9. Bukan Istri Terbaik

1265 Kata
Puas melihat-lihat isi walk in closet Wira sekaligus foto-foto lama Wira dengan Indah yang rupanya tak hanya ada satu, Mia kembali masuk ke kamar. Ia duduk di ranjang yang sangat nyaman dan luas itu. Jika saja ia tak begitu gugup, ia pasti akan bisa segera tidur dengan sangat nyenyak, pikirnya. Namun, Mia belum mengantuk, ia justru kepikiran Tristan yang sedang berpesta kelulusan di luar sana. Apakah teman-teman sekelasnya juga berkumpul seperti Tristan? Karena penasaran, Mia pun mengecek beberapa akun media sosial temannya. Tak ada banyak pembaruan, tetapi beberapa temannya mengunggah foto kelulusan mereka hari ini. Ah senangnya, pikir Mia. Ia pun ingin mengunggah foto serupa lalu memilih satu dari sekian banyak foto yang ada di galerinya. "Sial," desis Mia jengkel. Karena ponselnya sudah sangat lawas, ia harus menahan kesal setiap kali membuka beberapa aplikasi sekaligus. Mia berdecak jengkel, lalu mencoba mengunggah lagi. Kali ini berhasil, Mia pun tersenyum. Ia agak iri dengan Tristan yang terlahir sebagai anak sultan, sementara ia hanya memiliki orang tua yang pas-pasan. Mia berbaring di ranjang dengan kedua mata menatap langit-langit kamar yang sangat tinggi. Kamar ini seharusnya sangat menyenangkan, pikir Mia. Ini adalah kamar terbagus yang pernah ia sambangi. Ia bahkan bisa tidur di sini. Sementara itu, di ruang kerjanya, Wira tak lantas tidur. Ia masih duduk di meja kerjanya dengan tangan menggenggam sebuah pigura foto. Beberapa kali ia membuang napas panjang nan berat. "Maafkan saya, Indah," gumamnya di sela keheningan. "Saya harus menikahi gadis itu, padahal saya sudah berjanji pada kamu bahwa saya tidak akan pernah membagi hati saya untuk wanita manapun. Saya harap, kamu bisa memaafkan saya, Indah." Wira meletakkan pigura foto itu di dalam laci, tetapi tak lantas menutupnya. Hatinya terasa sakit sekali setiap ia mengenang nasib Indah, bagaimana istrinya itu harus berpulang di usia yang sangat muda 10 tahun yang lalu. Indah bahkan meninggalkan Tristan yang masih kecil. Usai menetralkan suasana hatinya, Wira berniat untuk tidur. Ia tak terbiasa tidur di sofa seperti saat ini, tetapi ia tak bisa tidur di kamarnya bersama dengan Mia, istri barunya. Beberapa kali Wira mengubah posisi tidurnya, tetapi ia sangat tidak nyaman. Apalagi tiba-tiba ia mendengar tawa keras Mia dari kamar sebelah. Sepertinya Mia sedang bertelepon dengan seseorang, temannya mungkin. Suara cekikian dan seruan keras kembali terdengar hingga Wira penasaran, apa sebenarnya yang membuat Mia seperti itu. "Oh, benar-benar mimpi buruk," gumam Wira yang kembali mencoba memejamkan matanya. Ia lupa tidak mempersiapkan selimut di ruangan ini jadi ia agak kedinginan. "Sial, kenapa juga aku harus ada di sini!" Wira membuka matanya lebar ketika Mia tertawa lagi. Oh, keterlaluan, batinnya. Padahal ia sudah berpesan agar tidak membuat kegaduhan di sini tetapi sepertinya Mia lupa atau memang sengaja seperti ketika ia dibuatkan kopi tadi sore. Tak ingin berdebat dengan bocah itu, Wira pun merapatkan kelopak matanya lalu bersedekap erat. Ia ingin segera tertidur! *** Wira terbangun begitu alarm ponselnya meraung. Ia masih merasa sangat mengantuk lantaran tadi malam ia benar-benar tak bisa tidur. Jujur saja, ia sangat terganggu dengan suara keras Mia. Ruangan ini memang tidak kedap suara karena tadinya hanya ia gunakan sendiri untuk bekerja sesekali di rumah. Mungkin, sudah saatnya ia mengubah sistem kamarnya. Tadi malam, karena Mia banyak tertawa aneh, Wira pun akhirnya tak bisa menahan diri untuk tak mencari tahu apa saja yang dilakukan gadis itu di kamarnya. Ia pun melihat melalui cctv kamarnya yang terhubung ke ponsel. Dan hasilnya benar-benar membuat ia terkejut. Mia sepertinya memang sedang berbicara dengan temannya di telepon, tetapi Wira tak bisa mengerti dengan tingkah Mia yang seperti orang kesurupan. Gadis itu mengguling ke kanan dan ke kiri di atas tempat tidur, lalu berdiri dan duduk lagi hingga berkali-kali. Wira banyak berdecak kaget semalam. Ketika Mia selesai menelepon temannya, ia mengira Mia akan segera tidur, tetapi Mia justru membuka laptop miliknya yang ada di atas meja kamar. Tadinya Wira ingin menegur Mia, tetapi ia mengurungkan niatnya karena Mia ternyata hanya menonton siaran film melalui laptop itu. Mungkin sesuatu yang sangat lucu karena Mia kembali bertingkah aneh dengan tertawa dan berguling-guling tak keruan. Bahkan, Mia meninggalkan kamar selama beberapa menit dan tak lama kembali dengan satu kotak donat! Mia makan di atas ranjang tanpa dosa sembari menonton film. "Apa-apaan ini?" gumam Wira ketika ia masuk ke kamarnya melalui pintu rahasianya. Ia menatap Mia, agak kaget karena gadis itu tidur tak beraturan. Sontak, Wira menarik selimut untuk menutupi paha Mia yang tersingkap lantaran gadis itu tidak mengganti pakaiannya dengan baju tidur seperti yang sudah ia sarankan sebelumnya. "Pagi yang buruk," gumam Wira ketika Mia bahkan tidak bergerak ketika ia selesai menutupi tubuhnya. "Mia tidur atau pingsan?" Film di laptopnya masih menyala dengan volume yang sebenarnya lumayan untuk membangunkan seseorang yang sedang terlelap. Bahkan kotak donat tergeletak di pojokan ranjang menyisakan separo donat dengan topping keju. Jadi, semalam Mia menghabiskan lima setengah donat sembari menonton film? Wira berdecak geram karena bahkan kelakuan Mia jauh lebih buruk daripada Tristan, anaknya sendiri. Wira memijat tengkuknya yang pegal. Ia tidak tidur nyenyak dengan posisi tak nyaman di atas sofa. Namun, ia harus segera bersiap untuk berangkat kerja. Jadi, ia memutuskan untuk membiarkan Mia saja seperti ini. Wira baru saja merapikan dasinya ketika ia mendengar Mia menggumamkan sesuatu seperti 'kenapa harus dia'. Wira mendekati ranjang lalu berdehem keras agar Mia terbangun. Bagaimanapun ia tak ingin meninggalkan Mia begitu saja dan membiarkan ia terbangun tanpa tahu ke mana ia pergi. "Mia! Ini sudah sangat siang, kamu nggak mau bangun?" tanya Wira. Mendengar itu, Mia sontak membuka mata. Mia baru saja bermimpi, mimpi tidak buruk-buruk amat, tetapi agak aneh. Rasanya ia baru menikah dan yang ia nikahi adalah ayah dari Tristan lalu ia dibawa pulang oleh pria itu dan bertemu dengan Tristan. Tentu saja ia protes. Kenapa harus pria itu yang ia nikahi? Kenapa harus dia? Kenapa harus ayah dari Tristan? "Aku mau berangkat kerja," kata Wira lagi. Mia mengerjap saat menyadari semua itu bukan sekadar mimpi. Ia memang sudah menikah kemarin siang dan ia memang menikah dengan ayah dari Tristan. Ia menatap Wira gugup. Wira sudah sangat rapi dan cukup tampan sebenarnya, mungkin karena baru saja memakai setelan jas hitam yang membuat pesonanya terpancar pikir Mia. Oh, tidak! Ia bahkan masih berliur di atas kasur! "Oh, maaf, Om!" Mia buru-buru duduk dan mengusap ujung bibirnya yang basah. Karena ranjang ini sangat besar dan nyaman, ia pasti sudah terlalu nyenyak hingga berliur seperti ini. Memalukan! "Kamu sendirian di rumah kalau aku pergi. Makanya aku bangunin," kata Wira. Mia mengangguk. Ia agak bingung karena melihat selimut menutupi kakinya. Ia bukan tipe orang yang tidur berselimut jadi ini agak janggal. Jangan-jangan, Wira yang melakukan ini? Kenapa? Apakah Wira sudah melihat dan melakukan yang tidak-tidak padanya? Jantung Mia berdegup kencang karena imajinasinya. "Seharusnya kamu tidak makan di sini dan membiarkan kotak donat itu di sini. Kamu bahkan tidak gosok gigi setelah makan yang manis-manis? Bagaimana jika gigi kamu berlubang karenanya? Bagaimana jika ada banyak semut berdatangan dan menggerogoti tubuh kamu selama kamu tidur?" Wira mulai mengomeli Mia. Mia mencebik. Ia tahu ia salah, tapi ia memang agak stres karena baru saja pindah ke sini. Ia butuh penyesuaian diri. Dan ia hampir tak bisa tidur semalaman. "Maaf," gumam Mia. Ia melirik laptop Wira yang kini sudah dalam mode baterai lemah. Wira akan bekerja. Mungkin Wira membutuhkan ini. Dengan rasa bersalah, ia pun menutupnya. "Om mau bawa ini?" "Nggak. Itu udah jarang aku pakai kok. Kamu tenang aja." "Ya, Om mau sarapan? Biar aku siapkan sesuatu," kata Mia menawarkan. "Nggak, aku bisa sarapan di kantor. Kamu hanya perlu bersiap-siap kalau nanti ada yang datang ke sini." Kedua mata Mia membola. Setelah Tristan, siapakah yang akan datang? Jangan sampai ada orang yang lebih mengejutkannya! "Siapa yang datang, Om?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN