbuh dengan sendirinya.  Akan tetapi, ada yang berbeda hari ini. Untuk kali pertama, Shasha disakiti secara fisik oleh sang ayah dan dirinya tidak bisa melakukan apa-apa kecuali menunduk memegangi pipinya yang terasa pedas sembari sekuat tenaga mencegah airmatanya yang sudah berkumpul di pelupuk mata mengalir membasahi pipi. Tamparan yang barusan diberikan Rudy untuknya sungguh sangat sakit, bahkan jauh lebih sakit dari tamparan Ayu tempo hari. Karena apa? Tamparan Rudy tidak hanya menimbulkan rasa sakit di pipi Shasha, tapi juga sakit di hatinya. Dan cercaan yang didapat oleh Shasha setelahnya pun semakin membuat rasa sakit itu menjadi-jadi. "You've been such a disgrace to this family..." Rudy memang berbicara dengan nada suara rendah, namun siapapun yang mendengar pasti bisa menangkap ketajaman pada cara Rudy berbicara itu. "Ketahuan selingkuh sama suami orang. Apa kamu udah gila? Berita itu udah nyebar kemana-mana. Seluruh keluarga besar Paramartha sudah tahu, bahkan orang-orang di rumah sakit pun tahu dan memberikan titel perebut suami orang ke kamu. Nama baik keluarga kita semakin hancur gara-gara kamu!" Shasha tidak menjawab, tetapi kedua tangannya mengepal erat menahan buncahan perasaan yang hendak meledak. "Semua orang pasti sedang menertawakan kamu sekarang. Rekan kamu di rumah sakit, teman-teman kamu, terlebih lagi keluarganya Baskoro pasti sedang menghina-hina kamu. Apa kamu nggak malu sama Hara? Nggak malu karena lagi-lagi, kamu kalah dari dia? Hara sudah berbahagia dengan keluarganya, sementara kamu...kamu justru jadi sampah, Shasha!" Selalu saja seperti itu. Setiap kali Shasha membuat suatu kesalahan, ia pasti akan selalu dibandingkan dengan Hara, sepupunya. Shasha dituntut untuk jadi lebih baik daripada Hara, namun ia tidak pernah bisa melampaui sepupunya itu dan sungguh Shasha sangat muak terus dibandingkan begini. Karena Rudy, Shasha jadi membenci sepupunya sendiri yang bahkan tidak salah apa-apa. Airmata yang sudah ditahan oleh Shasha pada akhirnya menyerah dan mengalir membasahi pipinya. Sekarang ia menggigit bibir kuat-kuat, berusaha agar tangisnya tidak berubah menjadi sebuah isakan. "Mau ditaruh dimana muka kamu sekarang? Papa harus gimana karena sekarang nama keluarga kita udah hancur? Masa depan kamu juga udah hancur di saat cuma kamu satu-satunya pewaris Papa! Kasih tahu Papa, Shasha, PAPA HARUS GIMANA KARENA PAPA SANGAT MALU GARA-GARA KAMU!" "PAPA PIKIR AKU NGGAK MALU KARENA PUNYA PAPA KAYAK PAPA?!" Shasha sudah benar-benar tidak tahan sehingga dirinya membalas begitu. Airmata Shasha semakin mengalir deras seiring dengan perasaan yang sejak tadi ditahannya perlahan meluap ke permukaan. "Asal Papa tau, aku begini juga karena, Papa!" PLAK. Satu tamparan kembali mendarat di pipi Shasha, namun ia sama sekali tidak peduli. Pipi Shasha sekarang sudah terasa kebas sehingga sakit itu pun sudah tidak terasa. Mungkin karena saat ini hatinya sudah jauh lebih sakit. "Berani-beraninya kamu ngomong begitu sama Papa di saat kamu sendiri yang baru saja menghancurkan diri kamu." "Yang pertama kali ngehancurin diri aku itu, Papa. Karena Papa selingkuh di depan mata aku. Karena selama ini Papa nggak pernah jadi Papa yang baik buat aku." Rudy hendak menampar Shasha lagi dan dengan berani Shasha mendongakkan wajah untuk menantangnya. "Tampar aku, Pa! Silahkan! Asal Papa puas!" Teriak Shasha di depan wajah Rudy. Ia bahkan tidak peduli lagi jika saat ini dianggap sebagai anak yang durhaka. "Satu hal yang harus Papa ingat, sebelum masalah ini datang dan aku malu-maluin Papa. Papa sudah terlebih dahulu malu-maluin aku dan ngerusak nama keluarga kita sendiri!" Tangan Rudy yang sudah hampir melayang pada pipi Shasha kini hanya mampu menggantung di udara. Perkataan sang putri semata wayang sukses membuatnya bungkam. Rudy hanya bisa menatap marah pada sang putri. "Aku nggak benar-benar ngehancurin nama keluarga kita, Pa. Karena memang sedari awal, keluarga kita udah hancur." Selama beberapa saat, Rudy hanya diam, sementara Shasha menangis. Lantas, tidak lama kemudian Rudy menunjuk pintu rumahnya dan berujar, "Pergi. Pergi kamu dari sini. Papa udah nggak sudi lihat kamu lagi. You are no longer my daughter." Tanpa berpikir dua kali, Shasha pun mengangguk. "Oke. Papa juga udah lama bukan Papa aku lagi." Usai mengatakan itu, Shasha melenggang menuju kamarnya untuk mengemasi barang-barangnya, kemudian pergi dari rumah yang sudah ditinggalinya sedari kecil, namun lebih banyak memberikan kesedihan untuknya itu. Rudy sama sekali tidak menahan ketika Shasha pergi dan Shasha pun tidak berharap apa-apa. Padahal, Shasha baru saja pulang dan mengharapkan support dari sang Papa yang tidak bisa didapatnya dari orang lain. Tapi harapan itu sia-sia saja, karena kini Shasha sudah harus pergi tanpa punya tempat untuk pulang lagi. *** Ayu benar, apa yang dilakukannya berhasil menghancurkan hidup Shasha dalam sekejap. Padahal baru beberapa hari setelah konfrontasi Ayu di rumah sakit terjadi dan berita tentang Shasha yang menjadi perebut suami orang tersebar, namun Shasha sudah kehilangan beberapa hal karenanya. Teman-teman yang menjauhinya. Orang-orang di rumah sakit tempatnya melakukan residen mengucilkannya. Seluruh keluarga besarnya sudah mengetahui berita itu dan meski tidak bertemu mereka secara langsung, Shasha tahu kalau dirinya pasti menjadi topik pembicaraan hangat bagi mereka. Shasha pun diusir dari rumah dan tidak dianggap anak lagi oleh sang ayah. Dan yang terakhir, Bisma Wiryawan, lelaki yang dicintainya sekaligus suami dari Ayu tidak menghubunginya dan tidak dapat pula dihubungi. Semua itu menjadikan Shasha sendirian tanpa seorang pun yang memberikan dukungan di sisinya. Sebab di mata mereka, Shasha adalah pihak yang salah. Shasha yang menjadi perebut suami orang dan penghancur rumah tangga orang. Shasha yang paling hina. Walaupun Shasha tahu kalau perbuatannya menjadi wanita simpanan Bisma memang salah, tetapi rasanya tetap tidak adil bagi Shasha. Bukan hanya dirinya yang salah, tapi kenapa hidupnya yang justru hancur seketika seperti ini? Sejak diusir dari rumanya, Shasha tidak tahu harus kemana dan memutuskan untuk tinggal di hotel sembari memikirkan harus dibawa kemana hidupnya setelah ini. Jika biasanya Shasha mampu untuk tinggal di hotel mewah berbintang lima, kali ini ia harus puas hanya dengan tinggal di hotel biasa dikarenakan semua kartu kreditnya yang diblokir oleh sang ayah sejak Shasha melangkahkan kaki ke luar rumah. Ia pun hanya hidup bergantung dengan sisa tabungan yang dimilikinya sekarang. Shasha tidak berniat untuk kembali ke Surabaya dan melanjutkan kuliahnya karena sudah terlalu malu untuk kembali. Ia tidak tahan jika harus menghadapi bisikan sinis orang-orang setiap kali melihatnya. Benar-benar memuakkan. Toh, ayahnya juga sudah tidak menganggapnya sebagai anak lagi. Jadi, untuk apa lagi Shasha melanjutkan pendidikannya? Setiap hari Shasha hanya bisa mabuk-mabukkan di kamar hotelnya sambil terus mencoba menghubungi Bisma yang tak kunjung muncul memberi kabar. Padahal, Shasha butuh Bisma. Persetan dengan Ayu. Shasha butuh Bisma karena laki-laki itulah satu-satunya orang yang bisa membuat Shasha merasa lebih baik. "Mas...ini entah udah voice mail yang ke berapa..." malam ini Shasha kembali mengirimkan pesan suara kepada Bisma yang tak kunjung bisa dihubungi. Dan lagi-lagi, Shasha melakukannya dalam keadaan mabuk. "Aku tau, pasti sekarang istri kamu ngelarang kamu untuk berhubungan sama aku lagi. Dia juga udah ngancam aku...katanya kalau aku datang ke kamu lagi...hidup aku bakal tambah hancur..." Shasha cegukan dan ia tertawa. Bukan tawa bahagia, melainkan tawa miris untuk dirinya sendiri. "Aku...nggak takut sama ancaman istri kamu...soalnya hidup aku sekarang udah terlalu hancur...I have nothing to lose...I'm so f****d up...tapi...aku butuh kamu, Mas. Please...jangan tinggalin aku..." Tawa Shasha miris Shasha kini berubah menjadi sebuah isakan pilu. "Kalau kamu tinggalin aku...aku benar-benar nggak punya alasan buat hidup lagi...So, please...please come to me...please save me..." Tidak ada balasan dari suara yang dirindukan Shasha di seberang sana. Yang terdengar hanya suara monoton pada saluran telepon, serta isakan Shasha yang memenuhi ruangan. Shasha benar-benar hancur dan tidak ada satu pun yang peduli. Tidak ada satu pun yang mau menyelematkannya dari kehancuran ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN