7. Makan Malam Keluarga

1143 Kata
"Sumpah! Ngeselin." Mia menutup teleponnya setelah mendengar serentetan omelan dari Suci. Ia bahkan tak punya kesempatan untuk bicara lagi dengan Rehan. Dengan kesal, Mia membaringkan lagi dirinya di sofa lalu menggeliat dan menendang-nendang udara lantaran sangat kesal. Aksi itu tak luput dari pandangan Wira yang tadinya hanya berniat untuk memanggil Mia untuk makan malam. "Mia," panggil Wira dengan kedua lengan bersedekap. Mia terduduk, sedikit malu karena ia baru saja bertingkah konyol di rumah Wira. Tapi jujur saja, sofa di bawah tubuhnya sangat empuk dan nyaman, itu membuat Mia merasa bahwa ia sedang ada di rumahnya sendiri. "Eh, iya, Om," ujar Mia terkejut. "Kita harus bicara sedikit. Ini tentang Tristan," kata Wira yang kemudian duduk di seberang Mia. Mendengar nama Tristan membuat Mia kembali merasa resah. "Rasanya bakalan aneh kalau Tristan tahu bagaimana ceritanya kita bisa menikah." Kedua mata Mia membola. Benar juga! Itu memalukan jika cerita berduaan di rumah kosong itu sampai didengar oleh Tristan. Padahal, yang ingin ditutupi Wira sebenarnya adalah aksi melukai dirinya sendiri. Ia tak mau Tristan tahu akan hal itu. "Ya, jadi apa yang harus kita katakan kalau Tristan nanya?" tanya Mia. Wira mengangkat bahu. Ia tak punya ide sama sekali. Tak mungkin mengatakan bahwa mereka dijodohkan. Keluarga Mia sangat miskin jika dibandingkan dengan keluarganya. Orang tua Wira tentu tak akan pernah menjodohkan Wira dengan putri dari keluarga Rehan. Di depannya, Mia tampak berpikir keras, tetapi Wira tak bisa menebak apa yang ada di kepala bocah itu. "Ehm, bisa nggak kalau kita bilang pernikahan kita hanya karena kesepakatan. Aku nggak beneran pengen nikah sama Om," kata Mia terang-terangan. Wira menatap Mia lurus-lurus. Ia pun tak menginginkan pernikahan ini. Sama sekali tidak. Namun, jujur pada Tristan untuk hal sakral seperti ini rasanya hanya akan menyiksa sanubarinya. Tristan selalu ingin melihat Wira melepaskan masa lajangnya daripada harus didesak oleh sang nenek yang menginginkan pernikahan. Tristan selalu ingin ayahnya bisa jatuh cinta lagi alih-alih memendam kepedihan atas kepergian ibunya yang sudah bertahun-tahun lalu. "Kamu bisa berpikir seperti itu. Aku juga nggak berniat menikah dengan kamu. Tapi kita harus tetap bersandiwara di depan Tristan dan keluarga aku. Kamu bisa menjadi istri aku hanya untuk pura-pura seperti itu?" tanya Wira. "Aku nggak suka, lebih baik kita jujur," jawab Mia terang-terangan. "Aku bisa membayar kamu. Dengan apapun. Biaya kuliah kamu, aku yang tanggung. Bisnis papa kamu, aku jamin lancar. Karena kita sudah terlanjur menikah seperti ini, kita harus tetap melakukannya," kata Wira dengan nada mengintimidasi. Mia mencebik. Jadi begini? Ia sudah dijual kepada Wira agar bisnis ayahnya lancar? Agar ayahnya tidak perlu memikirkan biaya kuliahnya lagi? Kalau begini sih, Suci yang paling berbahagia karena tadinya Mia tak boleh melanjutkan kuliah. Mia disuruh bekerja oleh ibu tirinya itu. "Gimana kalau suatu hari nanti, aku jatuh cinta sama pria lain dan mau pisah?" tanya Mia hati-hati. "Itu mudah. Kita bisa bercerai. Tenang saja," kata Wira santai. "Tapi setidaknya kita harus menikah selama satu tahun." Mia agak ragu. Satu tahun bersama Wira? Bisakah ia menghadapi Tristan setiap hari di sini sebagai ibu tirinya? Oh, tidak. "Tristan sudah turun. Kita katakan saja pernikahan kita terjadi karena aku sudah kenal sama ayah kamu. Toh, aku emang berasal dari daerah yang sama dengan keluarga kamu. Ayo kita makan saja dulu." Ucapan Wira memporak-porandakan isi kepala Mia. Ia menoleh dan bertemu tatap dengan Tristan yang entah kenapa memamerkan cengiran di wajahnya. Mia menjadi sangat malu. Bagaimana tidak? Tristan pasti mengira ia sudah menyukai Wira, bahkan Tristan sempat bertanya sudah berapa lama dirinya berpacaran dengan Wira. Mia menunduk lesu, ia ingin mengatakan semuanya pada Tristan, tetapi Wira menginginkan hal lain. "Papa udah siapin semua?" tanya Tristan yang bergabung dengan Mia dan Wira. Wira mengangguk pelan. "Ayo, Mia. Bukannya kamu laper?" Wira menunggu Mia berdiri lalu melangkah masuk ke ruang makan bersama dengan Tristan yang sesekali menoleh pada Mia di belakang mereka. Mia cukup kaget dan agak malu karena makanan yang ia sebutkan tadi semuanya sudah terhidang di meja makan. Ia menatap Wira dan Tristan bergantian. Toh, mereka bertiga, ini bukan masalah pikirnya, ini bisa dimakan bersama-sama. Dengan canggung, ia duduk di salah satu kursi, tepat di sebelah Wira. "Selamat ya, Pa, Mia. Harusnya Papa bilang kalau mau nikah hari ini. Aku kan bisa kasih hadiah buat Papa sama Mia," kata Tristan. Mia yang sedang meneguk air spontan terbatuk. Ia tak menginginkan ucapan selamat dari Tristan sama sekali. Pelan sekali, ia menggeleng pada Tristan, tetapi pemuda itu justru nyengir lebih lebar. "Aku harus panggil Mia apa sekarang, Pa?" tanya Tristan bingung. "Terserah kamu." Wira menjawab datar. "Aku udah panggil Mia dengan sebutan Mi. Kayak gitu udah pas, 'kan? Bisa diartikan Mami atau Umi," kata Tristan. Mia menelan keras. Bahkan sepertinya Tristan justru menyukai pernikahan ayahnya dan terlihat antusias sekarang. Mia merasa tak berkutik lagi. "Oke ya, Mi," kata Tristan pada Mia. "Kayak biasa aja lah. Lagian nggak ada yang berubah," kata Mia. Ia menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, tapi rasanya tidak senikmat ini yang sore tadi ia bayangkan. Sekarang, ia bukanlah Mia di mata Tristan. Ia adalah seorang mami. "Kalian bakal masuk ke universitas yang sama, 'kan?" tanya Wira. "Walaupun kamu dan Mia berteman, tetap saja kamu harus jaga bicara kamu di depan Mia." "Aku ngerti, Pa. Abis makan aku mau cabut ya," ujar Tristan. "Lho, mau ke mana?" tanya Wira kaget. Mia melirik Tristan penasaran. Tristan sudah pulang lepas waktu Maghrib dan kini hendak pergi lagi? "Party, Pa. Ini hari kelulusan aku. Aku mau kumpul-kumpul sama temen-temen SMA, besok-besok kan kami udah nggak barengan lagi." Mia merasa iri seketika. Seharusnya ia juga berpesta! Namun, karena ia tinggal dengan ibu tiri yang protektif, ia sangat jarang bisa keluar rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya. Jadinya, mau ada pesta apapun di malam hari ia tak akan diperkenankan ikut serta. "Tadi kamu udah ikut pawai di jalan juga, 'kan?" tanya Wira. "Masih ada pesta?" "Iya dong. Aku nggak mau ketinggalan," ujar Tristan terkekeh. "Ya udah, jangan pulang kemaleman. Sebelum tengah malam ...." "Aku mau nginep di rumah Yoga aja, Pa," potong Tristan. "Kenapa? Pulang, pokoknya kamu harus pulang!" titah Wira tegas. Tristan menggeleng dengan cengiran di wajahnya. "Aku nginep aja deh. Aku mau kasih Papa space and time buat berduaan sama istri Papa." "Apa?" tanya Wira dan Mia berbarengan. Tristan tertawa kecil melihat pengantin baru di depannya. Apalagi wajah Mia yang langsung memerah seperti tomat segar. "Ya kalian baru nikah, 'kan? Harusnya seneng-seneng berdua. Kenapa nggak bulan madu aja sekalian? Aku nggak papa kok di rumah sendirian." "Tristan, ini nggak kayak yang lo pikirin," kata Mia cepat. Ia tak ingin Tristan mengira ia benar-benar menyukai pernikahannya. "Emang gue mikir apa?" tanya Tristan pada Mia. "Tristan!" tegur Wira. "Ah, maaf, Mi. Belum terbiasa," kata Tristan penuh sesal. "Pokoknya aku cuma mau kasih ucapan selamat buat Papa sama Mami. Semoga pernikahan kalian langgeng dan selalu berbahagia. Nggak usah canggung di depan aku, Mi. Aku seneng papa aku mau nikah lagi. Semoga kamu bisa bikin papa aku bahagia sekarang."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN