Di tempat lain, Tristan baru saja menyesap sebatang rokok milik Yoga. Ia membuang asap yang membumbung dari ujung bibirnya ke luar balkon kamar Yoga. Sebenarnya, Tristan bukan perokok aktif. Ia hanya akan merokok jika ia merasa resah atau jika ia memiliki masalah yang terasa berat. Dan sahabatnya, Yoga, yang sejak tadi memperhatikan eksistensi Tristan ikut-ikutan membuang napas panjang. Ia memutuskan untuk bergabung dengan Tristan di balkon.
"Lo kenapa?" tanya Yoga yang menyandarkan punggungnya di pagar balkon.
"Gue ...." Tristan menatap Yoga bingung. Ia tak mau membeberkan masalah pernikahan ayahnya dengan Mia, cewek yang ditaksir oleh Yoga. Tentu saja ini agak pelik.
"Kenapa? Lo berantem sama bokap lo?" tebak Yoga. Sejak semalam, ketika Tristan berkata ingin menginap, ia sudah curiga.
"Nggak. Lo kan tahu gue jarang berantem sama bokap. Tapi ... sebenarnya kemarin siang, papa gue nikah lagi, Ga," tutur Tristan.
Yoga terkesiap. Ia tahu ayah Tristan sudah lama melajang. "Terus? Lo nggak suka sama ibu tiri lo?"
"Ya, bukannya gue nggak suka. Tapi gue kaget aja pas liat siapa yang bokap gue nikahin," ujar Tristan.
"Emang siapa?" tanya Yoga penasaran. "Bokap lo kan ganteng."
"Lo bakalan kaget kalau tahu deh. Tapi sori, gue nggak bisa kasih tahu lo sekarang," jawab Tristan.
Tristan mematikan rokoknya yang masih terisa setengah lalu duduk di kursi santai. Di meja masih mengepul satu cangkir kopi yang sebelumnya sudah ia buat. Ia pun mulai menyesap sedikit.
"Jadi apa yang bikin lo galau kayak gini? Bagus kan bokap lo udah punya pasangan. Bukannya lo selalu pengen bokap lo bisa move on dari almarhum nyokap lo, Tan."
Tristan membuang napas panjang. Itu benar. "Istri bokap gue masih muda banget. Seumuran sama kita."
"Serius?" Kini kedua mata Yoga seperti hendak mau keluar. "Lo nggak bohong?"
Tristan hanya mengangkat bahu. Ia tidak yakin berapa usia Mia karena mereka tidak satu kelas. Jika Mia seumuran dengannya tentu Mia baru berusia 18 atau 19 tahun. Sedangkan ayahnya akhir tahun ini akan berusia 37 tahun. Usia Meraka berbeda sangat jauh. Sungguh tidak wajar. Entah siapa yang menyukai yang lain lebih dulu, Tristan tak bisa menebak. Ia belum mendengar bagaimana mereka akhirnya menikah.
"Jadi, ibu tiri lo bisa jadi temen lo sendiri? Dan sekarang lo gelisah karena itu?" tanya Yoga. Ia kini duduk di depan Tristan, mengambil kopi Tristan dan ikut menyesap.
"Kalau lo jadi gue, gimana? Gue sih nggak keberatan misal bokap gue nikah sama yang ... ya, yang lebih dewasa dan pantes gue panggil nyokap. Lha ini, gue risih jadinya."
Tristan membuang napas panjang lagi. "Lo jangan salah paham, gue sebenernya seneng-seneng aja bokap gue nikah lagi. Serius," tambahnya ketika Yoga memutar bola matanya. "Gue cuma pengen bokap gue bahagia. Gue selalu berharap bokap gue bisa jatuh cinta lagi. Tapi sekarang gue bingung. Apakah cewek ini serius suka sama bokap gue dan bisa bikin bokap gue bahagia?"
"Lo takut bokap lo dimanfaatin? Jadi sugar daddy gitu?" tanya Yoga.
Tristan berdecak bingung. Agaknya Mia bukan gadis seperti itu. Ia juga belum tahu rumah serta latar belakang Mia, tetapi mendengar ucapan Yoga, ia agak penasaran juga. Bagaimana jika Mia dan keluarganya adalah orang yang licik? Bagaimanapun, ayahnya adalah pria yang sangat baik. Ia tak ingin ayahnya terluka hanya kerena cinta.
"Gue khawatir, tapi gue nggak tahu harus khawatir di bagian mana. Yang jelas kayaknya bokap gue nggak cocok sama cewek ini. Dan sebaliknya, gue cuma pengen bokap gue nggak sakit hati gara-gara cewek itu. Gue harus gimana dong, Ga?" tanya Tristan meminta pendapat.
"Ya lo awasin itu cewek. Pasang mata lo sama dia. Kalau dia macem-macem, bilang sama bokap lo suruh cerai!"
"Gampang lo ngomong," desis Tristan. Ia menatap kopinya yang tersisa setengah. "Sial. Kenapa lo nggak bikin sendiri sih!"
"Abisnya enak sih kalau lo yang bikin," kekeh Yoga. "Tapi gue penasaran, Tan. Bini bokap lo kayak apa? Cantik nggak? Walaupun udah berumur, bokap lo kan ganteng."
Tristan hanya bergumam. Ia tak pernah menganggap Mia cantik selama ini. Mia agak aneh dan banyak tertawa dengan teman-temannya. Apalagi Yoga sangat menyukai Mia. "Nggak jelek-jelek amat sih. Ya gitu deh. Gue mau mandi dulu terus balik. Apa ntar malem aja ya."
"Lo mau nginep di sini lagi? Gue mau ke luar kota abis ini mumpung libur."
"Yah! Gue ke mana dong, gue nggak mau berduaan sama ibu tiri gue di rumah," kata Tristan. Ia menghabiskan kopinya dengan gelisah.
"Kan ada tukang kebon lo di rumah. Nggak mungkin lo berduaan saja."
"Iya sih, tapi kayaknya canggung aja di rumah sama Mi ... Mami," kata Tristan hampir keceplosan.
"Lo panggil istri bokap lo dengan sebutan Mami?" Yoga tampak tak percaya dengan ucapan Tristan.
"Abisnya gue bingung mau panggil apa. Bokap gue negur terus kalau gue nggak hati-hati di depan dia, gue ngomong nggak formal aja ditegur."
"Wah, kayaknya bokap lo otewe bucin sama cewek itu deh," tebak Yoga.
Tristan menelan keras. Seperti itukah? Agaknya lucu jika benar ayahnya sudah jatuh cinta pada Mia. Namun, benar juga kata Yoga, ia harus mengawasi Mia. Ia tak mau ayahnya sakit hati gara-gara bocah itu. Ia akan segera masuk ke jenjang kuliah dan kebetulan satu universitas dengan Mia. Ia pun tersenyum miring, ia akan memastikan Mia selalu dalam pengawasannya!
"Gue mandi dulu deh. Abis itu gue balik."
***
Mia mengganti bajunya dengan baju baru yang disiapkan oleh Wira setelah ia selesai mandi pagi. Mau tak mau, Mia sangat terkesan. Baju-bajunya sekarang sangat bagus dan kekinian. Ia agak heran karena suaminya itu bisa memilih baju yang sesuai dengan seleranya.
"Gue ngapain ya?" gumamnya lagi seraya mengecek ponsel. Tak banyak temannya yang online, jadi Mia memilih untuk merapikan kamar. Ia agak tersentil karena ucapan Wira tadi. Benar juga, ia ada di rumah Wira bukan di rumah ayahnya. Tak seharusnya ia makan kudapan di atas ranjang bahkan tidur dengan pose sembarangan. Ah, mengingat itu Mia jadi malu setengah mati.
"Sepi banget sih," monolognya ketika melongok ke luar kamar.
Perut Mia bergejolak saat ia selesai membersihkan kamar. Ia pun memutuskan untuk menghangatkan martabak manis yang ada di kulkas. Namun, ketika ia membuka pintu microwave, ia justru ingin membuat sesuatu yang gurih. Mie instan mungkin. Adakah?
"Ehm, mana ya?" Mia membuka semua pintu konter atas dan bawah hingga kedua matanya berbinar. "Yes! Laper banget. Untung ada mi goreng?"
Mia pun mulai berkutat dengan panci serta piring. Ia mengaduk bumbu sembari menyanyikan lirik lagu Korea secara sembarang karena ia tak tahu lirik aslinya seperti apa. Namun, ia sudah sangat senang bisa menikmati mi goreng yang sedang ia buat itu.
Mia tak sadar ada dua pasang mata yang menatapnya sejak tadi. Sulastri dan Sari baru saja pulang dari mudik dan hendak mulai bekerja siang itu. Mereka belum mendengar dari siapapun perihal kedatangan penghuni baru di rumah. Kedua wanita itu saling sodok setelah menebak siapa wanita muda itu. Karena selama ini tak ada wanita yang masuk ke rumah dengan santai seperti Mia. Apalagi membuat mie instan di pagi seperti ini.
"Apa pacarnya Den Tristan?" tebak Sulastri lagi.
"Mungkin. Tapi kok bikin mi goreng di dapur ya, Las?" gumam Sari.
"Nggak tahu. Kita sapa aja yuk."
Sulastri lebih dulu mendekati Mia yang sedang mengaduk mi dengan bumbunya. Aroma sedap langsung menguar. "Kamu ini siapa?"
"Hah?" Mia terkesiap saat wanita setengah baya menegurnya. Ia hanya tahu dari Wira bahwa akan ada yang datang, tapi Wira tampak jengkel karena kelakuan tidurnya semalam jadi Wira hanya melenggang pergi pagi tadi. Mia mengerjap bingung, apakah ini ibu mertuanya? "Ibu ... Ibu siapa?"
"Kok tanya balik, Neng?" tanya Sulastri. "Harusnya Neng jawab dulu pertanyaan saya."
"Oh, saya Mia," jawab Mia gugup.
"Neng Mia, pacarnya Den Tristan ya?" tebak Sari yang kini bergabung.
Mia semakin bingung karena kini ada dua wanita setengah baya di depannya. "Oh, saya ... saya bukan pacar Tristan."
"Jadi, kamu ini siapa? Kenapa bisa masuk ke rumah ini dan bahkan masak kayak gini." Sari menatap mi goreng di piring Mia.
Obrolan itu pecah saat terdengar langkah kaki mendekat. Mia menelengkan kepala dan bertemu tatap dengan Tristan yang baru saja pulang. Tristan melambaikan tangan pelan. Ia juga mencium aroma mi goreng dan langsung menebak ada orang di dapur. Rupanya Mia bersama dua pembantunya.
"Bi Lastri sama Bi Sari kenalan dulu dong," kata Tristan yang disambut dengan suka cita oleh kedua wanita itu.
"Oh ya. Ini siapa, Den?" tanya Sulastri.
"Pacar Aden ya?" tanya Sari.
"Bukan, Bi. Ini istri baru Papa, namanya Mia."