6. Menjadi Ibu Tiri Tristan

1173 Kata
Tristan membunyikan klakson dua kali ketika ia tiba di depan gerbang besar yang kemudian langsung terbuka. Motor besarnya menerobos masuk dengan santai sementara di empunya melempar senyum pada Sudrajat, satpam yang sedang bertugas di depan. Tristan memarkir motornya di halaman saja karena ia masih berencana untuk pergi malam nanti. "Den! Aden!" seru Sudrajat seraya memanggil Tristan. Ia berlari mendekati motor Tristan. "Ada apa, Pak?" Tristan menatap beberapa kantong kresek di tangan Sudrajat. "Ini ... anu, kayaknya Tuan Wira pesen makan malam," kata Sudrajat. "Oh. Kalian udah makan?" tanya Tristan seraya melirik makanan yang kelihatannya tak sedikit itu. "Belum, tapi ini udah ada dijatah sama Tuan, tenang aja, Den. Nanti saya makan bareng-bareng Pak Bon sama Pak Tri. Ini mau saya bawain ke dalam?" "Nggak usah, biar saya aja," ujar Tristan. "Baik, Den." Tristan mengambil kantong-kantong keresek dari tangan Sudrajat. Ia mengintip satu persatu setiap kantong yang ia bawa. Tristan mengernyit penasaran. "Kok Papa beli banyak sih? Apa Bi Sulastri sama Bi Sari udah balik?" Tristan bergumam seraya berjalan masuk ke pintu depan. Begitu Tristan masuk, ia memamerkan makanan itu pada sang ayah yang sedang menonton TV. "Ini buat siapa aja? Bibi udah pada balik, Pa?" "Belum. Itu buat kita aja," kata Wira seraya mematikan TV lalu berdiri mendekati putranya yang terheran. "Tapi ini banyak banget, Pa. Ada donat, martabak. Kita kan nggak pernah makan kayak gini," kata Tristan. "Ehm, sebenarnya ... mulai hari ini kita nggak akan tinggal berdua lagi, Tristan." Wira menatap ke lantai atas selama beberapa detik lalu menepuk lengan Tristan. "Papa baru aja menikah siang tadi." "Apa?" Tristan membelalak. "Tadi siang? Dengan siapa? Tante Dila?" Tristan benar-benar kaget. Ia tak menduga ayahnya sudah menikah lagi. Padahal selama ini neneknya berusaha keras untuk menikahkan Wira dengan wanita-wanita pilihannya, termasuk Dila. "Bukan. Bukan Tante Dila," jawab Wira. "Nanti kamu bisa kenalan. Kamu naik aja dulu, mandi, ganti baju, sholat. Cepat. Bentar lagi habis waktu Maghrib." "Tapi, Pa. Emangnya Oma nggak marah kalau tahu Papa nikah sama wanita lain?" tanya Tristan yang masih penasaran. "Biar Papa yang pikirin. Kamu naik aja. Sini biar Papa atur meja makan." Wira mengambil makanan yang dibawa oleh Tristan. "Kamu buruan naik. Jangan lama-lama mandinya, takutnya dia udah laper." Tristan mendengkus. Dia? Ah, istri ayahnya? Ibu tirinya? Ia sungguh penasaran, siapa wanita yang bisa menaklukkan ayahnya itu? Tristan menatap ayahnya yang kini tengah berjalan menuju ruang makan. Ia pun hendak naik ke kamarnya. Namun, ketika ia sampai di dasar anak tangga, ia justru tercengang menatap Mia yang baru setengah perjalanan turun. Sama seperti Tristan, Mia juga terkaget. Setengah mati kaget! Mia tidak menyangka Tristan ada di sini. Apakah ini rumah Tristan? Bagaimana bisa? Lalu, apa hubungan Tristan dengan Wira? Tidak mungkin! Mia ingin lenyap sekarang juga. Ia pun menatap ke arah lain karena tak tahu bagaimana menghadapi Tristan, tetapi ia justru mendapati foto Tristan bersama dengan Wira dalam pose yang cukup dekat. Tidak bisa dipungkiri lagi, Mia jelas bisa menebak siapa Tristan! "Lo? Lo yang udah nikah sama bokap gue?" tanya Tristan yang berjalan lambat mendekati Mia. Kedua mata Mia melebar maksimal, ia tak mampu berkata-kata. Bahkan tubuhnya melemas seketika jadi ia hanya bisa berpegang pada railing tangga di belakangnya. "Jadi, sejak kapan lo pacaran sama bokap gue?" tanya Tristan lagi. Mia menggeleng pelan. "Gue ... sebenarnya gue ...." Sialnya Mia begitu kelu, ia ingin menjelaskan semuanya pada Tristan, tetapi tak bisa. "Lo nolak temen gue si Yoga gara-gara lo pacaran sama bokap gue, Mi?" tanya Tristan dengan nada menyelidik. Di depannya Mia menggeleng keras. "Lo nolak Yoga karena lo suka sama cowok lain 'kan? Jadi, cowok itu bokap gue?" Tristan menutup bibirnya dengan telapak tangan karena merasa ini sangat konyol. Ia ingin bertanya dan mendengar jawaban dari Mia, tetapi di depannya Mia benar-benar membeku. Mia sangat ingin berkata bukan! Bukan Wira yang ia sukai tapi Tristan sendiri. "Tristan kamu harus mandi dan sholat. Ini jam berapa?" tegur Wira yang kembali muncul dan justru mendapati Wira sedang mengobrol dengan Mia. "Mia kamu ke sini." "Ya." Mia merespon Wira, tapi cepat-cepat ia menatap Tristan. "Gue bisa jelasin. Ini nggak kayak yang lo pikirin." "Gue cuma kaget, sumpah," kata Tristan seraya tertawa. "Gue nggak nyangka bokap gue bisa suka sama bocah kayak lo." "Tristan!" tegur Wira. Ia sudah menebak bahwa putranya mengenal Mia karena sebelumnya ia membaca profil lengkap Mia sebelum menikah. Mia dan Tristan satu sekolah, satu angkatan. "Perhatikan cara bicara kamu. Sekarang kamu masuk kamar dan bersiap!" "Oh ya, sorry. Gue ... maaf." Tristan menatap ayahnya bingung. Ia tak tahu harus memanggil Mia apa. Jadi ia mengangkat bahu lalu berlari naik ke kamarnya. Di kamarnya, Tristan masih tercengang karena fakta baru yang ada di kehidupannya. Mia, teman satu angkatannya di sekolah sudah menikah dengan ayahnya, itu artinya sekarang ia memiliki ibu tiri dan yang seumuran dengannya. "Kamu sudah kenal dengan Tristan?" tanya Wira pada Mia yang berjalan pelan menuruni anak tangga. "Ya. Kenapa anaknya Om harus Tristan sih?" Mia menggerutu tak jelas. "Hah?" Wira menatap Mia bingung. Gadis itu tampak cemberut, tetapi Wira tak tahu apa yang membuatnya demikian. "Kamu tenang aja, Tristan pasti tidak akan buka mulut tentang pernikahan kita. Ini adalah pernikahan rahasia." "Tetap aja ...." "Bukannya kamu lapar? Kamu bisa tunggu lima belas hingga dua puluh menit sampai Tristan selesai? Nanti kita makan sama-sama," tanya Wira. Mia hanya bergumam dan mengangguk. Ia sudah kehilangan nafsu makan sejak tahu Tristan adalah anak dari Wira. Kedua kakinya yang lunglai membawa dirinya ke sofa ruang tengah. Dengan keras, Mia menghempaskan tubuhnya lalu merebahkannya ke sana. Empuk dan nyaman sekali sofa mahal ini, pikir Mia. Namun, ia tak bisa menikmati. Ini adalah mimpi buruk! Pernikahannya dengan Wira adalah hal paling mengerikan! Mia terkesiap saat mendengar HPnya menjerit. Ia menatap nama ayahnya di layar. Mia pun mendudukkan dirinya di sofa, mengangkat kedua kakinya lalu bersila dengan santai. Dengan wajah masih terlipat, Mia pun menekan tombol hijau. "Assalamualaikum, Mia," sapa Rehan. "Waalaikumsalam, Papa," jawab Mia. "Kamu udah sampai di rumah suami kamu?" tanya Rehan dengan nada penuh perhatian. "Udah, Pa. Tadi sore. Ini mau siap-siap makan," jawab Mia. "Kamu baik-baik saja? Nggak ada masalah kan?" Mia mencebik. Tentu saja ada masalah. Masalah besar. Bagaimana bisa ia menjadi ibu tiri dari Tristan? "Kenapa kamu diem aja?" tanya Rehan dengan nada khawatir. Mia mulai menangis lagi sekarang, namun tak ia menahan isak tangisnya. "Bilang sama Papa. Kamu nggak suka di rumah Wira?" Mia mengangguk. "Aku pengen pulang, Pa! Aku nggak mau di sini." "Apa yang ter ...." "Mia! Jangan bersikap seperti ini." Mia mengusap pipinya jengkel ketika suara sang ayah digantikan oleh Suci. "Kamu mau bikin ayah kamu khawatir? Ha? Sekarang kamu sudah menikah dan yang harus kamu lakukan di situ hanyalah berbakti pada suami kamu. Tinggal baik-baik dan dan nikmati kehidupan baru kamu sebagai istri Wira. Jangan bikin masalah dan merepotkan ayah kamu lagi!" Mia menekuk buku-buku jarinya. Ia semakin kesal dengan ibu tirinya. Juga dengan Wira, yang diam-diam mencuri dengan obrolan ini. "Kamu dengerin Mama nggak sih?" tanya Suci di seberang. "Ya! Aku denger kok," jawab Mia. "Mama tenang aja, aku bisa jadi istri sekaligus ibu tiri yang sangat baik!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN