"Ini semua memusingkan," gumam Mia.
Mia ingin memuntahkan apa yang sudah masuk ke perutnya ketika mendengar penuturan Tristan. Bagaimana bisa Tristan begitu saja menerima dirinya sebagai ibu tirinya? Ia tak mengira, cowok itu justru senang dengan pernikahan ayahnya. Bukankah seharusnya tidak begitu? Biasanya anak laki-laki akan marah jika ayahnya dekat dengan wanita lain bukan? Ah, ini terasa tidak benar. Mia semakin mulas dan tidak berselera lagi, padahal satu jam yang lalu ia sangat kelaparan.
"Ini nggak dimakan?" tanya Wira seraya mengedikkan dagu ke meja makan di mana ada sup ayam yang belum disentuh sama sekali oleh Mia. Ada donat dan martabak manis juga yang tadinya sangat diinginkan Mia.
"Aku kenyang," jawab Mia datar.
Tristan melirik Mia, ia mengira Mia sedang malu karena ia ketahuan menikah dengan ayahnya. Mungkin, ia benar-benar harus segera pergi dari sini, pikirnya. Jadi, Tristan cepat-cepat menghabiskan makanannya lalu meneguk air putih.
"Pa, aku pergi sekarang aja deh," pamit Tristan.
"Ehm, baik-baik di luar. Jangan aneh-aneh," pesan Wira.
"Papa tahu, aku nggak pernah aneh-aneh." Tristan kembali menatap Mia yang kini sedang mengaduk-aduk nasi dengan sambal ayam geprek. Ia membuang napas panjang. "Santai aja, Mi. Aku nggak akan bilang ke semua orang kalau kamu nikah sama Papa kok."
Mia mengangkat mukanya. Yah, itu penting juga. Ia tak mau semua orang tahu tentang pernikahannya. Tapi lebih dari apapun, ia ingin Tristan tahu ini bukanlah kehendaknya untuk menikahi Wira. Ia sangat malu karena harus menjadi ibu tiri dari Tristan. Ia tak mau. Ia tak suka. Ia ingin lenyap saja kalau bisa!
Karena Mia tak merespon ucapannya, Tristan pun mengangkat bahu lalu segera pergi. Sementara itu di ruang makan, Wira melipat kedua lengannya di depan d**a. Ia agak kesal dengan banyaknya makanan di meja, tetapi tidak dimakan oleh Mia. Bahkan, Mia hanya meremas-remas nasinya.
"Bukannya tadi kamu mau makan ini dan itu? Sekarang ini siapa yang mau makan?" tanya Wira.
Mia mendengkus. "Nanti aku makan. Aku cuma ... aku pengen bilang sama Tristan kalau kita nggak nikah karena saling suka."
Kini giliran Wira yang mendengkus. "Jangan. Aku nggak mau putra aku berpikir yang tidak-tidak. Jadi, kita harus tetap bersandiwara, mengerti?"
Mia menatap sengit Wira lalu menyuapkan nasi ke dalam mulutnya. Ia sangat marah dan jengkel. Selera makannya tidak begitu saja kembali, jadi ia menutup kotak-kotak donat dan martabak. "Besok aku makan, tenang aja. Aku bukan orang yang suka menyia-nyiakan makanan. Boleh aku simpan ini di kulkas?"
Wira mengangguk, ia membiarkan Mia melakukan apapun untuk yang diinginkannya selagi ia membereskan alat-alat makan mereka bertiga. Setelahnya, Wira pun langsung menghilang ke ruang sholat lagi yang ada di lantai satu sedangkan Mia tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin berbaring di kamarnya, tapi juga takut kalau tiba-tiba Wira ikut masuk ke sana dan ... oh, tidak!
Mia yang gelisah seorang diri di ruang tengah pun berniat menelepon ayahnya, tetapi ia mengurungkan niatnya karena tak mau dikira membebani sang ayah oleh Suci. Ia juga masih kesal dengan Suci. Jadi hanya berbaring di sofa sembari menonton siaran acara kesukaannya di ponsel. Sesekali ia tertawa atau berkomentar lirih mengenai tontonannya. Mia sudah mengubah posisinya berbaring menjadi duduk lalu berdiri dan berbaring lagi dengan aneka posisi.
Mia tak tahu, sejak tadi Wira memperhatikan tingkahnya dari kejauhan. Wira menggeleng pelan. Ia tak percaya, ia sudah menikahi gadis semacam Mia. "Ini sudah malam, kamu nggak mau tidur di kamar?"
"Ehm. Aku belum ngantuk, Om," jawab Mia tanpa mengalihkan tatapannya dari ponsel.
"Naik aja. Kamu harus tidur di kamar!" titah Wira.
Mia mencebik. "Aku nggak mau tidur sama Om! Jangan coba-coba! Lebih baik aku tidur di sini."
Wira mendengus keras. "Tidur di kamar. Di sini dingin. Jangan takut."
"Tapi ...."
"Cepat naik!" perintah Wira.
Mia menurunkan ponselnya lalu menghentakkan kakinya ke lantai keras-keras karena jengkel dengan Wira yang dengan santainya melenggang naik ke lantai atas. Mia mendapatkan tatapan mengintimidasi lagi dari Wira ketika pria itu mencapai pertengahan anak tangga.
Oke, baiklah, batin Mia bergejolak. Jika pria itu macam-macam, ia akan mengerahkan tenaganya untuk menendang aset pria itu! Ia akan melumpuhkannya dalam sekejap seperti di film-film. Tidak sulit melakukan itu karena ia pernah belajar bela diri sebelumnya. Dan menendang bagian itu pasti tidak akan merepotkan. Lagipula, ia sedang datang bulan, tak mungkin pria itu mau menidurinya malam ini kan? Tidak! Tidak boleh sama sekali! Mia tak mau tidur dengan pria tua seperti Wira!
"Lebih baik kamu ganti baju tidur," kata Wira begitu mereka masuk ke kamar. "Jangan lupa cuci wajah kamu."
"Aku bukan anak kecil, aku bisa ngurus diri aku sendiri," kata Mia yang merasa ia justru diperlukan seperti seorang anak alih-alih istri. Ia mencoba bersikap berani di depan Wira. Namun, ia agak gentar ketika pria itu menutup pintu kamar hingga menyisakan keheningan di antara mereka berdua. Yah, berdua saja di dalam kamar yang begitu besar itu.
Mia mengerjap saat Wira berdiri di depannya. Ia mundur selangkah saking gugup dan berdebarnya. Mia harus menengadah untuk menatap wajah Wira yang cukup dekat dengannya. Ia takut jika ia akan kehilangan semuanya malam ini, termasuk ciuman pertamanya yang berharga.
"Kamu bisa tidur di sini, aku akan tidur di ruang sebelah," kata Wira mengagetkan semua imajinasi Mia.
"Kamar sebelah?" Mia terkesiap.
Wira menjulurkan tangannya ke belakang kepala Mia, menekan sesuatu di tembok hingga membuat suara aneh di belakang gadis itu. Oh, jadi ini yang membuat Wira mendekat padanya, ada sesuatu di balik punggung Mia. Sebuah pintu yang tadinya tak begitu kentara sudah terbuka lebar.
"Itu ruangan apa?" tanya Mia terkesima.
"Ini ruang kerja aku. Aku bisa tidur di sana dan kamu tidur di kamar ini," kata Wira.
"Tapi ... tapi nggak ada tempat tidurnya di sana," kata Mia yang sudah mengintip ke dalam ruangan tersebut.
"Bukan masalah," tukas Wira. "Aku bisa tidur di sofa. Jangan membuat banyak suara, aku lebih suka tidur dengan tenang. Mengerti?"
Mia mengangguk pelan. Ia menggeser tubuhnya ketika Wira masuk ke dalam ruang kerjanya. Pintu itu tiba-tiba sudah tertutup lagi. Dan kini, Mia seorang diri di kamar. Mia merasa kosong dan sepi karena ini adalah tempat asing baginya. Ia membuang napas panjang. Setidaknya begini aman, ia tidak diapa-apakan oleh pria itu.
"Wah, aku terkesan," gumam Mia ketika duduk di tepi ranjang yang begitu empuk dan nyaman. Ia membungkukkan badannya lalu menatap pintu rahasia tadi. "Dia nggak bakal keluar dan pindah ke sini kan?"
Mia menunggu hingga beberapa menit, tetapi pintu itu tetap tertutup. Jadi, Mia memutuskan untuk membaringkan dirinya. Ia kembali terkejut karena ranjang itu sangat nyaman untuknya berbaring.
"Tempat tidur orang kaya emang beda," gumam Mia.
Setelah berkali-kali membalik badannya di atas ranjang, ia pun mematikan lampu agar bis segera tidur. Namun sayang, kantuk rupanya tak kunjung datang. Ia merasa malam ini adalah malam paling aneh dalam hidupnya. Ia menyalakan lampu lagi lalu memutuskan untuk melihat-lihat isi kamar Wira.
Ada banyak hal menarik di dalam kamar, karena Wira adalah pria kaya tentu ada barang-barang mahal yang membuat Mia membelalakkan matanya. Bahkan deretan jas, kemeja, jam tangan dan sepatu di walk in closet kamar ini sangat banyak dan bagus. Hampir seperti di film-film, pikir Mia.
Mia memutuskan untuk kembali ke ranjang saja daripada dikira hendak mencuri sesuatu di sana, tetapi kedua matanya terpaku pada sebuah pigura yang ada di atas lemari dasi Wira. Ia mengambilnya. Mia menatap foto wanita cantik yang memangku anak laki-laki berusia mungkin empat atau lima tahun. Mia mengenali anak itu yang tak lain adalah Tristan. Dan wanita ini pastilah ibu dari Tristan, Indah. Mia sudah melihat foto pernikahan Wira dengan Indah di lantai bawah, namun baru sekarang ia melihat lebih jeli wajah Indah.
"Cantik banget," gumam Mia seraya mengusap wajah Indah. "Bagaimana ibu Tristan meninggal dunia?"