"Aku pegang kata-kata Om! Awas kalau berani macam-macam sama aku," kata Mia dengan wajah merah.
Wira hanya mendengkus karena ancaman dari istri kecilnya. Ia menggeleng pelan karena ia memang tidak berhasrat dengan Mia. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa ia memiliki tanggung jawab di depan semua orang, karena itulah ia mau menikahi gadis semuda Mia.
Mia baru tenang menangis ketika mendengar ucapan Wira tadi. Ia tidak menangis lagi dan justru menikmati pemandangan di luar. Ia sudah berkendara cukup lama dan rasanya tak sampai-sampai. Menyadari hal itu, ia menoleh pada Wira.
"Om tinggal di mana?" tanya Mia penasaran. "Kok jauh banget."
"Ya emang jauh. Satu setengah jam dari rumah Pak Rehan," jawab Wira.
"Oh, lumayan." Mia mengerjap lalu kembali menatap jalanan. Namun, ia masih penasaran lalu menoleh lagi pada Wira. "Ada siapa saja di rumah? Aku nggak akan ketemu ibu mertua yang galak kan?"
Mia bertanya dengan kedua mata melebar, ia baru membayangkan adegan di sinetron yang sering ditonton ibunya. Mertua yang keji pada menantunya. Ia tak mau punya mertua seperti itu. Seharusnya ia menikah dengan seseorang yang sudah ia kenal dekat berserta keluarganya. Ia tak mau tiba-tiba mendapatkan perlakuan seram dari mertua. Memiliki Suci sebagai ibu tirinya sudah cukup bagi Mia. Bagaimana jika ia memiliki mertua yang jahat?
Wira terlihat gamang mendengar pertanyaan Mia karena ia tahu, ibunya tak akan suka jika ia membawa pulang istri kecil seperti ini. Namun, ia tak mau menakuti Mia sekarang meskipun ia baru saja dikerjai oleh Mia.
"Kamu tenang aja. Aku nggak tinggal bersama orang tua aku. Dan mereka cukup jarang bertandang ke rumah." Wira menelan keras. Masih ada satu hal yang mengganggunya, jika Mia bertemu dengan putranya nanti.
"Jadi, kita hanya akan berdua saja di rumah?" tanya Mia ngeri. Ia senang tak akan tinggal dengan mertuanya, tetapi tak juga mau berduaan dengan Wira.
"Nggak. Tenang saja," jawab Wira. "Di rumah sebenarnya ada banyak orang, pembantu, satpam, tukang kebun dan ... kamu bisa lihat sendiri. Kita sudah sampai."
Mia terkesima ketika mobil Wira memasuki gerbang besar yang terbuka otomatis. Ia menatap pos satpam yang ada di depan lalu mobil memasuki halaman. Tidak, mobil ini memutari halaman yang sangat luas untuk tiba di depan rumah bertingkat dua yang sangat besar. Mia ternganga seketika, ia memiliki suami yang kaya raya!
"Tutup mulut kamu," kata Wira gemas.
Mia mengatupkan bibirnya seketika. Ia agak malu tetapi tak mau terlihat begitu bodoh di depan Wira. Namun, begitu ia turun dari mobil, ia kembali takjub karena rumah ini begitu mewah, luas dan asri dengan banyaknya tanaman serta pohon rindang. Pantas saja sampai ada tukang kebun di sini.
"Ayo masuk, barang-barang kamu biar dibawa Yandi ke dalam." Wira melambaikan tangan lalu mengedikkan dagu pada Mia.
Dengan langkah kecil, Mia mengikuti Wira masuk ke rumah. Sekali lagi ia terpana dengan isi rumah. Ada banyak barang-barang mewah yang tak pernah ia lihat langsung sebelumnya. Sofa yang cantik dan pastinya sangat nyaman untuk duduk atau mungkin rebahan! Mia sudah membayangkan hal itu.
"Kita hanya berdua saja untuk sekarang," kata Wira memecah imajinasi Mia. "Dua pembantu kami sedang cuti. Jadi ...."
"Om nggak akan nyuruh aku beres-beres rumah sebesar ini kan?" tanya Mia panik. Imajinasinya berubah, mungkin saja ia dinikahi pria kaya untuk dijadikan b***k. Seperti di sinetron-sinetron.
"Nggak. Kamu nggak perlu melakukan apapun di sini."
"Lalu yang memasak?" tanya Mia bingung.
"Kita bisa membeli makanan di luar atau memesan. Kamu lapar? Sebentar lagi Maghrib dan kita harus makan malam. Apa yang mau kamu makan?" tanya Wira seraya mengeluarkan ponselnya untuk mencari menu yang bisa dipesan di sebuah aplikasi.
"Ehm," gumam Mia canggung. Jujur saja ia sangat lapar. Namun, ia juga tak enak meminta ini dan itu pada Wira. Siang tadi ia hampir tak bisa menelan apapun jadi sekarang ia sangat kelaparan.
"Bilang saja. Aku yang bayar makanannya. Apa yang kamu suka?" tanya Wira yang melihat Mia tampak ragu.
"Sesuatu yang pedas," ucap Mia, "tapi nggak berkuah."
"Ayam bakar dan sambal mau?" tanya Wira menawarkan.
"Ehm, ayam geprek aja, Om. Yang super pedes! Tapi aku mau sup juga," kata Mia. Ia nyengir saat Wira menatapnya. "Kalau boleh."
"Ehm. Ada lagi yang kamu inginkan?"
"Mungkin cemilan yang agak berat kayak donat atau martabak manis atau roti bakar atau ... apa aja deh!" seru Mia bersemangat.
"Oke. Makanan beres. Kamu bisa naik ke atas untuk mandi dan ganti baju," kata Wira.
Mia mengangguk pelan, tetapi ia masih mengedarkan matanya untuk melihat-lihat isi rumah Wira. Kedua matanya kemudian menatap foto besar Wira bersama seorang wanita cantik dalam balutan busana pengantin. Kedua netra Mia membola.
"Itu Indah, istri pertama aku. Dia sudah lama meninggal dunia, tapi aku belum memindahkan fotonya. Kita bisa memasang foto pernikahan kita sebagai gantinya kalau kamu mau."
Mia membuka mulutnya lebar-lebar. Foto pernikahan dirinya yang mengenakan seragam bercorak warna-warni? "Oh, nggak, Om. Nggak perlu. Ini fotonya nggak usah diganti. Begini aja."
"Oke. Ayo naik," ajak Wira. "Kamu nggak mau pakai seragam sekolah kamu terus kan?"
Mia mengangguk. Sejak siang ia belum berganti. Ia pun mengikuti Wira menuju lantai atas rumah tersebut. Namun, ia masih kepikiran sesuatu dan tak tahan jika tak bertanya pada Wira.
"Jadi, siapa yang beres-beres rumah kalau pembantu di sini sedang cuti, Om?" tanya Mia penasaran.
"Kamu kira aku nggak bisa nyapu dan bersih-bersih rumah?" tanya Wira dengan nada mencela.
Mia mendengus. Ia tak tahu, tapi ia tak bisa membayangkan Wira memegang sapu dan penyedot debu. Mia mengikuti Wira masuk ke kamar besar.
"Itu lemari kamu, aku udah beliin beberapa baju baru untuk kamu. Kamu bisa pilih mana tahu kamu suka," ujar Wira. "Kamar mandinya di situ. Saya mau siap-siap Maghrib di bawah. Kamu nggak sholat kan?"
"Nggak, Om. Tapi, tunggu! Ini ... ini kamar buat aku kan?" tanya Mia.
Wira mematap isi kamarnya. "Ini kamar kita berdua. Bukannya kita sudah menikah."
"Tapi ... tapi aku ...." Mia terbata karena bisa membayangkan tidur berdua dengan Wira di kamar ini. Walaupun mereka sudah berstatus suami-istri, rasanya ia tidak rela.
"Udah aku bilang, aku nggak akan apa-apain kamu. Itu juga berlaku meskipun kita harus tidur satu kamar. Tenang saja. Sekarang kamu bisa mandi dan istirahat sejenak."
Mia melemas ketika pintu kamar ditutup dari luar oleh Wira. Ia akan tidur di sini? Berdua dengan Wira? Oh, Mia merasa sudah hampir gila. Namun, karena ini sudah sangat sore dan memang ia harus mandi ia segera membuka lemari yang ditunjuk oleh Wira.
"Wah! Sial! Ini sih balas dendam," gumam Mia ketika ia melihat beberapa kaos putih berjejer di gantungan lemari. Ia mengambil satu lalu menyadari betapa persisnya kaos itu dengan kaosnya yang sudah dipakai oleh Wira untuk membalut lukanya.
Yang membedakan hanyalah mereknya. Mia membeli kaos thrift seharga 95.000 rupiah, sedangkan kaos yang ia pegang pastilah baru dan berharga ratusan ribu. Mia mengecek kaos-kaos yang lain, semuanya memiliki merek yang terkenal. Begitu juga dengan baju-baju yang lain. Bahkan baju tidurnya!
"Gila! Om Wira beliin ini semua buat aku?" monolognya. Ia mengambil satu setel kaos dan rok pendek setelah memadankan mereka. "Enak juga punya suami kaya, baju mahal udah disiapin nggak kayak tinggal bareng Mama! Mau beli satu baju baru aja kudu ngumpet."
Mia mendengkus. Ia merasa sedikit beruntung sekarang. Meskipun ia tak tahu, sebentar lagi akan ada kejutan luar biasa di lantai satu! Sesuatu yang tak akan pernah ia bayangkan dan ia sukai!