4. Ikut Suami

1119 Kata
"Ini apa-apaan?" Mia tak bisa lagi mengharapkan apapun lagi. Ia hanya ingin menghilang. Bagaimana tidak? Ketika ia naik ke kamarnya, ia melihat dua tas besar sudah ada di sana. Baju-baju dan buku-bukunya sudah dikemas oleh ... Mia tak tahu oleh siapa. Mungkin ibunya! Ah, Mia kembali ingin marah. Mungkin ini adalah momen yang tepat bagi ibu tirinya itu untuk mendepak dirinya dari rumah ini. Suci memang bukan ibu tiri yang buruk-buruk amat. Terkadang Suci baik pada Mia, tetapi terkadang bisa menjadi iblis menurut Mia. Dan kini, Mia merasa semakin kesal dengan ibunya tersebut karena Suci yang paling menuntut dirinya untuk menikah. "Kamu sudah siap?" Mia menoleh kaget tatkala Wira menyusulnya masuk ke kamar. Mia yang belum pernah berduaan di dalam kamar dengan seorang pria selain ayahnya tentu sangat takut. Ia menggeleng, berharap Wira akan segera turun kembali. Namun, kedua mata Wira sudah tertuju pada dua tas di dekat ranjang Mia. "Itu bawaan kamu?" tanya Wira. "Kayaknya. Bukan aku yang packing," kata Mia dengan bahasa non formal. "Mungkin Mama yang nyiapin." "Ya udah, aku bawa ke mobil sekarang aja," kata Wira. "Kita pulang setelah sholat ashar bareng-bareng." Mia mencebik. "Aku lagi nggak sholat, Om." Wira mengangguk lalu menjinjing dua tas milik Mia. Di kamar, Mia terduduk. Ia membuang napas beberapa kali lalu berdiri lagi. Tangannya menarik laci meja belajar. Ia mengambil sebuah pigura kecil yang menampakkan foto dirinya dengan Rehan dan Sonia, ibu kandungnya yang telah lama pergi. Mia mengusap wajah Sonia dengan ibu jarinya. "Mama, aku sedih, Ma," gumam Mia seolah sedang curhat pada makhluk nyata. Namun sayang, ibunya tak akan pernah mendengar kata-kata Mia. Mia mengambil tas sekolahnya, lalu memasukkan saja pigura itu ke sana. Ia membawanya turun karena mungkin sebentar lagi ia memang harus meninggalkan rumah ini. Di bawah sudah tidak ada siapa-siapa kecuali Selvi yang sedang bermain. Semua orang sepertinya sedang sholat berjamaah seperti yang dikatakan oleh Wira. Mia pun duduk di sofa lalu membuka ponselnya untuk melihat apa saja yang sudah teman-temannya lakukan di pesta kelulusan mereka. Ia cukup kecewa karena belum jadi mengungkapkan isi hatinya pada Tristan. Namun, untuk apa? Jikapun ia berhasil menyatakan cinta, lalu tiba-tiba ia menikah dengan pria lain, itu sama sekali tidak berguna. Otak Mia mencoba memikirkan sesuatu agar ia bisa terlepas dari pernikahan ini. Namun, jika ia melakukan itu, ia hanya akan berakhir menjadi seorang janda! "Nggak!" pekik Mia keras. Ia menggeleng saat membayangkan masa depan dirinya. Ia tak mau dicap sebagai janda, tetapi ia juga tak ingin berlama-lama menikah dengan Wira. "Mia, kenapa kamu nggak bikinin sesuatu untuk suami kamu?" tanya Suci yang baru saja keluar dari mushola rumah. Mia melirik ruang sholat tersebut. Kedua matanya sempat bertemu tatap dengan Wira yang ada di sana. "Sesuatu apa?" tanya Mia bingung. "Yah, paling tidak kamu bikinin minuman," kata Suci menyarankan. Mia membulatkan bibirnya. Ia tak tahu apa yang disukai oleh Wira, ia juga tak tahu minuman yang cocok untuk diminum sore-sore begini. "Coba kamu bikinin kopi buat Wira," kata Suci lagi. "Sama buat Papa. Setelah ini, kamu nggak akan tinggal bersama kami lagi." Mia mencebik. "Apa Mama seneng aku nggak bakal tinggal di sini lagi?" Suci mendengkus. Ia tak ingin berdebat lagi dengan Mia. "Cepat bikin minumannya. Setelah itu kamu siap-siap ikut suami kamu." "Oke," ujar Mia singkat. Ia berpapasan dengan Wira ketika berjalan ke dapur. Ia mengabaikan degupan jantungnya saat sang suami meliriknya sedikit. Ia tentu agak takut karena sebentar lagi ia akan dibawa pergi oleh pria itu. Apakah aman baginya untuk tinggal dengan Wira? Ia bahkan tak tahu di mana Wira tinggal. Mia mengambil dua buah cangkir lalu satu lagi, ia berjinjit untuk melihat orangtuanya berbincang dengan Wira di ruang depan lalu kembali mendengkus. Dengan jengkel ia menuangkan bubuk kopi ke dalam cangkir lalu gula dan ... ia menutup toples gula sembari tersenyum miring. Alih-alih menuangkan gula ke salah satu cangkir, ia memasukkan satu sendok teh garam ke cangkir tersebut. Ia membenci Wira dan ingin sekali mengerjainya. Mia masih tersenyum jahil ketika membawa baki ke depan lalu membagikan cangkir-cangkir kopi itu pada mereka bertiga. Ia memastikan Wira mendapatkan kopi spesialnya. "Ini pertama kalinya aku bikinin kopi buat suami aku," kata Mia pada Wira yang menatapnya janggal. Tentu saja, itu karena Mia tak bisa menahan cengirannya saat ini. "Ya, begitu baru putri Mama," celetuk Suci. "Mia baru lulus sekolah dan belum bisa melakukan banyak hal yang berhubungan dengan urusan domestik, jadi kamu harus maklum, Wira." "Ya, tidak masalah," ucap Wira. "Mia tidak perlu melakukan apapun di rumah saya." "Hm, beruntung sekali," gumam Suci. Beruntung? Batin Mia bergejolak. Sialan! Ia mengucapkan serentetan umpatan di hatinya untuk sang ibu tiri, juga Wira. Umpatannya baru berhenti ketika Wira mengambilnya cangkirnya lalu mulai meneguk. Mia menunggu momen ini, apakah Wira akan menyemburkan kopinya yang tak enak atau tidak? Dan kini, Wira menatapnya dengan penuh intimidasi sementara Mia tersenyum miring. "Enak sekali kopi buatan kamu," kata Wira dengan tangan terkepal. Ia tahu ia sedang dikerjai oleh bocah ingusan yang kini menjadi istrinya itu. "Habisan dong, Om," kata Mia tak ingin kalah. Wira menyesap kopinya kembali, ia tak ingin memberikan kepuasan pada Mia hanya karena secangkir kopi buatannya. Mia tak tahu, Wira sudah melewati banyak hal selama hidupnya, meneguk kopi aneh hanyalah secuil dari hal buruk yang pernah ia lewati. Tentu saja, Mia tercengang ketika melihat kopi itu hampir tandas dalam waktu singkat. "Sepertinya kami harus pulang," kata Wira pada Rehan dan Suci. Rehan menatap Mia yang memucat. Ia tak ingin putrinya pergi tapi ia juga tak punya pilihan lain. "Baik-baik bersama suami kamu. Bulan depan kamu juga sudah persiapan kuliah. Jangan lupa belajar, Mi." Mia ingin menangis sekarang. Namun, ia hanya mengangguk pada ayahnya. Yah, ia masih bisa kuliah dan bersenang-senang. Mungkin pernikahan ini bukan masalah besar. Ia bisa melalui ini, pikirnya. "Ayo," ucap Wira dingin. Mia berdiri dengan gugup. Ia berpamitan pada Rehan dan Suci lalu Selvi yang bingung karena Mia tak lagi tinggal dengan mereka. Dengan langkah berat, Mia pun keluar dari rumah. Ia menatap Wira yang membukakan pintu mobil untuknya meskipun Wira juga membawa Yandi, sopir sekaligus asisten pribadinya. "Kapan-kapan kami datang berkunjung," kata Wira pada orang tua Mia. Rehan merangkul Suci, rasanya berat melepaskan Mia, apalagi Mia tampak terisak sekarang. "Sampai jumpa, Mi," ucap Rehan. Mia tak sanggup berkata-kata lagi, jadi ia duduk saja di dalam mobil disusul oleh Wira. Tak lama, mobil itu memelesat cepat meninggalkan rumahnya. Wira menatap Mia yang duduk di sebelahnya sambil menangis keras. Pria itu mendengkus keras lalu meletakkan satu kotak tisu ke pangkuan Mia. "Kamu mau menangis terus sepanjang jalan?" tanya Wira pada Mia yang kini sedang mengusap-usap wajahnya dengan lembaran tisu. Ia berjengit ketika Mia tampaknya sengaja keras-keras membuang ingusnya tanpa malu. "Kamu tenang saja, aku nggak akan apa-apain kamu. Kamu hanya harus tinggal dengan aku mulai hari ini. Aku janji."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN